Tuesday, April 19, 2005

ARTICLE:COVERSTORY: Bisnis Alam Raya (1)

Majalah GATRA: 35 / VIII 20 Jul 2002
LAPORAN UTAMAJaminan Untung Berbuntut BuntungBisnis model bank gelap berbunga tinggi kerap membuat nasabah ketagihan. Meski jaminan keamanannya kurang, mereka tak gampang jera.SEORANG pembaca, mengaku bernama Widi Arianto, mengirim e-mail ke Gatra, akhir Juni lalu. Dalam suratnya, ia mengaku sebagai seorang dari sekitar 5.000 investor besar dan kecil yang menanamkan duit di PT Qurnia Subur Alam Raya. Diperkirakan, total fulus yang nyantol di laci Ramli Araby, juragan Alam Raya, kurang lebih Rp 300 milyar. Widi merasa waswas duitnya tak kembali. "Soalnya, pihak manajemen terkesan menutup diri," tulis Widi Arianto.Ia lantas menunjuk sejumlah nama yang diperkirakan mengetahui masalah yang tengah menggelayuti Alam Raya. Misalnya Marsekal Pertama (purnawirawan) Suryo Hadi Djatmiko dan H.M. Soekotjo. Keduanya belakangan dipercaya sebagai pimpinan Forum Komunikasi Investor Alam Raya yang dibentuk Mei lalu. Selain itu, ia juga menulis sejumlah pentolan yang bisa dikonfirmasi, dari Nurhamdi, Ricco Akbar, sampai Maruto. Sayang, nama-nama itu, ketika dihubungi Gatra, tak mau berkomentar. Widi sendiri, ketika e-mail-nya dibalas, tak mau menjawab.Kendati begitu, Gatra akhirnya berhasil menelusuri sejumlah tokoh investor yang menempatkan uangnya dalam jumlah milyaran rupiah di Alam Raya. Tapi, sebagaimana Widi, pada umumnya mereka cenderung memilih menyembunyikan identitasnya. "Soalnya, kami berada dalam posisi lemah," kata seorang tokoh investor dari Jakarta Timur.Jika bersikap keras dengan mengungkapkan borok Alam Raya secara terbuka kepada publik, ia khawatir, duitnya yang ngendon sekitar Rp 2 milyar tak akan kembali. Tapi, sumber Gatra tersebut juga sadar, dengan bersikap diam, fulusnya belum tentu balik. Ia masih menunggu sampai Senin pekan ini, tenggat janji Ramli untuk membayar uang nasabah. "Kalau tak dilunasi, pasti ribut," katanya.Meski ribuan investor Alam Raya itu sedang gundah gulana, sejauh ini mereka belum mengadukan secara resmi ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Memang, ada beberapa yang melaporkan lewat telepon atau e-mail tanpa menyertakan identitas. "Tapi, tanpa pengaduan resmi secara tertulis, YLKI susah menindaklanjuti," kata Yusuf Shofie, staf YLKI yang menangani bidang pengaduan dan hukum.Langkah lain yang bisa ditempuh, kata Shofie, adalah mengupayakan secara hukum. Tapi, seperti diakui Suharyo, Direktur Pengembangan Usaha Departemen Pertanian, upaya melalui jalur hukum pun belum tentu membuahkan hasil. Soalnya, sejauh ini belum ada undang-undang yang mengatur jenis usaha agrobisnis dengan pola bagi hasil. Satu-satunya alat bukti yang dipakai adalah surat kontrak kedua pihak. "Tapi, kontrak perjanjian itu susah menjadi alat bukti yang punya kekuatan hukum di pengadilan," katanya kepada Rulli Nasrullah dari Gatra.Karena itu, sejak tiga bulan terakhir ini, kantor Departemen Pertanian membentuk tim pemantau. Tugasnya, selain memelototi tingkah perusahaan agrobisnis model bagi hasil, yang kini diperkirakan berjumlah 40 perusahaan, juga menyiapkan materi undang-undang yang memagari soal ini.Lemahnya posisi konsumen itu memang bisa menjadi peluang bagi pihak manajemen untuk mangkir. Hal ini sudah diperkirakan sebelumnya oleh Dr. Rhenald Kasali, ahli manajemen dari Universitas Indonesia. Ketika bisnis berkedok bagi hasil dengan iming-iming bunga sangat tinggi ala Alam Raya ini mulai merebak, pengasuh acara bertajuk "Solusi" di stasiun televisi swasta itu sudah menduga bakal tak sehat. Soalnya, pengelolaannya cenderung mengedepankan prinsip one man show. "Semua aliran dana perusahaan cuma berada pada satu orang," ujarnya.Boleh jadi, dalam beberapa bulan memang lancar. Tapi, Rhenald yakin, bisnis seperti itu tak akan berlangsung lama. Soalnya, dalam situasi ekonomi yang masih meriang seperti sekarang, tak mungkin bisa menggaet keuntungan sampai puluhan persen dalam tempo beberapa bulan saja. Apalagi harga komoditas agrobisnis bersifat fluktuatif. Malah, dengan