Thursday, May 12, 2005

ARTICLE: Water Business (2)

Published in GATRA weekly news magazine 26 / XI 14 Mei 2005
Pasien Kronis Bernama PDAMPerusahaan daerah air minum bak pasien kronis yang terus-menerus butuh bantuan pernapasan. Kebocoran mencapai separuh produksi. Perlu komitmen pemerintah.MARKUS Manek tampak jengkel. Dengan wajah tegang dan mata memerah, pria 38 tahun warga Kelurahan Kelapa Lima, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu terus memuntahkan caci maki. Kekesalannya tertuju ke pengelola perusahaan daerah air minum (PDAM) setempat. Pasalnya, penyuplai air bersih milik Pemda NTT itu hanya mengalirkan air ke rumahnya seminggu sekali. Itu pun dibatasi hanya dua jam. "PAM Kupang adalah perusahaan air mati," umpat Manek.Direktur Teknik PDAM Kupang Ali Nurawi mengakui, PDAM Kupang mengalami masalah sejak Januari lalu. Penyebabnya, curah hujan kian susut hingga debit air anjlok. Dari 22 sumber air PDAM Kupang, hanya 19 yang berfungsi. Itu pun dengan debit sangat kecil.Normalnya, pelanggan berhak mendapat jatah air 150 liter per jiwa per hari. Tetapi, saat ini, PDAM hanya sanggup mengirim rata-rata 3 liter per hari. "Kami ibarat pasien kronis yang diinjeksi pernapasan palsu," kata Ali kepada Antonius Un Taolin dari Gatra.Kondisi itu diperparah dengan kebocoran yang mencapai 30%, atau 153.483 meter kubik, per hari. Para konsumen sengaja membobol pipa karena kesulitan mendapatkan aliran air PDAM. "Petugas kami tak bisa berbuat banyak karena pembobolan dilakukan malam hari," katanya.Cerita suram tentang bisnis air juga terjadi di daerah lain. Misalnya PDAM Tirta Siak yang melayani kota Pekanbaru, Riau. Biaya tinggi untuk menyuling air gambut yang disedot dari Sungai Siak membuat Tirta limbung. Menurut Indra Gani, pimpinan Tirta Siak, diperlukan dana Rp 1,2 milyar untuk biaya penyulingan dan operasional per bulan.Celakanya, untuk menutup biaya produksi air itu, PDAM Tirta tak bisa mematok harga sepadan. Menurut Indra, tarif ideal PDAM Tirta adalah Rp 4.000 per meter kubik. Tapi, dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat, tarif air hanya dipatok Rp 1.500 per meter kubik. "Setiap bulan kami menanggung rugi setengah milyar rupiah," kata Indra kepada Abdul Aziz dari Gatra.Selama ini, Tirta hanya mampu memproduksi air rata-rata 400 liter per detik. "Jumlah itu hanya mencukupi 20% dari total penduduk Pekanbaru yang 700.000 jiwa," ujar Indra.Belakangan, persoalan yang dihadapi Indra bertambah. Saban hari, ada saja laporan tentang kebocoran pipa. Idra mengakui, sejak Tirta Siak beroperasi 33 tahun silam, pipa saluran tak pernah diremajakan. "Jangankan peremajaan, bayar gaji karyawan yang berjumlah 180 orang saja sudah ngos-ngosan," ungkapnya.Persoalan serupa dihadapi PDAM Tirta Musi, Palembang. Padahal, perusahaan ini menyedot air dari Sungai Musi yang tak pernah kering sepanjang masa. Sudah satu dekade Tirta Musi selalu kekurangan dalam memasok kebutuhan air seluruh warga kota Palembang yang berpenduduk 3 juta jiwa. Parahnya, pelanggan memboikot pembayaran lantaran tak dilayani dengan baik.Menurut Kepala Humas PDAM Tirta Musi, Yos Ruswandi Ilyas, hampir separuh dari sekitar 98.000 pelanggan Tirta Musi menunggak pembayaran. Belum lagi, separuh dari seluruh meteran di rumah-rumah pelanggan sudah rusak. Pencurian air tak juga berkurang. "Ada beberapa penadah ilegal," kata Ruswandi kepada Noverta Salyadi dari Gatra. Separuh dari produksi Tirta Musi yang mencapai 2.870 liter per detik mengucur di luar keran pelanggan resmi.Padahal, PDAM di ''kota seribu sungai" itu pernah tercatat sebagai pemasok air bersih terbaik di Indonesia pada 1978. Kini Tirta Musi menunggak utang hingga Rp 58,2 milyar. Untuk menambal utang tersebut, pemerintah kota mengupayakan konversi utang. "Pemerintah pusat perlu menghapuskan bunga utang dan biaya-biaya serta denda administrasi agar BUMD ini menjadi sehat," ujar kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Palembang, Husni Thamrin.Belitan masalah kebocoran, utang, dan kesulitan mendapat air baku terjadi hampir di seluruh PDAM. Di Jawa yang padat penduduk, suplai air bersih dari PDAM juga tak lancar. PDAM Kota Semarang, misalnya, menurut direktur utamanya, Agus Sutyoso, mengalami kebocoran hingga separuh dari produksi.Kebocoran justru terjadi akibat produksi yang tak seimbang dengan perkembangan jaringan. "Sistem ini menimbulkan tekanan ekstrem pada pipa hingga rawan bocor," ungkap Agus. Untuk mengatasi masalah itu, PDAM Semarang menerapkan sistem penggiliran aliran air.Tapi persoalan belum selesai karena, menurut Agus, perusahaannya juga menghadapi masalah penurunan kualitas air. Paduan masalah itu ujung-ujungnya membuat pihaknya serba salah ketika menagih pembayaran pada pelanggan yang menunggak. "Kami tidak bisa tegas karena pelayanan kami masih lemah," katanya.Toh, Agus tak mau begitu saja disalahkan sebagai biang kerok jebloknya pelayanan PDAM. Ia malah menunjuk komitmen pemerintah pusat yang menjadi penyebab utama mandeknya bisnis pengolahan air. Contohnya masalah alokasi dana APBN.Hingga kini, seluruh bantuan yang diberikan pemerintah pusat ke PDAM berwujud utang. Akibatnya mudah ditebak, utang kian menumpuk. "PDAM Kota Semarang menunggak utang hingga Rp 358 milyar kepada enam lembaga keuangan dunia," katanya kepada Imung Yuniardi dari Gatra.Ada kesan, pemerintah akan menggelontorkan dana bila kondisi PDAM sehat. Menurut Agus, kebijakan itu tidak masuk akal. "Untuk menjadi sehat, kami butuh dana segar, bukan disuntik dengan utang yang makin menambah beban," Agus mengeluh.Buruknya kesehatan sebagian besar PDAM diakui Ketua Bidang Organisasi Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia, Nelson Parapat. Menurut dia, dari 306 PDAM di seluruh Indonesia, hanya 10% yang sehat. Selebihnya hidup enggan, mati pun tak mau.Total utang PDAM ke pemerintah mencapai Rp 5,3 trilyun. Sebagian besar digunakan untuk perluasan jaringan dan penambahan instalasi. Kata Nelson, untuk bisa bernapas tanpa tersengal-sengal, PDAM butuh suntikan fulus. Namun, menurut dia, pemerintah enggan mengucurkan pinjaman baru sebelum utang lama dibayar.

Heru Pamuji dan Heni Kurniasih

0 Comments:

Post a Comment

<< Home