Thursday, May 12, 2005

ENERGY: Importance of Energy Law- Minister Purnomo

PURNOMO YUSGIANTORO-Usai Rapat Kabinet 12 mei 2005, kamis

Usai rapat kabinet soal darurat sipil Aceh. Masih membahas APBN-P dengan komisi VII yang akan dipimpin pak Gusman.

Masalah hukum energi. Ada beberapa hal yang saya ingin sampaikan sehingga saya ingin hadir di tempat ini. Pembentukan Masyarakat Hukum Energi.

Ke depan ini, tantangannya makin besar. Kadang saya berpikir kenapa ke depan kita makin susah. Salahs atunya adalah amslah hokum makin mencuat. Dan di departemen ini snagat syarat dnegan permasalahan hokum. Bahkan tadis aya sudah dengar produk hokum dans ebagainya saya ingin masuk dalam hokum praktis. Masalah yang terkait dnegan legal certainty, contract certainty. Itu yangs elalu menghantui saya sebagai menteri, sehingga kadangkala saya dalam emmbuat keputusan untuk mendpaat backup dari legal adviser. Contohnya ketika presiden menetapkan bahwa tiap menteri (untu menteri politik) diizinkan mengangkat 3 staf khusus, saya pada pak sekjen bilang kepingin satu staf khusus saya ahli di bidang hokum. Kita sudah punya produk UU dsbnya.

Banyak masalah hokum yangs aya hadapi ternyata makin lama makin berkembang. Ada masalah Adaro, ada masalah divestasi KPC yang harus dituntaskan. Belum ada satu cerita waktu itu kita meninjau ke nabire. Presiden dan beberapa menteri hadir disana. Pada suatu makan pagi, salahs eorang rekan menteri bilang Pak Purnomo itu kontrak Freeport diberhentikan saja. Kneapa pak? Freeport itu tidak pernah melaporkan produksi emasnya. Yang dilaporkan hanya produksi tembaga saja. ITu kan merugikan negara.

Saya mengatakan bahwa produksi Freeport, diawasi oleh tiga institusi, pemerintah, pemerintah daerah, juga dari Freeport snediri. Pemerintah daerah bayar Sucofindo untuk ngawasi produksi Freeport.

Tiba-tiba presiden kita bilang. Pak Menteri X, kontrak yang sudah diteken itu nggak bisa dibatalin. Saya senang juga. Dalam otak saya berpikir. Kontrak yang dibikin 25 tahun lalu, kemudian ada dinamika yang berkembang. Kontrak-kontrak dis ektor kami, migas, pertambangan dan listrik itu kontrak yang 20-30 tahun lalu. Ada dinamika yang berkembang. Rezim berganti, bukan tidak mungkin aturan juga berganti, dinamika berganti, lantas apakah kontrak ini juga bisa diubah?

SEmentara kalangan bilang ini kesucian kontrak. Kalau tidak ada legal certainty, mana mau investor datang. Ujung-ujungnya ada kepentingan ekonomi, hukum. Dan kepentingan praktis. Ini yang nyata-nyata dihadapi. Ini mengganggu saya. Disatu sisi bahwa kehadiran perusahaan selama 20-30 tahun emstinya untuk memberikan kemakmuran pada amsyarakat. Tapi ternyata sementara kalangan mengatakan tidak.

Kontrak bisa dirubah kalau kedua belah pihaks etuju untuk dirubah. Kecuali ada KKN, ada amsalah-masalah itu lain soal. Contoh Otonomi daerah. Itu dinamika yang berekmbang. Founding father kita wkatu menaikkan kontrak-kontrak itu tahun 1980-an, terbersit bahwa tahun 2001 akan ada otonomi daerah.

Sekarang ini modus operandinya, kalau mau batalkan kontrak itu simple. Blok dulu konsesi itu. Saya sudah menemukan sekitar 10-15 bupati modelnya konsesinya diblok dulu saja. Didemo atau diapain, kirim surat ke menterinya. Menteri ada ini..ini ini… Dan memang yang dihadapi di beberapa daerah, kontrak itu diberik 40000 ha, 60000 ha dan pada waktu itu hanya masuk dalam satu provinsi. Sekarang sudah jadi 3-4 provinsi.

Kalau sudah diblok begitu, memaksa kita duduk dalam meja perundingan. Pada waktu duduk di meja perundingan, disitulah kesempatannya kntrak harus dirubah. Persyaratan. Kewajiban dan hak tertuang dalam kontrak harus diruubah. Apakah cara-cara seperti ini, saya nggak tahu bagaimana .ini apakah hukumnya harus dijalankan bahwa pejabat daerah ini tidak boleh emlakukan tindakan anarkis, ataukah kenyataannya dinamika lapangan itu yang terjadi. Dan itu akan terjadi terus-terusan. Di Koran sudah ada kasus dimana menara pnegeboran petrochina tidak boleh mengebor di daerah cepu. Ujung-ujungnya itu karena pemerintah daerah emminta bagian share, participating interest 10 %. Akhirnya kalau dipaksa begitu kita mesti duduk di meja perundingan. Tetapi tren praktek ini memang terjadi.

