Thursday, April 21, 2005

ARTICLE: Renewable Energy (1)

Majalah GATRA: 20 / XI 2 Apr 2005
LAPORAN KHUSUSMelirik Kemilau Minyak Hijau

BBM alternatif mulai marak diproduksi di dalam negeri. Mampu menghemat devisa jutaan dolar. Ramah lingkungan, kinerjanya pun lebih yahud. Namun kendala masih setumpuk.

GARA-gara harga BBM naik, mahasiswa unjuk rasa. Anggota dewan juga pada baku hantam. Namun para peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) justru tenang-tenang saja. Malah ada yang gembira. "BBM naik? Ah, tidak usah khawatir!" kata Dr. Agus Eko Cahyono, Ketua Balai Besar Teknologi Pati BPPT Lampung. Koleganya, Ir. Arie Rachmadi, MSc, ahli teknologi lingkungan BPPT Jakarta, punya pendapat sama."Memang sudah saatnya subsidi BBM dihentikan. Di beberapa negara, BBM-nya justru kena pajak," kata Arie. Di Australia, misalnya, sebanyak 50%-70% harga BBM adalah komponen pajak. Jangan berburuk sangka dulu. Mereka bukannya tak peduli atau punya uang melimpah. "Sebenarnya, inilah saat yang paling tepat bagi Indonesia untuk mulai melihat bahan bakar alternatif sebagai suatu pilihan," katanya.Para peneliti itu memang punya gacoan baru: BBM alternatif, yang kelak bisa menggantikan solar atau bensin. Arie dan rekan-rekannya di lingkungan BPPT Jakarta kini lebih suka menggunakan "biodiesel B 10" untuk kendaraan mereka. "Selain lebih hemat, biodiesel ini juga ramah lingkungan," ujar Arie. Sementara Agus kini sudah menggunakan "gasohol BE 10" untuk Opel Blazer-nya."Tak usah ragu pakai gasohol BE 10. Terbukti tokcer!" kata Agus bak bintang iklan. Bahkan Agus menjamin, bahan bakar pilihannya itu lebih yahud ketimbang premium atau pertamax. Simak saja catatan pakar teknologi fermentasi lulusan Universitas Hiroshima, Jepang, ini tentang kinerja gasohol BE 10. "Ia mampu mendongkrak kekuatan mesin (power) kendaraan menjadi 41,23 kW," kata Agus.Padahal, premium dan pertamax hanya mampu menyumbang kekuatan berturut-turut sebesar 30,97 kW dan 40,09 kW. Bahkan, menurut Agus, gasohol membuat mesin tidak rakus bahan bakar. Konsumsi gasohol hanya 30,39 liter/jam. Bandingkan dengan premium yang sebesar 31,03 liter/jam dan pertamax yang 27,38 liter/jam. "Selain itu, gasohol juga tidak merusak mobil," kata Agus kepada Yamin Panca Setia dari Gatra.Jangan salah, gasohol BE 10 itu bukan produk canggih buatan Amerika Serikat atau Jepang. Bahan bakar ini adalah produk pabrik Balai Besar Teknologi Pati Lampung di Desa Sulusuban, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Sedangkan biodiesel B 10 tengah dikembangkan BPPT di sebuah pabrik di Pusat Pengujian Termodinamika BPPT Serpong.Jangan bayangkan pabrik itu berdiri di lahan puluhan hektare dengan peratalan serba canggih. Pabrik biodiesel di Serpong hanya menumpang pada Pusat Pengujian Termodinamika BPPT. Luas bangunannya hanya memakan areal seluas sekitar 500 meter persegi. Pabrik mini ini terdiri dari tiga bagian utama. Yakni tempat produksi, ruang penelitian, dan operator mesin.Jantung pabrik berada di kawasan produksi. Di sana berjejer pipa dan tangki dengan diameter 1-2 meter. Pipa-tangki itu digunakan untuk mengolah bahan baku biodiesel, yakni CPO (crude palm oil) alias minyak kelapa sawit. "Di sini kami sebut kawasan showroom," ujar Arie berseloroh. Tapi, tunggu dulu, apa benar memakai kelapa sawit?Tak salah lagi, baik biodiesel maupun gasohol termasuk dalam keluarga biofuel. Yakni bahan bakar yang berasal dari materi organik nonfosil alias biomass (baca: Minyak Emas Terbarukan). Sejauh ini, bahan baku biofuel umumnya diolah dari tumbuhan penghasil pati (jagung, sagu, singkong), plantoil (tanaman berminyak