Saturday, October 19, 2002

ARTICLE: Special interview: David Hawess of World Bank

Majalah GATRA edisi 48 / VIII 19 Okt 2002

Tittle: Kompetisi Sektor Hilir

MESKI dilahirkan di Inggris, David M. Hawess akrab dengan lekuk-lekuk Jakarta. Koordinator Sektor Energi dan Transportasi Bank Dunia Perwakilan Jakarta ini memang sudah bekerja di Indonesia selama 20 tahun. Lima tahun ia menjadi konsultan Departemen Perhubungan, sisanya di Bank Dunia. Ia tahu cukup rinci ihwal rekomendasi Bank Dunia mengenai sektor hilir Pertamina.Untuk itulah, Jumat pekan lalu, wartawan Gatra Heni Kurniasih menemui David di ruangannya, di sebuah pojok lantai 12 Gedung Bursa Efek, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Di kamar kerjanya, seluas 3 x 4 meter, di antara tumpukan buku mengenai energi dan transportasi, ia menjawab pertanyaan Gatra selama dua jam lebih.

Apa yang dilakukan Bank Dunia untuk melanjutkan surat Mei 2002 itu?

Kami sudah mengirim beberapa masukan tambahan ke Menteri Boediono. Antara lain, laporan singkat mengenai situasi di negara lain yang relevan untuk Indonesia, terutama Malaysia, Thailand, dan Filipina. Kami kirimkan bagaimana perimbangan pasar antara perusahaan negara dan swasta, serta apa saja masalahnya.

Bank Dunia intinya menginginkan adanya kompetisi di sektor hilir?

Betul. Kompetisi akan melahirkan banyak keuntungan. Lebih dari 30 tahun Pertamina wajib menyediakan BBM pada pasar domestik dengan harga pemerintah. Pertamina hanya jadi operator. Tanpa kompetisi, tak ada tekanan untuk menjadi lebih baik. Dari hasil audit PricewaterhouseCoopers terhadap kinerja Pertamina 1997-1999 terlihat banyaknya inefisiensi di Pertamina.

Maksudnya, Pertamina akan dibuat supaya bertarung dengan perusahaan sejenis?

Kami mengusulkan dibentuk satu atau dua BUMN sebagai kompetitor. Pertamina hanya memiliki kilang Balongan. Aset Pertamina dipecah menjadi dua atau tiga BUMN lain, dan biarkan mereka bersaing. Di Indonesia, untuk pelabuhan ada Pelindo I, II, III. Ini masih monopoli, tapi kompetisi juga tetap ada. Di PLN juga ada perusahaan pembangkit PJB dan Indonesia Power. Jika tak ada restrukturisasi, pendatang baru sulit masuk sektor hilir Pertamina. Bagi konsumen, persaingan membuat harga minyak lebih murah serta layanan lebih bagus.

Apa tak sebaliknya: jika swasta asing masuk, harga bisa makin tinggi dan memberatkan masyarakat?

Kompetisi selalu membuat lebih efisien. Di Indonesia, harga rendah bukan karena efisien, melainkan karena masih ada subsidi. Jatah untuk kesehatan, pendidikan, misalnya, berkurang. Kompetisi adalah cara terbaik untuk meningkatkan efisiensi. Kita bisa lihat pada komputer dan handphone, karena ada kompetisi, teknologi makin bagus dan lebih murah.

Bisakah dikatakan Anda menyarankan Pertamina diswastakan?

Privatisasi dan kompetisi adalah dua hal berbeda. Malah harus dicegah, jangan sampai monopoli sektor publik ini beralih dari BUMN ke swasta. Ini jauh lebih berbahaya.

Kalau distribusi tak lagi dimonopoli Pertamina, bagaimana agar daerah terpencil yang selama ini disuplai Pertamina tetap kebagian minyak dengan harga sama?

Mungkin perlu dibentuk pola khusus untuk wilayah-wilayah itu, misalnya diberi subsidi.

Kekhawatiran lainnya, masuknya swasta asing ke sektor distribusi, depo misalnya, mematikan usaha kecil Indonesia yang bermodal lemah.

Dibandingkan dengan kecemasan terhadap kompetisi, yang lebih berbahaya adalah mempertahankan sistem monopolistik. Dengan datangnya banyak kompetitor, semua pengusaha berlomba-lomba meningkatkan efisiensi, menggenjot produktivitas, sehingga memberikan pelayanan terbaik, dan menjadi pilihan konsumennya. Konsumen senang ada banyak pilihan. Pengusaha juga berusaha memberikan produk terbaik dengan biaya seefisien mungkin.

ARTIKEL TERKAIT:

EKONOMI & BISNIS: Efisiensi Devide et Impera

Rekomendasi Bank Dunia tentang pembenahan industri hilir perminyakan mengundang kecaman banyak pihak. Pemerintah dinilai kurang serius mendorong kompetisi.