Ada kasus kecil. Ada kasus besar. Ambalat itus ecara yuridiksi punya pemerintah Indonesia. Dulu dibor sama Shell…ini off the record…ada wartawan…kita setip lah.

Anyway ada beberapa kasus. Tetapi legal certainty dan contract certainty itu emngganggu saya. Itu memberikan kegamangan bagi saya snediri untuk menaikkan kontrak.

Contohnya, beberapa kontrak diizinkan oleh UU dan PP untuk dilakukan. Contohnya yang simple saja, kontrak konsesi, kontrak upstream dan downstream tidak selamanya sama. KOntrak konsesi biasanya diberikan kepada para pengembang dan diberikan pada perusahaan pertambangan pada waktu tertentu.

Mereka tidak pernah membayangkan pada waktu menemukan deposit itu dijual, itu melebihi masa eksplorasi dan amsa produksi. Contoh konkret di Cepu, kontrak habis 2010. tetapi Exxon Mobil sudah keluarkan ratusan ribu dolar untuk eksplorasi dan akhirnya ketemu minyak. Pada waktu itu Exxon bilang, nggak bisa dong, kita sudah eksplorasi ratusan juta dolar. Kemudian 2010, tinggal 5 tahun lagi. Kan nggak sempat saya kembangkan depositnya. Apoa saya punya option to extent.

Tetapi by law itu dikembalikan ke Pertamina. Tapi Mobil bilang nggak bisa. Karena saya yang nemukan lebih dulu, saya dong dapat hak pertama untuk mengembangkan itu. Jadi eklihatannya ada kepentingan ekonomi, hokum yang tampaknya mesti ada satu sinkronisasi dimana dinamika perkembangan ekonomi begitu cepat, kemudian perkembangan hokum apakah harus menyesuaikan ke ekonomi atau ekonomi yang menyesuaikan ke hokum.

Sudah tejawab oleh amhkamah konstitusi nggak. Jadi saya pernah bertemu beberapa praktisi dan pakar hokum mengatakan bahwa tidak banyak di banyak engara, bahwa konstitusi memberikan pengetatan terhadap market ekonomi. Contoh UU listrik kita. UU migas kita pun diminta diamandemen. Karena setiap harga harus ditentukan oleh pemerintah. Jadis ebenarnya di UU ekonomi itu, liberalisasi market itu nggak ada. Terutama UU dasar 45 pasal 33.

Jadi kalau daris isi ekonomi, setelah dia bergeser dari monopolistic market structure kemudian ke oligopoly kemudian ke kompetitif market. Tetapi karena konstitusinya tidak mengijinkan adanya suatu …dari market ekonomi sheingga ini semua ditentukan oleh government. Artinya di suatu negara itu ada state company. Karena itu saya buat seminar. Mungkin diantara teman-teman ada yang hadir seminarnya Lemhanas dengan Braitton Institute (institutnya pak SBY. Mereka skearang mengundang pak Jimly Asshiddiqi.

Ada perdebatan informal mengenai penjabaran dikuasai oleh negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Itupun nggak tuntas sampai sekarang. Pakar hokum tertentu pak Purnomo atau pak menteri bilang di MK saja perdebatannya ngak habis-habis.

Dikuasai oleh negara itu artinya regulasinya, penggunaan pengawsan oleh negara. Tidak perlu dikuasai oleh negara itu dimenej diatur oleh negara. Dibina diawasis emuanya oleh negara dalam bentuk state company.

Sampais ekarang ada dua interpretasi. Yang repot kita kita di sketor riil. Alau Mahkamah Konsititusi mengatakan ini, kembali ke UU lama bahwa yang ada adalah state company,

Makananya UU listrik kita dibatalkan kembali ke UU 15 dimana itu monoolistik. Karena ini the state company, monopolistic, maka PLN lagi yang pegang peranan.

Anehnya UU mIgas nggak dibatalin. Kalau tiu kembali ke Pertamina juga, ini tantangan bagi pakar hokum juga. Sebanrnya mana ini. Memang kita ngak boleh 100 % liberal, makanya pengaturan dan pembinaan dilakukan oleh pemerintah. Ada badan pengatur yang kalau di luar negeri itu liberal, badan idnependen. Disini itu badannya engara. Badan Pengatur hilir, pak Tubagus, kemudian badan pelaksana migas, itu badannya migas, itu badannya pemerintah. Itu ada kerancuan-kerancuan pada tataran konseptual makro.

