Thursday, May 12, 2005

ARTICLE: Water Business in Indonesia

Published in GATRA weekly news magazine 26 / XI 14 Mei 2005

JEJAK
Berharap Utang Mengalir Untung

Pemerintah menawarkan 22 proyek air bersih kepada swasta di 10 provinsi. Minat investor di bisnis air ternyata membludak. Tapi cuma sedikit perusahaan daerah air minum yang bisa meraup laba. Di beberapa perumahan berkelas sudah dibangun jaringan dan pengolahan air secara mandiri. Kenapa di sana bisa lebih murah?

KEBERADAANNYA sangat menentukan kehidupan di muka bumi. Tapi, semakin hari, kualitas dan kuantitasnya kian mengkhawatirkan. Berbagai pernyataan bernada gundah bergema ketika seluruh jagat memperingati Hari Air Dunia ke-13, Kamis pekan lalu. Diperkirakan, air bersih akan makin langka di masa mendatang.Kegundahan juga tampak dalam sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mencanangkan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air di Istana Negara. "Pertambahan penduduk, penebangan liar, dan makin tipisnya lahan untuk menampung air merupakan ancaman serius ketersediaan air di masa sekarang dan depan," ujarnya.Celakanya, kelangkaan air kerap memperberat beban rakyat pedesaan. Di Gunung Kidul, Yogyakarta, harga air minum tiga-empat kali lipat dibandingkan dengan harga air minum di Jakarta. Beberapa daerah lainnya yang juga bermasalah adalah Kebumen Selatan, Wates, Bantul, Wonosari, Wonogiri, Trenggalek, dan Tulungagung. Presiden memerintahkan Departemen Pekerjaan Umum di tingkat pusat dan daerah merumuskan langkah terpadu untuk mengelola air bersih.Program pembenahan pengelolaan air bersih sebenarnya sudah menjadi agenda pemerintahan Yudhoyono. Pada Infrastructure Summit di Jakarta, Januari lalu, pemerintah menawarkan 24 proyek pengolahan, pengadaan, dan pengelolaan air di 10 provinsi. Nilai investasinya mencapai Rp 3,6 trilyun lebih (lihat tabel).Akhir Maret lalu, juga digelar pameran tentang pengelolaan air bersih. Pameran bertajuk "Indowater" itu diadakan di Jakarta Convention Center. Minat investor ternyata cukup besar. Peserta pameran berasal dari dalam negeri dan mancanegara, sekitar 150 perusahaan. Dari dalam negeri, tampak Cipta Kencana, Cahaya Mandiri, Bangun Cipta, dan Tirtatama. Sedangkan dari luar negeri, hadir seperti Ondeo (Lyonesse) Ascal-Bangun Cipta, Run Hill, Darco, Metito, dan Trente.Dalam pameran itu, penyelenggara juga menggelar seminar tentang potensi bisnis air di Indonesia. Pihak Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) memaparkan data tentang pengelolaan air bersih di Tanah Air. Data menunjukkan, dari 306 perusahaan daerah air minum (PDAM), ternyata 90% merugi. Utang PDAM ke pemerintah melambung hingga Rp 5,3 trilyun.Data mengenaskan itu justru ''menggembirakan'' buat investor. Banyaknya PDAM yang merugi menunjukkan bahwa pengelolaan air di Indonesia belum profesional. Setidaknya, ini ditunjukkan oleh angka kebocoran yang rata-rata mencapai 40%. ''Selain itu, sumber daya manusia juga tidak memadai,'' kata Nelson Parapat, Ketua Bidang Organisasi Perpamsi. Jika kebocoran bisa diatasi, bisnis air mestinya menguntungkan. Dengan pengalaman dan teknologi, investor dari luar negeri diharapkan bisa mengubah utang menjadi untung.Pemerintah menganggap investor asing bisa membereskan bisnis air ini. Sebab soal dana dan teknologi menjadi kendala selama ini. Menurut perkiraan, untuk memperbesar debit air bersih di Indonesia, dibutuh dana sekitar Rp 45 trilyun. Uang sebanyak itu tidak mungkin semua disediakan oleh pemerintah. Saat ini, pemerintah hanya bisa mengeluarkan investasi di bidang pengolahan air sebesar Rp 500 milyar per tahun. Dengan uang sebesar itu, bisa dihitung berapa lama persoalan air bersih buat penduduk itu akan beres.Dengan menyertakan asing, pemerintah menargetkan, 10 tahun mendatang, semua masalah pengelolaan air bersih di