Thursday, May 12, 2005

ARTICLE: About KPC divestasion

Published in GATRA 26 / XI 14 Mei 2005
PERTAMBANGAN
Juragan Baru Mitra Sangatta

Selangkah lagi Herman Afif Kusumo dan keluarga Bakrie berkongsi di KPC. Dana pembelian belum jelas sumbernya.

KISAH divestasi Kalimantan Prima Coal (KPC) sudah hampir sampai di akhir petualangannya. Setelah melalui jalan ruwet dan berliku, proses pelepasan saham milik asing di perusahaan tambang batu bara di Sangatta, Kalimantan Timur, itu akan segera tuntas. Adalah Sitrade Nusaglobus yang bakal menjadi tempat berlabuh sebagian saham KPC.Perusahaan milik Herman Afif Kusumo itu memenangkan ajang kontes penjualan saham KPC yang digelar Bumi Resources. Bumi adalah pemegang saham mayoritas perusahaan tambang yang berlokasi di Sangatta itu. Bumi mengambil alih 100% saham dari tangan Rio Tinto (Inggris) dan Beyond Petroleum (Inggris-Australia). Tahun lalu, sebagian sahamnya (18,6%) dilego ke PD Pertambangan dan Energi milik Pemda Kutai Timur, Kalimantan Timur.Bumi mau tak mau harus meneruskan kewajiban Rio Tinto-Beyond Petroleum menjual 51% saham KPC. Berdasarkan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara, pemilik KPC harus melego sahamnya pada 2001. Perjanjian itu diteken pada April 1982. Pembeli saham diharuskan dari Pemerintah Indonesia, atau pemda atau perusahaan berbadan hukum Indonesia.Toh, pelepasan saham asing ke Bumi Resources itu belum menuntaskan proses divestasi. Pemilik Bumi Resources sebenarnya keluarga Bakrie yang pribumi. Namun, karena keluarga Bakrie memiliki Bumi lewat Minarak Labuan dan Long Haul Holding yang berbadan hukum asing, kewajiban divestasi harus dilakoninya. Di luar KPC, Bumi juga menguasai perusahaan batu bara lainnya, Arutmin.Lewat dua perusahaan batu bara itu, keluarga Bakrie bisa bangkit dari keterpurukan. Bisnis Bakrie hampir tenggelam diterpa badai krisis. Saham keluarga Bakrie di Bakrie & Brothers merosot hingga 2,5%, padahal sebelumnya mayoritas. Aburizal Bakrie, Menteri Perekonomian yang menyatakan sudah tak aktif lagi di grup perusahaannya, bercerita bahwa saat krisis, asetnya US$ 1 milyar dengan utang US$ 5 milyar.Tapi, setelah membeli 100% saham dua perusahaan tambang batu bara, nilai aset Bakrie sekarang meningkat menjadi tiga kali lipat. Ketika membeli saham Arutmin dari BHP pada 2001, harga batu bara cuma US$ 25 per ton. "Sekarang naik 60%," kata Ical, panggilan akrab Aburizal Bakrie. Berkat batu bara, Ical mengaku bisa melangkah ke kancah politik tanpa digondeli urusan bisnis keluarga besarnya.Tak aneh kalau kemudian banyak pemilik duit berminat di batu bara. Termasuk Sitrade Nusaglobus. Apalagi, KPC termasuk tambang duit. Tahun lalu, KPC menghasilkan 26 juta ton. Tahun ini akan digenjot menjadi 32,86 juta ton. Dalam proses divestasi KPC, Sitrade menyingkirkan dua pesaingnya. Sitrade setuju mengambil 32,4% saham KPC dengan fulus US$ 470 juta atau sekitar Rp 4,3 trilyun.Toh, untuk sementara Sitrade mesti bersabar dulu. Ia baru bisa benar-benar masuk ke Sangatta bila Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyalakan lampu hijau. Hingga saat ini, Departemen ESDM belum mengangguk setuju. Tim divestasi dari Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen ESDM, masih melakukan evaluasi penjualan.Evaluasi lebih difokuskan pada data-data administrasi, untuk memastikan proses divestasi tak melanggar perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara. Misalnya, memastikan bahwa pembeli divestasi saham KPC adalah perusahaan Indonesia. Dalam penelisikannya, tim divestasi meneliti akta pendirian Sitrade dan pemegang sahamnya. Namun tak sampai memanggil manajemen Sitrade.Evaluasi juga tak menyentuh kemampuan finansial calon pembeli. Urusan itu diserahkan pada Bumi sebagai calon mitranya. "Itu kan urusan penjual. Masak mereka mau rugi," kata Simon Sembiring, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral.Rabu pekan lalu, tim divestasi kembali menggelar rapat, membahas hasil evaluasi. Tapi Mahyudin Lubis, anggota tim divestasi yang dihubungi Gatra, memilih bungkam ketika ditanyakan tentang hasil rapat. Sedangkan Simon Sembiring, atasan Mahyudin, mengaku belum bisa banyak