Pada tataran mikro lebih-lebih lagi, rancu lagi. Beberapa waktu lalu saya diminta menandatangani cost fill service cost recovery. Saya buka saja. Semua sudah mengatakan Bapak bisa teken ini. Feeling saya kok aneh. Sesuatu yang menjadi haknya menteri, kok diijinkan diberikan dulu, ditandatangani,s ambil ada proses kemudian baru ditandatangani.

Saya minta Pak sekjen, coba kita minta opini hokum deh. Cari ahli hokum yang meiliki pemikiran lain. Waktu diminta pendapat, kalau Bapak tandatangani ini Bapak masuk kejaksaan. Saya bilang anak buah saya. Gila kalian ini gimana. Disini ada etman-temans aya, say emnerapkan manajemen demokrasi. Saya bilang thanks god saya nggak lakukan itu. Saya bilang pak Luluk lengkapi dulu ini, jalan yang terbaik bagaimana.

Jadi ini ada persepsi hokum yang berbeda. Jadi kalau 10 ahli hokum bertemu katanya ada 10 pendapat yang berebda. Saya nggak percaya. Saya ekonom, saya juga insinyur juga ahli ekonomi. Nyatanya kita bisa selesaikan permaslaahan.

Jadi bottom line nya forum ini dikembangkan. Kalu bisa ada tim ahli Bantu saya. Saya bersedia betul dibantu dan saya sneangs ekali. Saya ketemu pak Hikmahantodibawah. Terima kasih karena Pak Purnomo jadi patronnya jurnal hokum di UI. Karena begitu saya ditawari saya langsung mau. Karena saya kalau lihat hukums ekarang paling takut. Saya nggak negerti hokum. Bapak-bapak berabhagia tahu hokum, nyesel saya. Saya pikir dulu saya sekolah jadi insinyurhebat. Setelah bekerja saya pikir ternyata kurang, yang tepat ternyata jadi ekonom. Karena pak Wiyogo, aliwardhana. Srtelah jadi ekonom, ternyata hebat itu kalau eblajar amslaah social politik, amsuk lemhanas jadi wakil gubernur lemhanas, jadi guru lemhanas. Ternyata hokum adalah panglimanya. Tolong kalau ada fakultas hokum yang bisa terbitkan gelar sarjana dalam setahuns aya akan daftar.

Tolong forum ini dikembangkan syukur forum ini bisa jika ada case kita aksih ke mereka. Apapaun nati itu bentuk formula kerjasamanya seperti apa. Ini emnarik juga karena merupakan satu case yang akan menajdi hal yang emanrik.

--doktor energi
Sub-sub energinya sudah ada. Mungkin bisa bertatap muka berdiskusi dnegan anggota MK untuk pengertian khususnya mengenai dikuasai engara, karena pengertian itu setiap subsektor energi tiu bsia berbeda. Jangan sampai ebgitu ini terbentuk sudah jalan, di tengah jalan ada review, kembali lagi ke interpretasi dikuasai oleh negara. Saya juga melihat pasal 33 demokrasi ekonomi cukup fleksibel. Awalnya ekonomi kerakyatan kemudian diubah emnajdi demokrasi ekonomi dengan pronsip-prinsipnya. Unsur liberalisasi ada di dalam demokrasi ekonomi. Jadi itu perlu, kami-kami ini yang hokum apa yang dimaksud engan demokrasi ekonomis ebagai pelaksanaan enasional.

Pur:

Memang ada dua hal dalam pasal 33 yang penting. Satu, sumber-sumber kekayaan alam, kedua yang emnyangkut hajat hidup orang banyak itu dikuasai oleh negara. Kalau itu sumber kekayaan alam minyak mentah, tambang batubara, gas. Tetapi juga yang menguasai hajat hidup orang banyak yaitu BBM dan listrik. Itu emmang disitu dikatakan dikuasai oleh engara. Ajadi sekarang pertarungannya adalah apakah diatur, pengambilan kebijaksanaaanya, pengaturannya pembinaanya kemudian pengawasannya dilakukan oleh negara cq BUMN atau oleh negara cq pemerintah. Ini ajdi rancu. Terjadi perdebatan air, gas, kayu yang sudah jadi mebel, kursi dsbnya. Itu kan juga menyangkut hajat hidup orang banyak. Apakah itu juga harus diatur oleh enara.

Ternyata di engara beras itu tidak diatur. Gula juga naik turun. Mohon yangs eperti ini perlu diluruskan. Saya terserah saja, kalau ahli hokum punya interpretasi yang sama, saya seneng. Saya nggak harus emnaytakan yang ini betul, yang itu karena saya bukan ahli hokum. Tetapi begitus ekali kita menyampaikan ini, konsisten, jangan berebda interpretasinya.Kalau forum ini sudah terbentuk, ada forum dnegan MK. Lewat departemen MK.