kota-besar bisa kelar. ''Untuk itu, per tahun pemerintah mesti mengeluarkan Rp 4,5 trilyun,'' kata Patana Rantetobing, Dirjen Tata Perkotaan dan Pedesaan, Departemen Pekerjaan Umum.Menanggapi tawaran pemerintah itu, investor masih menghitung-hitung dulu. Lyonesse, perusahaan asal Prancis, yang sudah punya proyek di Jakarta dan Medan, masih pikir-pikir untuk memperluas bisnisnya di kota lain. ''Saya stabilkan dulu di Jakarta, baru cari proyek lain,'' kata Bernard Lafrogne, Wakil Presiden Lyonesse Indonesia.Lyonesse punya pengalaman tidak menyenangkan selama di Indonesia. Kerja samanya dengan PAM Jaya di PT Palyja ternyata penuh gejolak. Beberapa karyawan tidak setuju dengan kehadiran Lyonesse. ''Ini akibat program yang dipaksakan dari atas. Karyawan digaji Palyja, tapi mereka tetap karyawan PAM,'' kata Lafrogne.Meskipun persoalan internal itu kini sudah teratasi, citra perusahaan yang telanjur babak belur belum tersembuhkan. Tujuh tahun kerja sama Lyonesse-PAM Jaya, namun keluhan soal air bersih di Jakarta tak kunjung surut. "Karena yang nongol di koran adalah mereka yang belum terlayani air bersih,'' ujar Lafrogne.Lyonesse datang ke Indonesia pada 1998. Sebagai garapannya, Palyja mendapat jatah Jakarta bagian barat. Sedangkan untuk bagian timur, PAM Jaya berkerja sama dengan Thames, investor asal Inggris. Model kerja sama yang digunakan adalah konsensi. Palyja mengurus bisnis dari hulu hingga hilir. Dari mengolah air sampai menyalurkannya ke pelanggan.Sejauh ini, Lafrogne mengaku, Lyonesse sudah mengeluarkan dana investasi hingga Rp 800 milyar. Selain untuk membangun jaringan baru, dana itu juga digunakan untuk membenahi pipa-pipa yang sudah usang. Saat ini, Palyja sedang merancang instalasi ke daerah-daerah penduduk Jakarta yang relatif miskin. Harapannya, celaan terhadap kualitas air ledeng di Ibu Kota bisa berkurang.Untuk tiga tahun mendatang, Palyja akan menginvestasikan Rp 600 milyar. Targetnya, menambah pelanggan sebanyak 100.000. Sekarang pelanggan Palyja baru 360.000 orang. Biaya terbesar adalah untuk merehabilitasi pipa yang sudah tua. Misalnya, di Pejompongan, pipanya sudah berumur setengah abad, peninggalan Belanda.Investasi yang tinggi itu membuat biaya produksi relatif mahal. Sayangnya, tidak mudah bagi Palyja untuk menaikkan tarif begitu saja. Saat ini, tarif untuk rumah tangga hanya Rp 500 per meter kubik. Sedangkan hotel dan industri sebesar Rp 7.500 untuk jumlah yang sama. ''Sudah tiga tahun ini Gubernur Jakarta tidak mengizinkan kenaikan tarif. Jadi, break even point-nya masih jauh,'' kata Lafrogne.Yang paling sulit diatasi sampai sekarang adalah soal kebocoran. Dewasa ini, kucuran air bersih yang lenyap di seantero Jakarta mencapai 46%. Palyja punya target menurunkan tingkat kebocoran menjadi hanya 20%. Karena itu, Palyja menunjuk direktur yang khusus menangani air bocor ini. "Banyak sekali pengguna air ilegal di Jakarta yang harus diburu," tutur Lafrogne.Pengalaman Lyonesse di Medan bisa menjadi acuan untuk menekan kebocoran itu. Di ibu kota Provinsi Sumatera Utara itu, Lyonesse menggandeng PDAM Tirtanadi, Medan. ''Kami berhasil menekan kebocoran sampai 20%,'' kata Sjahril Effendy Pasaribu, Direktur Utama PDAM Tirtanadi. Sebenarnya bisa saja angka kebocoran itu ditekan lebih rendah lagi. Tapi itu tak dilakukan, lantaran ongkosnya bisa lebih mahal ketimbang nilai air yang diselamatkan. "Kebocoran 20% itu masih dapat ditoleransi," kata Sjahril.Menurut Sjahril, kebocoran akibat kerusakan pipa sebenarnya hanya 9%. Yang lebih besar adalah kebocoran administrasi. "Terutama dari pencatatan meteran air," ujarnya. Untuk menekan kebocoran tadi, PDAM Tirtanadi membagi Medan menjadi 10 wilayah pemantauan. "Pencatat meteran per hari harus bisa mencatat 180 pelanggan. Dengan cara ini, bisa dipantau kebocorannya,'' katanya lagi.Sekitar 90% pelanggan