bercerita. "Saya belum dilapori hasil rapatnya," kata Simon Sembiring kepada Gatra.Proses penjualan 32,4% saham KPC kepada Sitrade menjadi sorotan karena terkesan berlangsung diam-diam. Bursa Efek Jakarta sampai merasa perlu menanyakan persoalan ini kepada Bumi. Maklum, sebagai perusahaan publik, Bumi harus memberitahukan setiap kebijakan perusahaannya yang berdampak besar kepada otoritas bursa. Apalagi, kebijakan itu menyangkut penjualan saham dalam jumlah gede, yang berpotensi mempengaruhi kinerja sahamnya di bursa dan pada pemilik saham publik.Dalam penjelasannya kepada Bursa Efek Jakarta, Bumi Resources menyatakan, pada 9 Desember tahun lalu, pihaknya sudah menawarkan 32,4% saham KPC kepada pemerintah dengan harga maksimum US$ 1,4 milyar. Dalam surat balasan yang diteken Menteri ESDM tanggal 21 Februari 2005, pemerintah menyatakan tak berminat. Sebelumnya, pada Januari lalu, KPC menawarkan kepada pihak swasta di Indonesia untuk membeli saham KPC.Eddie J. Soebari, Direktur Keuangan Bumi, menyebut ada beberapa perusahaan swasta yang mengajukan penawaran. Dari penawar yang masuk itu, kata dia, hanya tiga yang memenuhi kriteria. Kriteria itu, antara lain, perusahaan yang bisa menambah nilai KPC dan harga penawarannya cocok.Eddie membantah anggapan bahwa proses divestasi dilakukan dengan diam-diam. "Tak ada yang disembunyikan," katanya kepada Gatra. Proses itu mengikuti tata cara yang diatur dalam perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara. Sitrade terpilih sebagai pemenang lantaran menawar dengan harga paling tinggi. Toh, ia tak mau menyebut nama lengkap dan harga penawaran dari pesaing Sitrade. "Mitra dan Hania apa gitu," katanya.Munculnya nama Sitrade sebagai pemenang kontes pun kemudian mengundang banyak pertanyaan. Dari kemampuannya menyediakan fulus hingga pengalaman Sitrade di dunia tambang. Santer disebut-sebut, keluarga Bakrie sendiri yang mendanai Sitrade. Namun Bakrie membantahnya.Herman Afif Kusumo, pemilik Sitrade, tak mau dipusingkan dengan tuduhan yang dialamatkan kepada dia dan perusahaannya. "Saya nggak ngerti, kok perusahaan saya dipojokkan begitu," katanya. "Saya ini orang tambang. Semua orang tahu itu," ia menambahkan.Herman bercerita, di dunia tambang ia bukan anak bawang. Ia mantan Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia. Kini ia juga menjadi salah seorang pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Sitrade pun bukan perusahaan kemarin sore. Saat ini, kata Herman, Sitrade menjalin kerja sama dengan PT Timah, mendulang timah di tambang darat Pulau Bangka.Sitrade juga pernah bekerja sama dengan Nusantara Thai Coal Banpu Int Ltd,melakukan survei penambangan batu bara di Sinamar, Jambi. Area tambang yang ditelisik meliputi 86.160 hektare. Tapi proyek ini berhenti karena ada kesulitan di bidang transportasi.Di luar Sitrade, menurut Herman, ia punya PT Kasuari yang menambang nikel di Pulau Gebe, Maluku Utara. "Masih jalan sampai sekarang," katanya. Lewat PT Palmerindo, kata Herman, ia juga pernah mengusahakan tambang emas di Cibaliung, bekerja sama dengan perusahaan tambang asal Kanada. "Sekarang sudah dijual ke George Tahija," ujarnya.Sitrade tertarik membeli saham KPC karena, menurut Herman, saat ini adalah waktu yang pas berusaha di tambang batu bara. "Tahun ini batu bara bagus harganya, permintaannya juga tinggi," katanya. Herman menambahkan, dewasa ini adalah saat yang paling tepat untuk berinvestasi di bisnis pertambangan, terutama energi.Herman mengaku sudah lama tertarik masuk KPC. "Tapi kesempatan baru datang sekarang," tuturnya. Bila nanti Departemen ESDM memberinya lampu hijau, ia sudah punya agenda di KPC. Herman berniat berpartisipasi aktif di KPC. Paling tidak, ada orangnya yang masuk dalam jajaran manajemen KPC. "Kami memang bukan mayoritas, tapi ingin didengar juga," ia menambahkan.Toh, Herman tak mau bercerita tentang asal dana pembelian saham KPC. "Saya belum bisa menyampaikan sekarang. Nantilah setelah semua beres akan saya buka," ujarnya.Beres buat Herman bukan berarti proses divestasi KPC bakal tuntas. Ini terjadi bila terungkap ada kontrol asing di balik Sitrade, atau konflik kepentingan lain yang merugikan publik.

