Wednesday, June 15, 2005

TRAVEL: Kuching Sarawak(2)

BOX: Mengemas Dayak meraup Ringgit

Kampung Budaya Sarawak merupakan salah satu cermin keandalan kemasan Malaysia. Kampong yang terletak di kaki gunung Santubong ini, dikemas sangat rapi menjadi suguhan yang menarik. Yang ditampilkan adalah keragaman budaya Malaysia Borneonya. Ada Melayu, China, Melanau juga Dayak. Tetapi andalan utamanya adalah suku Dayak. Dayak sendiri terbagi menjadi tiga yaitu, Bidayeuh, Iban dan Orang Ulu.

Masing-masing punya cara hidup sendiri. Model rumahnya pun berbeda. Kesamaannya mereka tinggal dalam satu rumah panjang. Dalam satu rumah minimal ada 20 keluarga. Normalnya 40 keluarga.

Banyak wisatawan asing ingin tinggal di rumah panjang, tinggal dan menikmati keseharian ala penduduk asli. Namun menuju rumah panjang asli, butuh sedikitnya tiga hari perjalanan plus waktu tinggal. Padahal rata-rata kunjungan wisatawan singkat. Untuk tetap meraup ringgit dari mereka, pemerintah Kerajaan Malaysia lantas membangun Kampung Budaya. Kampung ini ditempuh selama 45 menit perjalanan dari kota Kuching.

Tujuh suku bangsa yang ada di Sarawak ditampilkan supaya dalam waktu singkat, pelancong bisa merasakan kehidupan penduduk asli Borneo. Kampung BUdaya seolah adalah museum hidup. Tak cuma menonton rumah adat, wisatawan juga disuguhi ‘drama’ kehidupan mereka.

Rute pertama, mencoba jembatan Dayak Bidayeuh. Jembatan ini terbuat dari sebatang bamboo ditopang penyangga di kiri kanannya. Yang gendut atau susah menjaga keseimbangan, lebih baik mencoba jalan lain. Soalnya, kalau tak hati-hati, bisa jatuh ke rawa. Sesampainya di seberang, dua penari menyambut dengan tarian selamat datang.

Rute kedua, rumah panjang Suku Iban. Suku ini adalah satu klan dengan Dayak di Kalimantan Barat. Di hadapan turis mereka menumbuk padi, mengukir perisai dan menganyam rotan. Di plafon rumah ini, bergelantungan jerami-jerami. Diantara jerami-jerami itu ada tengkorak manusia. Tengkorak itu dipasang sebagai kebanggaan suku usai perang. Siapapun yang bisa memenggal kepala musuh, disanjung sebagai pahlawan. Maka, makin banyak kepala digantung, makin tinggi derajat kelompok itu.

Di rumah panjang, dapur terletak di bagian depan. Ada yang memancing mata dari salah satu perkakas dapur Dayak Iban ini, karena bentuknya seperti alat kelamin laki-laki. Padahal ini adalah pemeras tebu terbuat dari kayu!

Berikutnya, menuju gubuk orang Penan. Mereka adalah satu-satunya suku yang masih hidup nomaden di Sarawak. Gubuknya beratap nipah. Pakaiannya hanya sekerat kulit kayu penutup aurat. Di kampong buatan ini, kulit kayu diganti dengan sepotong kain. Mereka hidup dengan berburu. Orang Penan ini termasuk paling mahir meniup sumpit.

Keahlian meniup sumpit ini termasuk andalan di Kampung BUdaya. Pelancong boleh menjajal meniup sumpit ke sebuah sasaran 3 kali berturut-turut. Bayarannya 3 ringgit atau sekitar RP. 7500.

Kalau masih kuat berjalan, boleh menjajal naik rumah panggung orang Ulu. Tangganya, sebatang pohon kelapa yang diberi undak-undakan. Suku ini terkenal dengan keindahan karyanya. Kaum wanitanya menenun kain untuk acara adat. Lukisan di dinding rumah mereka sangat indah. Tatoo, adalah suguhan khusus di rumah ini. Tatoo ini symbol status kaum wanita bangsawan orang ULu. Di kampong Budaya, inipun menjadi uang. Banyak turis pun ingin ditatoo seperti laiknya orang Dayak. Bedanya, tatoonya tak permanen karena menggunakan tinta. Ternyata tattoo ini laris oleh turis.

Di rumah Melanau, turis bisa turut mengolah sagu menjadi makanan khas Sarawak. Kalau mau tantangan ala Fear Factor, boleh makan ulat sagu. Hidup-hidup! Tentu saja dengan membayar. Di kampong Budaya ini, bahkan ulatpun bisa jadi uang.

Usai merambah kampong, sambil meluruskan kaki, turis bisa menonton pertunjukan. Tarian dan nyanyian suku-suku itu, sebagian besar ditampilkan secara massal. Ada satu yang lucu. Lelaki orang Ulu yang memeragakan tarian menggunakan sumpit dan perisai, dengan gerakan tangan menunjuk seorang penonton di deret belakang. Tangannya berpindah ke leher dengan gerakan menggorok.