utama Tirtanadi adalah rumah tangga. Harga jual rata-rata mencapai Rp 1.500 per meter kubik, sementara biaya pokok Rp 900. Pantaslah kalau tahun ini Tirtanadi sudah impas. Padahal, masa kontraknya dengan Lyonesse masih 20 tahun lagi.Dalam setahun, Tirtanadi setidaknya menghasilkan Rp 50 milyar. Setengahnya disetor ke Pemerintah Daerah Sumatera Utara. Besar keuntungan ini terbilang bagus, karena per tahunnya Tirtanadi mesti mencicil utang hingga Rp 18 milyar. Antara lain ke Departemen Keuangan dan Bank Pembangunan Asia.Segarnya bisnis air bersih juga dirasakan investor di Batam. Di sana ada Cascal BV, perusahaan asal Inggris yang memasok air bersih sejak 1995. Cascal bekerja sama dengan Bangun Cipta Kontraktor. Setelah bergabung, kedua perusahaan itu membentuk PT Adhya Tirta Batam. Komposisi sahamnya masing-masing 50%.Karena Batam tidak memiliki mata air yang cukup, pasokan sumber air baku juga dengan mengandalkan curah hujan. Untuk menampung air dari langit, Otorita Batam membangun enam waduk. Secara teoretis, air dari waduk-waduk itu bisa melayani 1 juta penduduk. Saat ini, ada 600.000 orang di Batam, sehingga kekurangan air akan terjadi sekitar tahun 2012.Dengan total investasi Rp 176,6 milyar, Adhya Tirta mampu melayani 90.000 pelanggan, 88% di antaranya adalah rumah tangga. Ketika baru masuk, perusahaan ini baru menghasilkan 600 liter per detik. Sekarang sudah tiga kali lipat lebih. Tarif untuk rumah tangga Rp 650 per meter kubik. Sedangkan untuk industri Rp 10.000. "Lebih murah daripada di Singapura yang tarifnya sekitar Rp 12.000,'' kata Pieter Tobing, Direktur Komersial Adhya Tirta, kepada Indra Abdi dari Gatra.Berbagai pengalaman sejumlah perusahaan asing itu menunjukkan, bisnis air di Indonesia bisa menguntungkan kalau ditangani dengan benar. Itulah sebabnya, pemerintah menganggap bisnis air di Indonesia pantas ditawarkan ke perusahaan asing.Rencana itu didukung pemerintah daerah dengan sukacita. Misalnya, Surakarta, Jawa Tengah, menawarkan proyek Surakarta-Sukoharjo Water Supply. Air akan diambil dari Bendungan Colo atau Bengawan Solo. ''Nilai proyek sekitar Rp 54 milyar,'' kata Teguh Sri Mulyono, Kepala Bagian Sekretariat PDAM Surakarta.Rencananya, proyek itu akan melayani pelanggan di daerah Sukoharjo dan Surakarta. Dalam pemenuhan produksi, PDAM Surakarta memang kesulitan mendapat pasokan air. PDAM Surakarta hanya mengambil air dari daerah Cokro, Klaten, dengan kapasitas 400 liter per detik. Selain itu, PDAM Surakarta memperoleh bahan baku dari air tanah. "Kami punya 22 sumur dalam, dengan pasokan 20 liter per detik," papar Teguh.Pelayanan PDAM Surakarta saat ini sudah bisa dinikmati sekitar 52.000 pelanggan di wilayah Solo dan sekitarnya. Itu setara dengan 56% dari potensi pelanggan yang ada. Sampai 2010, ditargetkan bisa melayani 80%.Namun ada juga pihak yang khawatir dengan rencana swastanisasi pengelolaan air. ''Secara alamiah, swasta selalu berusaha untung besar," kata Nila Ardhianie dari Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air. Menurut dia, kalau air dipakai untuk cari untung, akibatnya rakyat bakal susah. "Seharusnya peran negara lebih dominan. Swasta boleh berperan, misalnya, hanya dalam pencatatan meter air,'' ujar Nila. Ia menunjuk kenyataan, meski air dipegang swasta di Jakarta, rakyat miskin tetap tidak terlayani.Nila curiga, para pemodal swasta asing itu berada di belakang Bank Dunia untuk menguasai bisnis air di Indonesia. Selesai menggarap perkotaan, ia mensinyalir, Bank Dunia bakal mengarahkan pemerintah agar melaksanakan swastanisasi air di pedesaan. Kata Nila, kecenderungan itu terungkap dalam pertemuan "Water Week 2005" di markas Bank Dunia di Washington, DC, Amerika Serikat, Maret lalu. "Mereka bakal masuk dari pengelohan air bersih sampai sistem irigasi," kata Nila kepada Eric Samantha dari Gatra.