Irwan Andri Atmanto dan Heni Kurniasih


Jalur Ruwet Divestasi KPC

8 April 1982Perjanjian divestasi 51% saham Rio Tinto dan BP di KPC ke pihak Indonesia. Divestasi akan dilakukan bertahap hingga 2001.16 Oktober 1995-Februari 1997KPC mengajukan tiga kali permohonan penangguhan divestasi dan dikabulkan pemerintah.26 Juli 1998Penawaran saham KPC kepada Tambang Batu Bara Bukit Asam, Aneka Tambang, dan Timah. Ketiganya tak berminat.24 Maret 1999KPC menawarkan 30% sahamnya seharga US$ 175 juta ke pihak Indonesia.3 Desember 1999Pemda Kalimantan Timur setuju membeli.15 Desember 2000KPC menawarkan 37% saham KPC ke pemerintah seharga US$ 216 juta. Namun pemerintah mewajibkan KPC menjual 44%.4 April 2001Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan, divestasi saham KPC pada kuartal I 2001 sebesar 51%.1 Mei 2001Harga 51% saham KPC, menurut Rio Tinto dan BP, bernilai US$ 444 juta.17 Juli 2001Pemda Kalimantan Timur, melalui PN Jakarta Selatan, menuntut ganti rugi US$ 776 juta ke KPC.21 November 2001-6 Maret 2003Pemda Kalimantan Timur menggugat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ke PTUN.26 November 2001-6 Maret 2002KPC, pemerintah, dan Pemda Kalimantan Timur menegosiasikan harga saham KPC. Hasilnya, 100% saham KPC disepakati US$ 822 juta. Penawaran 51% paling lambat 31 Maret 2002.21 Maret 2002PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Pemda Kalimantan Timur. Isinya, menyita barang tak bergerak KPC. Seluruh saham Rio Tinto dan BP di KPC disita.28 Maret 2002Batas penawaran 51% saham KPC, yang harusnya berakhir 31 Maret, diundur jadi 30 Juni 2002, dan kemudian mundur lagi.Oktober 2002Proses divestasi berjalan lagi, dengan opsi pembeli 31% Pemda Kaltimantan Timur dan Kutai Timur, 20% PT Bukit Asam. Harganya US$ 822 juta untuk 100% saham KPC.Juli 2003Tiba-tiba pemilik Rio Tinto dan BP melego seluruh kepemilikan sahamnya di KPC kepada Bumi Resources dengan harga US$ 500 juta.Oktober 2003Bumi Resources resmi memiliki KPC dengan kewajiban divestasi 51% saham KPC.Oktober 2003Bumi melepas 18,6% saham KPC kepada Pemda Kutai Timur. Harganya US$ 104 juta.Desember 2004-Januari 2005Bumi menawarkan 32,4% saham KPC ke pemerintah dan pengusaha nasional.Maret 2005Sitrade muncul sebagai pemenang kontes.April-MeiDepartemen ESDM mengevaluasi proses penjualan 32,4% saham KPC.
Muda Mengganti MinyakARUTMIN Indonesia saat ini sedang kebanjiran pesanan. Anak usaha Bumi Resources itu pun menggenjot produksinya. Lokasi tambang yang banyak menyimpan batu bara low grade alias berkalori rendah pun dikeruk besar-besaran. Gundukan tanah yang mengandung mineral hitam itu ada di daerah Asam-asam, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. "Kami diminta mencukupi kebutuhan Indonesia Power sebanyak 2,4 juta ton setiap tahun," kata Sumarwoto, Manajer Wilayah Tambang Satui Arutmin.Satui adalah satu di antara tambang batu bara yang dikuasai Arutmin. Lokasi lainnya ada di Batu Licin, Kabupaten Tanah Bambu, dan Senakin di Kota Baru, Kalimantan Selatan. Sebelum ini, penambangan batu bara low grade kurang dimaksimalkan karena permintaannya sedikit. Arutmin sebelumnya hanya memproduksi batu bara jenis itu 400.000 ton per tahun. Kini permintaan melonjak setelah harga minyak dan batu bara berkalori tinggi meroket.Di pasaran, harga batu bara rendah kalori US$ 20-US$ 30 per ton. Batu bara rendah kalori ini, selain menghasilkan di bawah 5.000 kilokalori per kilogram, juga mengandung air 30%. Jenis ini lazim disebut batu bara muda. Sedangkan batu bara high grade