Sekarang ini ada 4 UU ekonomi, ada listrik, migas, telkom, air. Ini challenge. Kalau maslaah ekonomi kita bicara eventually the god is market economy. Itu nggak bisa dicapai karena harus dikontrol oleh pemerintah. Nah UU ini ditanyakan, kok UU nggak lolos, UU migas lolos.

GUsman:

Saat kita di DPR saat membentuk MK, pada waktu itu kenapa sih. Ada 9 orang, 3 orang pemerintah, 3 orang mewakili DPR, 3 orang MA. Harusnya UU yang dibuat bersama DPR itu kan mewakili pemerintah dan DPR. Kalau kita lihat,k berapa persen yang pro pemerintah dan pro DPR. Mestinya kalau yang pro pemerintah dan pro DPr minimal ada 6 orang, jadi nggak boleh dibatalkan. Ternyata 6 orang itu tidak mewakili. Menarik untuk dikaji.

Misalnya membuat UU, rapat kerja itu ada menetri ada kami. Begitu bicara tentang Panja. Kalau kita minta Panja itu harus ada kita klarifikasi mengenai hokum lain dsbnya disitu ada Kehakiman. Bagaimana orang kehakiman, kadang-kadang dia tidak masuk, kadang-kadang dikirm orangnya berubah=ubah. Dankemampuannya juga beda. Ini yang merepotkan kita dlam membeuat UU.

Dalam peraturan perundangundangan sudah ada tatacara pembuatan UU. Dari PUsat bahasa Indonesia, selalu konisten. Kalau dari Law firm itu carinya banyak. Apalagi aklau di DPR banyak pengusahanya pasti disiapkan ukul-ukulnya. Contoh PPNBN. Saat itu ikut saya masih ketua umum REI. Saya ikut membahs. Disebutkan PPN barang mewah. Khusus apartemen di bawah 150 m2 bukan barang mewah. Mremang saya siapkan karena dulu saya bikin apartermen. Tetapi sekarang orang pajak tahu. Dijadikan peraturan menjadi barang mewah jika per m2nya lebihd ari 6 juta. Sebenarnya kalau law firm..itu enaknya jadi pengusaha jadi legislator.

? Usulan agak radikal tetapi amsihd alam konstitusional. Usulan chech and balance. Kita amsih bisa merubah pasal 33. masih bisa diberikan klarifikasi, bahwa saat suasana pembuatan UU 45 sistem nya masih dipengaruhi lingkungan. Mungkin ambils istem belanda dimana semua dipegang negara.

Putusan MK bagi prkatisi hokum sangat membingungkan.
Saat listrik unsure kepemilikan negara ditekankan. Saat UU migas unsure itu tidak dipentingkan lagi. INi menyulitkan praktisi hokum emnarik benang merahnya.


?-Forum sekarang bisa Bantu.

Climate sekarang ini ada kecenderungan menghambat dunia usaha. Sekarang sudah rutin apa-apa digedungbundarkan, diKPPUkan. Padahal kadang-kadang it’s a pure business decision. INi climate sangat tidak sehat. Apalagi di birokrasi. Tidak ada yang ebrani ambil keputusan. Saya nggak tahu bagaimana caranya menyehatkan iklim yangs eperti ini. Karena ini terasa sekali bagi pelaku usaha dan birokrasi. SEolah-olah apaun yang mereka lakukan. Ada yang tidak suka saja, langsung masuk pengaduan. Ini satu hal lagi yang bsia jadi bahan diskusi jika forum ini ada.

PUr:

Saya setuju. Yang saya ingin tahu, hukumnya bagaimana. Pejabat dulu dan skearang itu beda. Pejabat dulu, naik bus, keinjek kakinya. Sekarang nggak boleh marah. Tolong kalau pagi minum satu tablet pil sabar. Satu tablet cukup.

Karena sekarang gampangs aja amsukkan orang ke KPK, ke kejaksaan. Kemarin say abaca di Koran, BP migas dimasukkan ke KPK. Ada tender apa. Itu hukumnya gimana. Misalnya tidak terjadi apakah orang juga bisa dituntut mencemarkan nama baik.

Kalau yang mengatakan itu orang biasa, kan …tapi kalau anggota dewan yang terhormat, ka nada ekekbalan politik. Ini betul. Terutama BP MIgas kan saban tahun emngelola 8 miliar dolar per tahun. Apa ini perlu ada check and balances untuk equal opportunity. Boleh dibahas dalam diskusi nanti.

Luluk: biar teman-teman saja. Biar lebih independent. Pemerintah hanya memfasilitasi.

Pur; tiap diskusi ada topic, ada hasilnya nggak? Kita pengin ngikuti juga.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home