seperti sawit), dan bio-oil (sekam, gagang sawit).Semua tanaman itu sedikit banyak menghasilkan etanol, unsur penting dalam urusan bahan bakar. Etanol mengandung 35% oksigen sehingga meningkatkan efisiensi proses pembakaran. Ia juga mantap digunakan sebagai zat aditif karena mendongkrak angka oktan dalam bahan bakar. Karena itulah, etanol menjadi primadona dalam urusan bakar-membakar. Buntutnya, proyek produksi biofuel pun semakin digalakkan.Banyak pakar energi memandang, inilah minyak masa depan ketika pati fosil penghasil minyak bumi sudah habis ditambang (baca: Haus Minyak Impor). Nah, pabrik-pabrik yang sudah disebut di awal tak lain berfungsi sebagai wadah oplosan. Pabrik BPPT Lampung, misalnya, mengaduk bensin (90%) dengan etanol-alkohol (10%) yang berasal dari singkong sehingga menjadi gasohol B 10.Adapun pabrik BPPT Serpong mengolah kelapa sawit menjadi biodiesel B 10. "BBM tanam" ini bisa menjadi zat aditif atau substitusi solar dengan kandungan biodiesel sebesar 10%. Karena bahan baku biofuel ini umumnya bisa dipetik dari kebun belakang, peluang memproduksi BBM hijau ini sangat luas. Menurut Menteri Riset dan Teknologi (Ristek), Kusmayanto Kadiman, Indonesia bolehlah disebut ladang minyak hijau."Setidaknya kita punya 40 jenis tumbuhan yang bisa diolah menjadi BBM alternatif," kata Kusmayanto. Di luar negeri, minyak hijau ini sudah lama digunakan. Salah satu pelopornya adalah Brasil, yang menggunakan gasohol secara nasional sejak 1975 (baca: Negeri Bensin Tanam). Kini ''negeri samba'' itu menenggak gasohol setidaknya 11 juta kiloliter setahun.Selain Brasil, 13 negara lain menggunakan gasohol maupun biodiesel sebagai bahan bakar resmi untuk mobil sejak 2003. Mulai Uni Eropa, Australia, Jerman, Kanada, Swedia, hingga Thailand. Bagaimana Indonesia? Geliat paling nyata adalah kehadiran pabrik-pabrik tadi. "Pabrik ini kami rintis sejak 1999," kata Ir. Soni S. Wirawan, MSc, Ketua Balai Rekayasa Desain BPPT yang membawahkan proyek biodiesel.Proyek itu awalnya dimotori oleh sebuah tim kecil 10 orang, termasuk Soni dan Arie. "Modal awalnya ketika itu hanya Rp 16 juta," tutur Soni. Padahal, untuk pabrik dengan kapasitas 1 ton saja, dibutuh dana mencapai Rp 100 juta. Maklum, dana dari BPPT tak tersedia. BPPT baru akan mengucurkan duit jika pabrik sudah berdiri. Akibatnya, proyek pabrik biodiesel ini sering molor.Di sisi lain, tuntutan dan harapan pada proyek itu lumayan besar. Mantan Menteri Ristek, Hatta Radjasa, pernah minta proyek ini menjadi produk unggulan BPPT dalam sebuah pameran riset, 2002. Walhasil, "Kami harus ngutang sama supplier. Itu pun ada bunganya. Selama dua bulan itu, kami harus bayar bunga Rp 3 juta," kata Arie. Toh, setelah bersusah payah, pabrik biodiesel akhirnya berdiri juga.Meski baru berkapasitas 1 ton, itulah pabrik biodiesel pertama Indonesia yang mampu melempar produknya ke pasar. "Sejak tahun lalu, biodiesel B 10 sudah dipasarkan," kata Soni. Penggunanya antara lain bus BPPT, forklift di PT National Gobel, dan sejumlah distributor BPPT. Pabrik Serpong itu memiliki kapasitas terpasang hingga 1,5 ton per hari jika dijalankan enam shift penuh.Namun, sehari-hari, produksi pabrik hanya mencapai 500 ton. "Santai-santai saja. Memang belum ada permintaan hingga 1 ton. Tapi, kalau ada, kami sanggup hingga 1,5 ton," ujar Arie. Selain biodiesel, BPPT juga sedang berusaha memasarkan gasohol. "Penelitian gasohol ini bahkan dilakukan sejak 1980-an," kata Soni. Tapi baru Februari lalu, pabrik BBTP Lampung bisa memasarkan produknya, yakni gasohol BE 10.Sebenarnya, bukan hanya BPPT yang punya proyek biodiesel. Beberapa lembaga penelitian