PERUBAHAN tanpa kejelasan hasil menghantui para pejabat Pertamina dan petinggi Kalimantan Timur (Kaltim). Demi mengusir hantu itu, seluruh anggota DPRD Kaltim membuat pernyataan keras terhadap rencana privatisasi Kilang Minyak Balikpapan yang selama ini dikelola Pertamina. "Masyarakat Kaltim menolak rencana itu," kata Ridwan Suwidi, anggota DPRD Kaltim dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.

Pekan lalu, penolakan DPRD Kaltim itu dikirim ke pemerintah pusat."Bank Dunia nyata-nyata menyimpan agenda terselubung untuk menghancurkan ekonomi Indonesia," kata Irvan Wirayuda, Sekretaris Serikat Pekerja Mathilda, Serikat Pekerja Pertamina Unit Pengolahan Balikpapan. Pernyataan menghujat Bank Dunia juga datang dari Wali Kota Balikpapan, Imdaad Hamid. "Bank Dunia melakukan cara tak benar lewat privatisasi," katanya.

Berbagai penolakan itu muncul setelah beredar kabar, Bank Dunia mendesak Pemerintah Indonesia memisahkan industri hilir dari hulu industri minyak dan gas (migas) di Indonesia. Surat akhir Mei lalu itu mendesak pemerintah segera menciptakan iklim persaingan di sektor hilir industri migas.Pengirim dokumen "heboh" itu adalah Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Mark Baird --kini ia sudah mantan-- kepada Menteri Keuangan Boediono.

Mark Baird memprihatinkan upaya Pemerintah Indonesia mendorong kompetisi di industri hilir migas. Ia malah mengkhawatirkan, monopoli Pertamina di industri hilir kian menguat. Surat itu ditembuskan kepada sejumlah menteri dan pejabat di bidang perekonomian.Menurut Bank Dunia, Undang-Undang (UU) Migas Nomor 22 Tahun 2001 dapat meningkatkan efisiensi dan memperluas kesempatan bagi swasta untuk berinvestasi.

Lebih penting lagi, pengganti UU Migas Tahun 1967 itu akan mengubah peta di industri hilir bisnis migas. "UU itu menghendaki kompetisi sehat dan transparansi dalam bisnis pasokan minyak pasar domestik," tulis Bank Dunia.Namun, menurut Bank Dunia, draf peraturan pemerintah tentang bisnis hilir yang dipersiapkan justru berpotensi mempersulit pemain baru untuk masuk.

Mengacu pada beleid migas lama, monopoli Pertamina di industri hilir malah mengundang inefisiensi. Itu lantaran tak ada insentif bagi Pertamina untuk mendirikan kilang.Harga dan subsidi migas untuk pasar domestik ditetapkan pemerintah. Ini menjadikan bisnis kilang tak menguntungkan. Itu sebabnya, dari tujuh kilang yang ada, hampir semuanya diongkosi pemerintah. Pertamina hanya memiliki Kilang Balongan yang produknya semula untuk ekspor.

Bank Dunia mensinyalir, kondisi tersebut melindungi Pertamina dari tekanan untuk mengoperasikan kilang secara efisien dan meningkatkan kualitas produksinya. Sinyalemen itu diperkuat hasil audit PricewaterhouseCoopers pada 1999. Hasil audit menunjukkan terjadi inefisiensi akut dalam biaya pemrosesan dan distribusi bahan bakar.

Hambatan untuk mengikis inefisiensi dalam pengadaan bahan bakar di Indonesia itu, antara lain, dipicu oleh strategi pembenahan yang dilakukan Pertamina dewasa ini. Dalam pengamatan Bank Dunia, strategi itu menggambarkan upaya Pertamina mempertahankan monopoli di Jawa dan menciptakan "kerja sama kompetisi" di wilayah lainnya.Indikasi tersebut tercermin pada proposal Pertamina kepada pemerintah untuk mengalihkan aset strategis di industri hilir ke dalam pembukuan baru PT Pertamina.

Sesuai dengan UU Migas, Pertamina berubah jadi perseroan terbatas pada November 2003. Aset strategis itu meliputi kilang milik pemerintah, terminal, depo, serta jalur pipanisasi penting yang dimiliki negara. Pertamina juga tengah berusaha menguasai proyek petrokimia di Tuban, Jawa Timur.Tindakan Pertamina mengikat kontrak 10 tahun dengan pemilik pompa bensin dicurigai merupakan upaya menjegal pesaing di bisnis eceran penjualan bahan bakar minyak.

"Saat ini Pertamina hanya menguasai sekitar 1% stasiun pengisian bahan bakar," tulis Bank Dunia. Tindakan lain yang diyakini Bank Dunia bakal mencegah masuknya investor baru ke industri hilir adalah penyeragaman harga jual minyak di dalam negeri.Kebijakan itu melibatkan Pertamina dalam menentukan komponen penentu dan kisaran harga bahan bakar di dalam negeri.

Industri hilir makin tak menarik bagi pemain baru, karena pemerintah masih memberi kesempatan kepada Pertamina untuk menguasai pasokan bahan bakar domestik hingga masa transisi UU Migas berakhir, 2003.