Rihad Wiranto, Heni Kurniasih, Imung Yuniardi, dan Mukhlison S. Widodo


Proyek Pengolahan dan Pasokan Air yang Ditawarkan Kepada Investor
Proyek
Kapasitas (liter/detik)
Perkiraan Biaya (US$ juta)
Duri (Riau)
250
15
Dumai (Riau)
110
4
Tanjung Pinang (Bangka-Belitung)
110
5
Cileduk (Banten)
400
13
Cengkareng (Banten)
500
25
Ciparen (Banten)
500
50
Sepatan (Banten)
350
12
Pondok Gede (Jawa Barat)
250
9
Cikarang (Jawa Barat)
250
7,5
Jatinangor (Jawa Barat)
100
3,5
Cirebon (Jawa Barat)
225
5
Peningkatan Pengolahan Air Kali Garang (Jawa Tengah)
400-600
5
Air Baku Semarang (Jawa Tengah)
2500
15
Semarang Timur (Jawa Tengah)
1250
15
Semarang (Jawa Tengah)
1000
15
Tegal (Jawa Tengah)
100
2,5
Surakarta-Sukoharjo (Jawa Tengah)
300
5
Yogyakarta (DI Yogyakarta)
2000
45
Menganti (Jawa Timur)
120
4
Karang Pilang IV (Jawa Timur)
2000
25
Umbulan (Jawa Timur)
4000
90
Banjarmasin (Kalimantan Selatan)
400
5
Samarinda (Kalimantan Timur)
400
5
Manado (Sulawesi Selatan)
400
5
Boleh Ngebor Kalau NgadatSEJAK ketuk palu setahun silam, kontroversi tak kunjung henti. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah pasal disoal. Toh, hingga Selasa pekan lalu, silang sengketa belum kelar juga. "Masih ramai itu," kata sumber Gatra di MK.Makhluk yang bikin mumet MK adalah Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Tidak tanggung-tanggung, 16 LSM mengajukan permohonan judicial review. Mereka menganggap sejumlah pasal berlawanan dengan UUD 1945. Pasal yang menentang itu adalah Pasal 40, 41, dan 45. Total persoalan yang muncul dalam judicial review Sumber Daya Air ada 26 item. "Untuk memutuskan harus jadi satu kesatuan," katanya.Mereka menilai pasal itu mengizinkan campur tangan swasta bukan hanya dalam bentuk penyediaan air minum. Juga memberi kesempatan partikelir mengelolaan sumber-sumber air dan penyediaan air baku bagi irigasi pertanian. UU Sumber Daya Air juga tidak memberi batas kepemilikan swasta, termasuk swasta asing, dalam sektor pengelolaan air.Untuk itu, pemohon meminta agar MK menyatakan beleid itu bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Mereka juga meminta MK mencabut undang-undang itu dari Lembaran Negara.Gugatan itu pun merembet tidak hanya soal muatan, juga proses pembuatan undang-undang tersebut. Yang menyoal proses kelahiran orok beleid itu, di antaranya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Mereka menganggap prosedur pengesahan UU Sumber Daya Air mengangkangi UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, serta Tata Tertib DPR.Menurut Longgena Ginting, Direktur Eksekutif Walhi, penetapan RUU menjadi UU di dewan mengandung kelemahan. Pernyataan Ginting itu mengacu pada Pasal 192 Tata Tertib