lainnya juga sudah berlepotan dengan minyak hijau ini. Tengok saja Laboratorium Bahan Bakar dan Motor Bakar Dalam, Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya. "ITS mengadakan percobaan pertama tentang biodiesel sejak 1983," kata Dr. Djoko Sungkono, dosen Teknik Mesin ITS.Djoko sendiri mengaku bergelut dengan urusan biofuel sejak 1980. Ketika itu, biofuel umumnya masih menjadi produk aditif saja. "Namun terus kami kembangkan menjadi bahan substitusi solar," kata Djoko. Seperti BPPT, ITS juga mengambil kelapa sawit untuk diolah menjadi biodiesel. "Unjuk kerja minyak sawit memang hampir sama dengan solar," katanya.Jika 20% minyak sawit ditambah dengan 80% solar, akan memiliki unjuk kerja 8.000-9.000 kilokalori/kg. Kini, untuk tahap selanjutnya, ITS sedang mencoba mengalihkan objek penelitiannya pada nipah. "Pengembangan sawit agak sulit karena ia juga menjadi bahan konsumsi," kata Djoko kepada Taufan Luko Bahana dari Gatra.Departemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB), juga tak menggunakan sawit. Mereka lebih suka memakai buah jarak pagar. "Jarak dapat dipakai sebagai pengganti solar," kata Dr. Tirto Prakoso, pakar energi alternatif dari Teknik Kimia ITB. Biodiesel berbasis buah jarak ini dikembangkan ITB untuk proyek sistem pembangkit tenaga listrik berskala kecil. "Proyek itu sudah kami kenalkan bulan lalu," ujar Tirto.Dari sekian banyak proyek penelitian biofuel yang dilaksanakan, hampir semua ahli angkat jempol pada kinerja BBM tanam ini. Dibandingkan dengan solar murni, kata Djoko, kinerja BBM sawit B 10 memang masih kurang. Tapi, di sisi lain, banyak keuntungan yang didapat. "Getaran pada mesin diesel relatif berkurang. Mesin juga jadi lebih dingin," katanya.Keunggulan paling nyata adalah pada gas buang. Dengan biodiesel, polutan yang muncul di bibir knalpot jauh berkurang. "Jelaganya tidak sepekat solar murni," kata Djoko.Gasohol sebagai aditif bensin juga terbukti ramah lingkungan. "Gasohol mampu mereduksi efek rumah kaca serta meningkatkan kadar oktan," ujar Ir. Sigit Setiadi, MEng, teknisi BPPT Lampung. Ini berbeda dengan gas buang bensin yang selalu menyemburkan polutan berbahaya, seperti karbondioksida (CO), nitrogen-oksida (NOx), serta sulfur-oksida (SOx).Melihat berbagai kelebihan itu, BBM tanam tentu sangat tepat diterapkan untuk bumi yang tua dan kotor ini. Kantor Kementerian Ristek telah mengadakan serangkaian kampanye, seminar, dan uji coba BBM tanam terhadap beragam kendaraan sejak 1990-an. Namun, apa boleh buat, hingga kini peminatnya bisa dihitung dengan sebelah tangan. Paling banter cuma terjadi "saling pengertian" berupa rencana yang belum juga terwujud.Kepala Humas Pemda DKI Jakarta, Catur Laswanto, misalnya, mengatakan, "Kementerian Ristek sudah presentasi soal BBM alternatif ini kepada Pak Gubernur." Menurut rencana, bus-bus Transjakarta yang menjadi kebanggaan Pemda DKI akan memakai biodiesel. Tapi itu masih di atas kertas.Menteri Kusmayanto bukannya tak tahu kondisi itu. Menurut dia, proyek BBM tanam ini bisa berhasil jika tiga hal penting terpenuhi. Ada bahan baku yang cukup, teknologi memadai, serta terbukanya pasar. Sejauh ini, dua hal tadi bisa dicapai. "Hanya saja, masalah pasar ini memang susah. Ada tidak yang mau beli," katanya.Karena itulah, Kusmayanto merasa pemerintah perlu sedikit turun tangan. "Pemerintah perlu mengeluarkan peraturan dan insentif," katanya. Misalnya, pengusaha atau industriawan yang membantu proyek BBM hijau mendapat keringanan pajak atau fasilitas lain.Bahkan Agus berharap, "Gasohol dan biodiesel bisa disubsidi seperti premium." Ia mengacu pada kebijakan Pemerintah