menghasilkan kalori lebih dari 5.000, biasa juga disebut sebagai batu bara tua. Saat ini, harga batu bara tua sekitar US$ 50 per ton.Toh, biarpun permintaan batu bara muda saat ini meningkat, pasarnya lebih banyak hanya di dalam negeri. Itu pun tetap belum secerah batu bara tua. Maklum, batu bara muda punya kelemahan: mudah terbakar selama pengangkutan. Di Indonesia, kandungan batu bara muda hampir 70% dari 57 milyar ton total cadangan batu bara.Karena potensi batu bara muda di Indonesia begitu besar, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan pengkajian. Kajian diarahkan untuk mendayagunakan batu bara muda melalui proses pencairan. "Penelitian sudah dilakukan sejak 1994," kata Agus Salim Dasuki, Direktur Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Konversi dan Konservasi Energi BPPT.Ide itu, kata Agus, muncul karena kekhawatiran cadangan batu bara tua semakin menipis. Padahal, menunggu batu bara muda hingga menjadi tua perlu masa ratusan tahun. Setiap tahun, sekitar 130 juta ton batu bara tua dikeruk dari perut bumi Nusantara. Dengan jumlah batu bara tua yang 19 milyar ton, dalam 140 tahun ke depan, si tua bakal habis. "Kalau mesti beralih ke ke low grade, Indonesia sudah siap," katanya.Apalagi, menurut Agus, cadangan minyak mentah Indonesia diperkirakan habis 10 tahun lagi. Pemanfaatan batu bara muda menjadi strategis. BPPT menggandeng peneliti dari Jepang untuk menambah kemanfaatan dan harga jual batu bara muda. Penelitian dilakukan di Banko, Tanjung Enim, Sumatera Selatan.Batu bara muda bisa diubah menjadi briket, gas, bahan bakar cair, petrochemical, dan pembangkit listrik di mulut tambang. Fokus penelitian diarahkan ke pencairan batu bara muda menjadi pengganti bahan bakar minyak bumi. Selama empat tahun mereka meneliti modifikasi proses pencairan yang pas. Selain itu, tim peneliti juga mencari lokasi yang paling cocok untuk membangun pabrik pencairan batu bara.Hasilnya memuaskan. Proses pencairan dapat meningkatkan nilai ekonomi batu bara muda. Setiap ton batu bara muda bisa menghasilkan sekitar 4 barel batu bara cair pengganti bahan bakar minyak. Di pasaran, harga batu bara cair US$ 23-US$ 30 per barel. Lebih murah dibandingkan dengan harga minyak mentah yang kini US$ 40-US$ 50 per barel.Untuk menghasilkan nilai ekonomi tertinggi, lokasi paling baik untuk membangun pabrik batu bara cair adalah tepi pantai. "Kalau lokasi pabrik di pedalaman, akan boros di angkutan," kata Agus. Selisih biaya produksi batu bara cair pabrik di tepi pantai dengan pedalaman bisa mencapai US$ 6 per barel.Karena alasan itulah, penelitian dialihkan ke Asam-asam, Kalimantan Selatan, dan Berau, Kalimantan Timur, yang lokasi tambangnya di dekat pantai. Dari dua lokasi itu, BPPT memilih Berau sebagai fokus studi ke arah komersial. Membangun satu pabrik percontohan berkapasitas 6.000 ton per hari butuh biaya gede, US$ 1,358 juta. Tahap pertama akan dibangun dengan kapasitas separuhnya. Tahap kedua dilakukan pada 2014.Harapannya, pada 2020-2022 sudah ada tiga unit pabrik pencairan batu bara yang berdiri. Dari tiga unit pabrik itu, bisa dihasilkan 3,87 juta kiloliter bahan bakar cair pengganti minyak per tahun. Angka ini, kata Agus, akan memberikan kontribusi sekitar 10% dari total kebutuhan BBM sektor transportasi di Indonesia. Pada 2020, diperkirakan sektor transportasi bakal menyedot sekitar 272,8 juta barel, atau setara dengan 43 juta kiloliter BBM.Hatim Ilwan, dan Sawariyanto (Banjarmasin)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home