Tuesday, August 30, 2005

CATATAN:Bawah jembatan layang Pejompongan

Kembali dari Departemen Kehutanan menuju kantor, saya melintas di bawah jembatan layang arah Pejompongan. Langkah mantap menyusuri jalan berconblock menuju seberang. Panas terik sedikit terhalang pepohonan di area jalur hijau itu. Pandangan saya fokus pada jalanan. Terutama ketika saya sampai di trotoar bawah jembatan layang. Saya mencari dimana anak tangga dekat jembatan untuk naik ke tempat orang biasa cegat bis.

Bunyi ning nong ning nong tanda kereta api akan lewat mengagetkan saya. Palang pintu bergerak turun. Saya baru ngeh, kereta api jurusan Merak-Kota lewat di jalur ini juga. Tak terduga pandangan terarah sesosok kecil di seberang, persis di pinggir rel kereta. Tubuh kecil itu berjongkok membelakangi kereta. Kaki kurusnya bertumpu di atas tanah yang posisinya 50 cm diatas rel. Jarak saya dengannya sekitar 6 meter, terpisahkan jalan mobil, pagar pembatas dan rel.

Kereta api belum lewat. Saya hentikan langkah, mata saya awaskan. Saya tercekat. Rasanya seonggok batu tertahan di tenggorokan. Tulang ekor sosok kecil itu menyembul jelas. Sekat-sekat antar tulang belulang terlihat. Tulang-tulang iganya menonjol. Sosok kecil itu benar-benar ada. Ia bangkit berdiri. Seorang lelaki tanpa baju, menarik tangannya lekas.

Kereta api lewat. Meninggalkan getaran yang masih tersisa di dada. BUkan karena gemuruhnya, tapi karena pemandangan sebelumnya.

Saya kembali memandang ke seberang. Sosok kecil kembali bergerak ke pinggir rel. Makin jelas bagi saya betapa kurusnya ia. Tangannya begitu kecil, sosoknya begitu ringkih. Ia sedikit lebih tinggi dari anak saya yang berumur dua tahun. Mungkin ia berusia sekitar 3 tahun-an. Gadis kecil itu berjongkok lagi. Sesosok lelaki yang tadi menariknya, mengambil baju dari gerobak. Kulitnya legam. Tulang-tulang iganya menonjol. Ia begitu kurus. Dua orang perempuan dewasa duduk diatas gerobak. Mereka bersandar di tembok jembatan.

Saya berpikir, sudah jam 3. Sudah makankah mereka? Saya teringat, tadi saya makan 4 potong siomay yang enak sekali di Dephut seharga 12.500. Berapa arti uang itu bagi mereka? Barangkali bisa membeli 3 bungkus nasi. Saya berjalan sambil menengok ke arah mereka. Mata saya basah. Penderitaan itu persis di depan mata saya, di Jakarta yang gemerlap.

Saya berjalan lagi. Di tangga menuju jalan Gatot Subroto, jalanan utama pusat kemewahan Jakarta berada, saya menengok ke belakang. Saya berucap dalam hati, maafkan saya, tak mampu berbuat apa.

Persis di samping jembatan, saya nimbrung kumpulan orang yang menunggu angkutan. Panas sore menyengat. Bis saya datang. Biskota P6 warna hijau bergaris krem dan merah jurusan Komdak. Bis penuh sesak. Tak mengapa, yang penting cepat sampai, pikir saya. Saya mencoba mencari pegangan diantara barang-barang penumpang di pojokan. Sejenak saya seolah dalam lamunan.

Suara parau mengusik pendengaran saya. Saya mencari sumber suara diantara penumpang yang berdesakan. Diantara deru bis dan teriakan kondektur, Lagu tak berirama dinyanyikan. Syairnya entah apa. Nadanya entah darimana. Saya mengira itu lagu dangdut yang pernah dipopulerkan Inul, "Saiki zamane zaman edan.."

Pandangan saya beradu dengan mata bening itu. Bukan penyanyinya, tapi bayi di gendongannya. Ia dibalut kain jarik batik. Tangannya pun masuk ke dalam gendongan. Kakinya muncul di bawah kain. Persis di pinggang ibunya. Kepalanya menyembul keatas. Saya menduga, umurnya belum setahun. Rambut di kepalanya begitu tipis. Wajahnya pucat pasi. Matanya jernih menatap saya.