Thailand. Di negeri itu, bahan bakar yang ada wajib dicampur dengan BBM tanam. Selain itu, Thailand juga memberi keringanan pajak bagi industri etanol, bebas bea masuk, dan sebagainya.Sayang, kebijakan seperti itu belum ada di Indonesia. Direktur Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Iin Arifin Takhyan, mengaku gembira dengan perkembangan BBM tanam ini. "Wah, kami sangat welcome soal BBM alternatif ini," kata Iin. Namun Iin masih bertanya-tanya tentang ongkos produksinya yang tinggi dibandingkan solar bersubsidi.Karena itu, ia enggan berkomentar soal biofuel. "Itu kebijakan Dirjen Listrik dan Pengembangan Energi. Bukan saya," katanya. Ongkos produksi BBM tanam memang lebih mahal. Biodiesel, misalnya, dijual dengan banderol Rp 5.000-Rp 6.000 per liter. Jika dijual sebagai campuran 10% dalam solar, harganya menjadi Rp 2.390. Sudah mendekati harga solar bersubsidi yang Rp 2.100. "Tapi itu masih dianggap mahal," kata Kusmayanto.Tapi para peneliti BBM tanam tak rela dikatakan bahwa minyak alternatif mereka itu mahal. "Coba kita lihat dampak jangka panjangnya," ujar Kusmayanto. Dalam proyeksi yang disusun Kementerian Ristek, konsumsi biodiesel akan mencapai 2% atau 720.000 kiloliter pada 2009. Untuk itu, dibutuhkan 720.000 ton CPO dari 205.000 hektare kebun sawit. "Itu memerlukan sekitar 68.000 pekerja kebun dan 5.000 orang di pabrik," katanya.Selain menyerap banyak tenaga kerja, menurut Kusmayanto, BBM tanam akan mengurangi biaya 720.000 kiloliter solar impor. Dengan asumsi harga solar impor US$ 30 sen/liter, "Bisa menghemat devisa sekitar US$ 216 juta," kata Kusmayanto. Penggunaan gasohol sebanyak 2% untuk pencampur bensin juga akan menghemat US$ 126 juta. "Itu dengan asumsi harga premium impor sebesar US$ 30 sen/liter," tutur Kusmayanto.Selain itu, petani juga mendapat untung. Menurut kalkulasi Kementerian Ristek, biaya budi daya singkong diasumsikan sebesar Rp 2,5 juta/hektare. "Maka, perputaran dana di tingkat petani ubi kayu sebesar Rp 225 milyar," kata Kusmayanto. Begitu juga berbagai jenis BBM tanam lainnya seperti bio-oil (lihat tabel).Toh, walaupun di atas kertas biofuel berjaya, dalam kenyataannya masih banyak kendala lain yang menghadang. Misalnya saja, teknologi industri otomotif yang masih memihak BBM fosil. Perjalanan BBM tanam memang masih panjang. Hal ini bukannya tidak disadari para ahli energi alternatif. Namun mereka pantang menyerah. "Suatu saat kami pasti berhasil," kata Arie optimistis.Nur Hidayat, Heni Kurniasih, Luqman Hakim Arifin, dan Rahman Mulya
Haus Minyak Impor"WAKTU masih mahasiswa, profesor saya bilang, cadangan minyak cuma cukup untuk 20 tahun. Kini, setelah 30 tahun, cadangan minyak pun masih dikatakan 20 tahu lagi." Itulah anekdot yang dilempar Menteri Riset dan Teknologi, Kusmayanto Kadiman, tentang cadangan minyak.Bisa jadi, sejalan dengan penemuan teknologi dan eksplorasi minyak, ditemukan banyak cadangan baru. Toh, Kusmayanto tak menafikan bahwa minyak bakal makin langka. Lihat saja, kilang dalam negeri hanya sanggup menyetor kapasitas 1 juta barel per hari. Akibatnya, sekitar 35% bahan baku kilang dan 30% konsumsi BBM dipenuhi dari impor.Menurut kalkulasi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2002, cadangan minyak bumi hanya mencapai 5 milyar barel. Dengan tingkat produksi mencapai 500 juta barel, cadangan itu akan habis dalam 10 tahun. Kontribusi migas tahun itu memang mencapai Rp 77,6 trilyun atau 25% dari penerimaan negara. "Namun subsidi BBM mencapai 36% dari harga pokoknya," kata Kusmayanto. Jika tak berhemat atau mencari alternatif, Indonesia bakal haus minyak impor terus-menerus.