Di pihak lain, Bank Dunia menyesalkan lambatnya pemerintah melakukan persiapan-persiapan. Peraturan pemerintah pendukung UU Migas dinilai tak lengkap. Bank Dunia juga mempermasalahkan minimnya dukungan untuk menciptakan kompetisi sehat di industri hilir. "Dalam banyak hal, draf peraturan pemerintah hanya sedikit melengkapi apa yang tertuang dalam UU," tulis Bank Dunia. Akibatnya, bakal muncul berjibun keputusan menteri yang mudah diintervensi atau dibatalkan, dan menimbulkan keraguan pada investor swasta.

Untuk merangsang kompetisi yang sehat dan meningkatkan efisiensi di industri hilir migas, Bank Dunia menyusun beberapa rekomendasi. Sesuai dengan UU Migas, yang perlu segera dilakukan adalah memotong penguasaan industri hulu dan hilir oleh Pertamina.

Di industri hilir, Bank Dunia merekomendasikan agar pada tahap awal pemerintah mendorong dua atau tiga BUMN masuk ke bisnis kilang, terminal, dan impor minyak. BUMN itulah yang kelak mengelola kilang pemerintah yang selama ini dikelola Pertamina.

Untuk menjamin agar kompetisi berlangsung jujur, perlu segera dibuka kesempatan bagi swasta lokal dan asing masuk hilir. Mulai bisnis impor hingga distribusi dan eceran. Agar kompetisi di hilir berjalan sehat, perlu dibentuk badan pengatur yang dapat menjamin para pemain di hilir mampu bersaing secara adil tanpa mengabaikan kewajibannya. Termasuk menyediakan bahan bakar untuk daerah-daerah terpencil dengan harga wajar.

Bank Dunia yakin, bila kompetisi itu dijalankan, industri minyak di Indonesia bakal efisien. Beban subsidi minyak yang harus ditanggung negara juga akan berkurang. "Subsidi bahan bakar banyak yang jatuh untuk si kaya," kata David M. Hawes, Koordinator Sektor Energi dan Transportasi, Perwakilan Bank Dunia di Jakarta.

Menurut David, rakyat miskin lebih sedikit mengonsumsi bahan bakar. "Inefisiensi membutuhkan subsidi lebih besar lagi," katanya kepada Gatra (lihat: Kompetisi Sektor Hilir).Bank Dunia mengaku punya alasan baik.

Tapi, surat Bank Dunia itu membuat Pertamina uring-uringan. "Usulan berbau devide et impera itu jangan didengar," ujar Direktur Utama Pertamina, Baihaki Hakim. Menurut dia, pemisahan kilang-kilang Pertamina malah akan menurunkan efisiensi. Padahal, sinergi antarkilang dengan industri hulu dan hilirnya itulah yang diandalkan untuk mendorong efisiensi.

"Kalau terpecah, efisiensi sinergi Pertamina tak dapat dilakukan," kata Baihaki.Pernyataan Baihaki senada dengan pendapat Kurtubi, orang Pertamina yang dikenal sebagai pengamat minyak dan suaranya kerap berbeda pendapat dengan Pertamina.

Pengalaman pemecahan industri hulu dan hilir di negara lain tak menjamin efiensi. Ia mencontohkan kasus pemecahan monopoli bahan bakar minyak di Amerika Serikat oleh Standar Oil Company di masa silam.Tindakan tersebut terbukti merugikan konsumen, berupa harga jual bahan bakar yang lebih tinggi ketimbang sebelumnya.

"Pemecahan itu justru mendorong kepingannya mencari untung sendiri," kata Kurtubi. Akibatnya, biaya produksi minyak jadi lebih tinggi, karena setiap perusahaan berusaha mendapat untung maksimal dari setiap transaksi.Apakah kondisi itu juga bakal terjadi di Indonesia setelah UU Migas berlaku efektif pada 2006, memang masih samar-samar.

Namun, bagi Gabungan Pengusaha Kecil Nasional Migas (Gapina Migas), upaya yang dipersiapkan masih terasa belum komplet. "Pembahasan yang ada masih pada lingkup kepentingan asing dan Pertamina," kata Aji Dedi Mulawarman, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Gapina Migas.Menurut Aji, usaha kecil di bidang migas tergencet adanya kartel di bisnis eceran. "Akibatnya, pengusaha kecil perminyakan tak mendapat akses untuk memperoleh minyak dengan harga bersaing," katanya. Padahal, bisnis eceran itulah yang hanya mampu dimasuki pengusaha kecil perminyakan.

Gapina menuntut agar pengusaha kecil mendapat kuota 7% hingga 15% distribusi minyak tanah premium dan solar.Sayang, usulan yang konon sudah disetujui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu belakangan mentah lagi. Bisnis migas tetap menjadi medan perang para raja minyak. Modal kuat menjadi senjata.

A. Kukuh Karsadi, Heni Kurniasih, dan Suhartono (Balikpapan)

1 Comments:

Blogger Aji Dedi Mulawarman said...

mbak heni, ternyata gapina masih bisa jadi ikon proletar permigasan nasional ya? hehehehe... salam dari saya
aji dedi mulawarman
http://ajidedim.wordpress.com

7:10 AM  

Post a Comment

<< Home