Saya tercekat. Benar-benar tercekat kedua kalinya. Saya merasa, ia bertanya pada saya mengapa ia seperti ini? Dan saya tertunduk, mengapa saya tak mampu berbuat apa-apa. paling saya memberikan 1000 untuk ibunya. Tapi apa artinya untuk dia?

Seringkali, saya mendengar kaum ibu yang menggunakan anaknya untuk mencari uang dengan mengamen sambil membawa anaknya. Kadang saya marah karena seorang Ibu tega membiarkan anaknya kepanasan, terhimpit-himpit dalam bis kota. Tapi saya lantas berpikir, jika bayi-bayi itu memang anaknya, mereka tak mungkin membiarkannya sendirian. Mau tak mau, membawanya kemanapun kaki melangkah, sepanjang jalan.

"Demikian persembahan dari kami. Tak lupa kami ucapkan semoga Bapak Ibu selamat di perjalanan. Terimakasih," saya masih mendengar kata penutup pengamen wanita itu.

Ia bergerak ke abgian depan bus, mencari celah diantara penumpang yang berjejal. Bungkus permen kopi itu diedarkan. Bunyi gemerincing uang receh beradu. "KOmdak komdak!" kondektur berteriak. Kaki-kaki berderap menuruni bis, yang masih berjalan. Saya pun larut dalam keramaian. Ibu dan bayinya, hilang dari pandangan. Persis di depan gedung megah PLaza Semanggi, pusat perbelanjaan.

Sudah dua bayi yang dirampas haknya oleh ibukota. Apa yang bisa saya lakukan? Kepala saya berat memikirkannya.

Pukul 19.00, saya kembali ke rumah. Jalurnya Kalibata-Pasar MInggu-Pasar Rebo. Jalanan di pasar minggu macet. Jalur underpass di bawah jalur kereta sedang dibangun. Jalan dipersempit untuk proyek. Hanya satu kendaraan bisa melintas. Maka antrian panjang sampai di pertigaan menuju Pejaten.

Saya turun. Yang lain banyak juga yang memilih jalan kaki menuju pintu kereta, ketimbang mabuk asap knalpot yang entah berapa tahun tak dibersihkan.

Pedagang kaki lima yang berjualan buah di gerobak kini tinggal sedikit. Padahal dulunya, waktu jalan masih lebar mereka berjajars epanjang jalan. Kini tinggal beberapa yang tersisa. mereka menggelar dagangan di bawah pepohonan, persis di depan pagar besi pembatas jalan. Barangkali mereka berharap dagangannya dibeli pengendara kendaraan yang berhimpit melawan macet.

Ada jalan konblok buat pejalan kaki diantara rel kereta dan jalan raya. Sejak proyek berlangsung, jalan ini ramai. Meski gelap tak terasa menyeramkan. Karena banyak yang liwat ramai-ramai. Dulu, orang lebih memilih jalan kaki di antara bis dan motor. Selain tak khawatir kejahatan, juga bisa mampir beli buah impor, murah. Satu apel atau jeruk mandarin seribu rupiah. Melon besar, 5000.

Dari kejauhan saya telah melihat seorang perempuan berdiri di bawah pepohonan. Anaknya meronta-ronta dalam gendongan. Ia bicara sesuatu, tapi saya tak jelas mendengar kata-katanya. Lantas ia menuju pejalan kaki. Tangannya menadah ke langit. Sebagian besar berjalans eperti diburu hantu. Tangan tengadah tak terlihat. Saya pun lewat begitu saja. Tapi reflek saya berbalik. Saya punya jatah makan dari kantor. Menunya sop ayam dan nasi. Jatahnya seharga 12,500. Jus mangganya sudah saya minum sebelum pulang. Sop ayam dari warung MM ini favorit saya. Selain segar, banyak sayuran. Saya berniat makan bareng Ara yang suka makanan berkuah. Tapi saat itu saya cuma ingin anak itu yang menikmatinya. Untuk Ara, kapanpun mama akan bisa membelikannya, begitu pikir saya.

Saya berjalan lagi. Sehari ini, tiga kejadian saya lihat. Berulang dimata saya. Hingga naik angkot 15, saya masih terbayang kejadian seharian. Di pusat kota Jakarta, di selatan Jakarta, di Timur Jakarta, di barat Jakarta anak-anak yang kehilangan haknya bertebaran. Mereka tak merasakan dibelai ibu sepanjang malam, mereka mungkin ketakutan di antara keramaian, namun mereka tak mampu mengatakannya. Siapa peduli? Seandainya saya bisa melakukan sesuatu yang berarti bagi mereka...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home