Cadangan Energi 2002
Keterangan
Minyak
Gas bumi
Batu bara
Panas bumi
Cadangan terbukti
5 milyar barel
90 TSCF
5 milyar ton
2.300 MW
Produksi
500 juta barel
3 TSCF
100 juta ton
800 MW
Jangka waktu
10 tahun
30 tahun
50 tahun
Terbarukan
Ekspor dari produksi
44%
50%
75%
TerbarukanSumber: ESDM
Minyak Emas TerbarukanINILAH "emas" yang tak akan habis ditambang. Biofuel adalah bahan bakar turunan dari biomass --materi organik nonfosil. Karena itulah, biofuel menjadi energi yang terbarukan. Tak seperti minyak bumi, batu bara, atau energi nuklir.Sejauh ini, para ahli membagi biofuel menjadi tiga bagian: padat, cair, dan gas. Kayu-kayuan, tumbuhan kering, termasuk pupuk kandang, bisa digolongkan sebagai biofuel padat. Semuanya bisa dipakai sebagai bahan bakar.Ada juga biofuel cair. Di sinilah umumnya golongan biodiesel dan gasohol berada. Keduanya bisa dibuat dari olahan minyak kelapa sawit, gula, nipah, dan sebagainya. Biofuel cair memungkinkan para ahli mendapatkan etanol, senyawa penting dalam proses pembakaran.Yang terakhir adalah biofuel gas. Beberapa unsur gas tertentu bisa diolah menjadi bahan bakar. Misalnya gas metan dan biogas.
Etanol Sang PembakarUSIA etanol atau ethyl alcohol (C2H5OH) boleh dibilang setua sejarah manusia. Ia sudah diolah manusia menjadi berbagai minuman beralkohol. Namun, sebagai suatu senyawa sendiri, etanol pertama kali dikenalkan oleh seorang ahli kimia Islam, Al-Razi (864-930).Etanol dapat diolah dari beragam tanaman. Mulai jagung, gandum, kentang, sekam, tebu, hingga rumput laut. Jika disuling, kemurniannya bisa mencapai 96% dan bening seperti air.Dibandingkan senyawa lainnya, etanol adalah unsur yang mudah terbakar dan menyala paling efektif. Hasil pembakaran etanol hanya murni karbondioksida tanpa zat polutan lainnya. Karena itulah, etanol dipandang sebagai bahan bakar hijau yang ramah lingkungan.Hanya saja, etanol agak pilih-pilih mesin karena nilai oktannya lebih tinggi ketimbang bensin biasa. Karena itu, mesin-mesin yang ingin menerima etanol haruslah memiliki ruang karburator lebih gede. Namun kondisi ini bisa diatasi jika etanol hanya menjadi bahan campur sebesar 10%-30% dalam bensin.
Proyeksi Penghematan BBM Tanam 2009*
Keterangan
Konsumsi
Bahan baku
Lahan
Tenaga kerja
Penghematan
Biodiesel
720.000 kl
720.000 ton CPO
205.000 ha
73.000
US$ 216 juta
Gasohol
420.000 kl
2,5 juta ton singkong
91.000 ha
650.000
US$ 126 jutaSumber: BPPT* dalam pemakaian sebesar 2%

0 Comments:

Post a Comment

<< Home