makin maraknya bisnis semacam itu belakangan ini, harganya cenderung miring karena terjadi kompetisi sangat ketat.Amburadulnya manajemen Alam Raya ini juga terlihat dari tidak adanya badan pengurus yang mewakili investor. Idealnya, posisi lembaga perwakilan nasabah ini harus kuat, agar bisa mengetahui secara transparan pengelolaan dana perusahaan. Celakanya, baru belakangan --setelah ada masalah-- lembaga seperti itu dibentuk.Pendapat senada dikemukakan Erman Rajaguguk dan Hikmahanto Juwana, keduanya ahli hukum dari Universitas Indonesia. Erman sangat memprihatinkan nasib buruk yang menimpa ribuan nasabah Alam Raya. Mereka merupakan korban iming-iming iklan. "Mestinya, sebelum memutuskan berinvestasi pada suatu produk, mereka cermat dalam meneliti risiko keuangan dan hukum yang bakal dihadapi," ujarnya kepada Gatra.Hikmahanto malah menilai bisnis model Alam Raya tak ubahnya multilevel marketing. Ciri paling menonjol, peserta tak bisa mengetahui dengan jelas dan pasti bagaimana prospek dan kondisi perusahaan tersebut. Pihak manajemen perusahaan sengaja memutus rantai komunikasi dengan nasabahnya.Sebab itu, Hikmahanto cenderung melihat kasus ini sebagai penipuan. Soalnya, kontrak dengan nasabah tak dilengkapi dasar hukum yang kuat. Kerap tak memakai notaris ataupun jaminan asuransi. Tentunya, dengan dasar hukum yang kuat, kalau nasabah menggugat, mereka bisa mengajukan aspek pidana dan perdata sekaligus secara berbarengan.Ia mengingatkan, sebenarnya penipuan berkedok bisnis dengan imbalan bunga tinggi sering terjadi beberapa tahun silam. Misalnya kasus PT Banyumas Mulia Abadi (BMA) di Medan. Perusahaan yang didirikan Muhammad Yusuf pada 1998 itu menawarkan imbalan bunga 49% sebulan. Dalam waktu singkat, nasabahnya membludak. BMA lantas membuka kantor cabang di Surabaya dan Jakarta. Tapi, belum genap setahun, BMA sudah ambruk. Milyaran rupiah duit nasabah tak kembali.Kasus serupa pernah terjadi pada beberapa koperasi simpan pinjam (kospin) di Pinrang, Sulawesi Selatan. Bisnis heboh di Pinrang ini diprakarsai Suparman Ishak pada 1996. Melalui koperasi yang dipimpinnya, ia menawarkan kepada nasabah yang hendak membeli televisi, kulkas, dan sepeda motor cukup membayar seperempat dari harga. Hanya dalam waktu empat bulan, barang-barang tersebut sudah bisa diambil.Pada Juli 1998, Suparman mulai mangkir. Berhubung meresahkan masyarakat, Gubernur Sulawesi Selatan H.Z.B. Palaguna memerintahkan agar beberapa kospin yang menggelar praktek seperti bank gelap itu ditutup. Ternyata, setelah ditelisik, kospin-kospin itu cuma mampu mengembalikan sekitar 5% dari total dana nasabah yang Rp 832 milyar. Karena jengkel, ribuan nasabah yang gelap mata itu mengamuk, membakar sejumlah kantor pemerintahan di Pinrang. Para bandar kospin itu kemudian diseret ke bui. Suparman diganjar tiga tahun penjara.Kendati banyak yang menyangsikan kelangsungan bisnis model bagi hasil --apalagi setelah menyimak kasus Alam Raya-- toh perusahaan sejenis yang lain tak mau disamakan. Pundi Farm, misalnya, mengaku tak sembrono mengelola bisnisnya. Perusahaan ini tak cuma mengandalkan selembar surat perjanjian, juga menjaminkan asetnya ke perusahaan asuransi. "Kami menggunakan Asuransi Central Asia," kata Kusdiman, pimpinan Pundi Farm. Asuransi itu meliputi kandang, ayam, gudang pakan, gudang telur, dan mesin genset. Total nilainya sekitar Rp 12 milyar. "Kalau terjadi sesuatu, kami tak mau rugi," ia menambahkan.Kini, boleh-boleh saja sejumlah perusahaan lain masih merasa aman. Tapi, Rhenald Kasali mengajak masyarakat mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Memang, bisnis yang menjanjikan keuntungan tinggi kerap dibarengi risiko gede. Tapi, kalau janji keuntungannya tak rasional, yang terjadi justru moral hazard. Ujung-ujungnya, niat menggaet untung malah berbuntut buntung.

Saiful Anam, Taurusita Nugrani, Amalia K. Mala, dan Heni Kurniasih

1 Comments:

Blogger Unknown said...

kalo ada korban bma, silahkan e-mail ke : chandra.soetikno@gmail.com biar dibantu.

4:35 AM  

Post a Comment

<< Home