DPR. "Harusnya lewat voting dan bukan musyawarah mufakat," katanya. Mufakat sah jika rapat dihadiri anggota dan unsur fraksi, serta yang terpenting disetujui oleh semua yang hadir. Sedangkan fakta menunjukkan, terdapat beberapa fraksi dan anggota DPR yang menolak pengesahan tersebut.M. Basuki Hadimuljono, Direktur Jenderal Sumber Daya Air, mengatakan bahwa UU Sumber Daya Air tidak mengatur swastanisasi air. Beleid itu hanya mengatur hak pakai dan hak guna usaha. Hak pakai air untuk kebutuhan pokok sehari-hari otomatis diberikan izinnya. "Alias tidak pakai izin," katanya.Sedangkan hak guna usaha harus melalui tahapan yang ketat. Harus melihat pola alokasi airnya. "Apakah alokasinya memadai?" katanya. Penentuan alokasi air harus melibatkan masyarakat lewat rembuk desa dan wajib menjaga kelestarian sumber air. "Jika satu tahapan dilanggar, izinnya dicabut serta-merta," ia menegaskan.Meski sudah ada pembedaan hak pakai dengan hak guna usaha, toh judicial review tetap bergulir. Tapi, lantaran masih ngendon di MK, regulasi air masih diatur masing-masing daerah. Di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, misalnya, penggunaan air tanah mengacu pada keputusan gubernur tentang petunjuk pelaksanaan pemungutan pajak air tanah.Peni Susanti, Kepala Dinas Provinsi DKI, mengatakan bahwa hingga saat ini pemanfaatan air tanah masih dalam tahap kewajaran. Dari pemakaian maksimal yang diizinkan Dinas Pertambangan, sekitar 6,3 juta meter kubik per bulan, baru digunakan 0,9 juta meter kubik. "Pemakaian air tanah untuk hotel dan perusahaan hanya untuk cadangan," katanya.Pasokan utama tetap menggunakan air dari PAM Jaya. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan dan Pajak Pemanfaatan Air Tanah dan Air Permukaan hanya memberikan izin pemakaian 100 meter kubik per hari. "Penggunaannya, jika air PAM tidak mencukupi atau air PAM ada gangguan," katanya.Izin untuk mengebor hanya keluar setelah hotel atau badan usaha berembuk dengan PAM. Jika PAM tak sanggup, barulah keluar izin untuk mengebor air tanah pada kedalaman lebih dari 40 meter. Jika PAM sanggup, masih boleh membikin sumur bor, tapi hanya sebuah.Badan usaha yang mengandalkan sumur bor bisa memiliki lebih dari satu sumur. Namun, berdasarkan peraturan, masing-masing sumur harus beda kedalaman. "Sehingga posisi air yang diambil tidak sama," kata Zubaidi T.P., Seksi Pemanfaatan Air Tanah, Dinas Pertambangan DKI. Kedalaman sumur ditentukan pihak Pemda DKI. Banyaknya air yang dipompa 75% dari debit maksimal sumber air. "Ini untuk menjaga keamanan pasokan," katanya.
Rohmat Haryadi, Elmy Diah Larasati, Rahman Mulya, dan Mukhlison S. Widodo

0 Comments:

Post a Comment

<< Home