Tuesday, April 22, 2008

Konflik SARA: because we are different or we make us different?

Pagi ini di tram saya tiba-tiba berpikir tentang rasisme yang terjadi di mana-mana. Saya teringat ketika Asih, teman kuliah di Jogja baru seminggu datang di Melbourne dan mendapati seorang pria kulit putih memaki-makinya dengan kata-kata rasis. pengalaman yang belum pernah sekalipun aku alami selama hampir dua tahun disini. Saya berpikir mengapa rasisme terjadi, mengapa seorang manusi membedakan manusia lain, padahal The God (everyone's god) jelas-jelas mengatakan manusia adalah manusia, tak peduli apa warna kulitnya, atau keturunan siapa.

Pikiran yang mengusik ini muncul mungkin karena semalam berdiskusi dengan suami tentang bagaimana dua orang anak SMA (yang satu kelihatannya keturunan Indonesia yang lain berkulit putih), terlihat sangat akrab di tram, dan sepertinya bersahabat baik. Itu menjadi menarik karena mungkin hal yang sama memang jarang terlihat, terutama di kampus dimana mahasiswa internasional banyak terlihat dengan orang-orang yang 'satu warna kulit', dan orang-orang berbicara di tram dengan bahasa 'roaming'.

Kembali ke persahabatan dua anak berbeda warna, pendapat saya adalah bahwa orang-orang yang 'baik', yang tidak membedakan manusia berdasarkan warna kulit, jumlahnya mungkin jauh lebih banyak dibandingkan yang 'rasis', yang merendahkan orang lain yang 'berbeda' baik dengan cara yang nyata ataupun tersamar. Saya tidak ragu, bahwa orang yang menganggap warna kulit bukan masalah masih mayoritas di Australia, di Indonesia atau dimanapun. tetapi saya juga memperkirakan bahwa meski setitik, the nature of human adalah seperti ini: jika seseorang yang berasal dari golongannya atau kelompoknya melakukan suatu kesalahan, itu akan cenderung diatributkan kepada orang tersebut; sementara jika ada seseorang dari golongan yang berbeda melakukan kesalahan yang sama, itu akan diatributkan pada golongannya daripada pada dirinya sendiri. Maka yang muncul kemudian adalah kalau Golongan X atau orang dari negara X, atau orang dari suku Anu biasanya begini. Muncullah judgement yang jika dipupuk dan dimanfaatkan oleh pihak yang berkepentingan (bisa institusi negara, institusi agama, institusi bisnis, dstnya), akan meledak menjadi kekerasan (lihat beberapa kasus penyerangan orang Asia di Australia misalnya), kebijakan yang diskriminatif (non-fair go, one Nationnya Pauline Hanson, atau bahkan seperti kebijakan baru pengganti multikulturalisme Australia yang menekankan pada Nilai-nilai Australia). Di Indonesia, lebih banyak lagi contoh kasusnya: kerusuhan anti Cina, kerusuhan anti Madura, kekerasan terhadap Ahamadiyah, dstnya dstnya. Itu yang ekstrim. Yang tidak ekstrim adalah pandangan seperti ini: kalau orang jawa pasti begini, kalau orang Sunda pasti begitu, kalau orang Aceh pasti begini begitu, kalau orang kalimanatan pasti begitu begini.

Yang menjadi isu kemudian adalah apakah jumlah 'orang baik' yang banyak tadi mampu memberikan batasan sehingga seorang yang 'rasis', 'setengah rasis' atau 'agak-agak rasis' tidak bisa 'menyakiti' orang lain dengan ucapannya, tindakannya, atau kebijakannya.
Di Australia, aturan hukum anti rasisme jelas-jelas ada. Di Universitas, ada kebijakan yang tegas tentang rasisme, konseling atau bahkan pendampingan hukum untuk orang-orang yang mendapat perlakuan rasis. Namun lagi-lagi, aturan hukum hanya mampu menjaring pelaku rasisme yang tertangkap basah (terekam, ada saksi, ada bukti) atau melakukan rasisme yang nyata dan bisa dibuktikan (misalnya kebijakan yayang tidak fair-go). Sementara, tindakan rasis yang tersamar, yang hanya bisa 'dirasakan', diceritakan kepada kawan, tapi sangat susah dibuktikan. Yang terjadi kemudian yang diperlakukan berbeda akan membuat judgement untuk mennjeneralisir bahwa orang-orang yang berkulit sama dengan pelaku rasis terhadapnya, semuanya rasis. maka muncullah lingkaran setan judgement satu sama lain.

Dan ketika orang-orang rasis itu bisa dengan bebas, lenggang kangkung, melakukan aksinya, itulah tanda-tanda kegagalan sebuah masyarakat. Itulah tanda-tanda bahwa cepat atau lambat, clash akan muncul, entah karena sebab yang natural (perebutan sumber daya alam, perebutan sumber ekonomi/ penghasilan/ pekerjaan/ pasar) atau karena sebab-sebab yang dibuat untuk kepentingan politik misalnya. Ibarat api dalam sekam, tinggal menunggu penyulutnya.

Lantas saya membaca mailist tentang kasus Gayo. lantas saya membaca mailist tentang kasus Ahmadiyah. Dan pikiran saya masih berputar tentang klaim atas 'pemilik sah suatu area'. belums empat melanjutkan, harus pergi kuliah. Semoga ada waktu lagi menuliskannya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home