Awalnya semua tertawa. Namun lelaki itu terus menatap tajam. Tanpasenyum sedikitpun, ia mengulang ‘ancamannya’ berkali-kali. Lama-lama suasana tegang. Apalagi ia kemudian mengangkat sumpitnya, mengarahkan bidikan pada sasarannya. Lantas ia turun panggung. Ternyata yang dituju seorang gadis. Diajaknya ke panggung. Mereka berkomunikasi dengan gerakan.

Ia menyuruh gadis itu meniup sumpit ke arah sebuah balon. Kalau tak bisa, digorok, begitu kira-kira kata isyarat lelaki itu. Ternyata akhirnya si gadis bisa. Iapun dihadiahi souvenir sebuah sumpit. Si gadis turun panggung, lelaki menari kembali. Ketika usai, ia membuat gerakan. “Saya akan meneleponmu.” Tawa dan tepuk riuh pun menggema di seluruh penjuru.

Pertunjukan di teater ini dilakukan dua kali sehari. JIka ada tamu atau pesanan khusus, pertunjukan bisa ditambah. Namun batas waktunya adalah jam 5 sore. Diatas itu, kampung tutup untuk tetamu. Pegawainya pulang ke rumah masing-masing. Menurut cerita Margaret, sebelumnya banyak pegawai tinggal di lokasi itu. Tetapi kemudian mereka memilih tinggal di pinggiran desa, di sepanjang jalan menuju Kampung BUdaya. “Tinggal di dalam (cultural village) terlalu sepi,” ujarnya. Bahkan konon, jika malam tiba disana bergentayangan makhluk-makhluk lain.

Juli mendatang, kesunyian Kampung BUdaya Sarawak akan terpecahkan hingar binger musik dari negeri-negeri tropis. Malaysia Touris Board punya gawe Rainforest Music Festival. Untuk mengenalkan Sarawak ke kancah dunia, mereka tak enggan mengucurkan pundit-pundinya membiayai festival besar.

Ini adalah bagian dari strategi pemasaran slogan Malaysia Truly Asia. Untuk membangun imej ini, Malaysia tak enggan mengucurkan 100 juta ringgit hanya untuk promosi. Malaysia punya program yang disbeut Mega Fam- singkatan dari Familiarization, dengan mengundang kuli tinta dan travel agent dari berbagai negara. Total, sudah 35.000 orang diundang MTB.

Berbagai festival khas daerah juga dikemas menjadi icon suatu daerah untuk menarik pelancong datang. Hampir setiap daerah punya acara sendiri. Misalnya, pesta Gawai Dayak- pesta usai tanam padi di Kuching setiap bulan Mei.

MTB juga promosi wisata belanja dengan acara Mega Sale pada Juli/agustus. Juga event Citra Warna sebagai event terbesar menarik turis. Hari kemerdekaan, bahkan juga berbagai festival keagamaan mulai dijual untuk turis. Promosi lainnya yaitu melalui olahraga kelas dunia misalnya Le Tour de Langkawi, World Cup Golf dan Formula I.

Total untuk pengembangan pariwisata, termasuk untuk pembangunan infrastruktur pendukung, mereka mengeluarkan duit besar-besaran. Diluar itu pemerintah masih memberikan dana khusus untuk pengembangan pariwisata, termasuk sector perhotelan. JUga membangin kantor pemasaran di lebih dari 30 negara. Bahkan pemerintah juga mengeluarkan dana khusus untuk pembuatan brosur-brosur tempat wisata.

Sebagai contoh, Kampung Budaya Sarawak, berada langsung di bawah pemerintah Kerajaan, meskipun pengelolaannya dilakukan pemerintah Bandar Kuching Utara dan perusahaan swasta. Apapun ‘dijual’ disini. Dan laku. Buktinya, tempat ini penuh dengan turis asing, terutama turis Jepang dan orang puteh.

Padahal, jika dibandingkan dengan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Keragaman Kampung Budaya Sarawak tak seberapa. DI taman Mini, ada lebih dari 30 suku bangsa dari 27 propinsi, sementara Sarawak hanya 7 suku yang ditampilkan. Mengekplorasi Sarawak ibarat mengekplorasi bagian kecil semata dari Kalimantan kita. Bahkan Kalimantan kita lebih lengkap, karena ada suku Banjar di Kalsel.

Namun keunggulan Malaysia adalah dalam pengemasannya. Ibarat seorang gadis, Malaysia lebih pandai berdandan. Apalagi mereka memang punya cukup uang untuk bermake-up.

Alhasil, Malaysia meraup untung dari turisme. Bahkan pendapatan dari pelancongan ini ada pada urutan kedua. Jumlah pendapatan dari turis sebanyak 29,7 miliar RM atau 7,81 juta US$. Catatan Malaysia Tourism Board, dalam tahun 2004 Malaysia berhasil melampaui target pengunjungnya melebihi 12 juta orang. Tahun ini, mereka pasang target lebih tinggi, 16 juta orang.

1 Comments:

Blogger timpakul said...

hmm.. budaya.. eksotisme.... uang.... haruskah indonesia "menjual" nilai spiritual dalam bungkus budaya pula... :-)

9:30 AM  

Post a Comment

<< Home