Wednesday, June 15, 2005

TRAVEL: Malaysia Kuching

PUSING-PUSING KELILING KUCHING

Alkisah kepala suku Dayak di Sarawak melakukan sayembara. Siapapun yang bisa berenang menyeberangi sungai yang penuh dengan buaya, bisa mengawini puterinya. Byur…seorang pemuda nyebur ke sungai dan berenang ke tepian. Warga suku heran, tak satupun buaya memangsa pemuda itu. Tampillah tetua kampung. “Coba lihat celanamu” katanya melongok jeans yang dipakai pemuda itu. Ternyata ada gambar buaya disana dengan tulisan…Crocodile!

Hehe…ternyata di Sungai Sarawak ternyata berlaku prinsip : sesama buaya dilarang saling memakan.

Humor ala Margareth Tan, pemandu wisata di kota Kuching, ini mewarnai perjalanan GATRA pertengahan Mei lalu di ibukota Sarawak, negara bagian Malaysia di Kalimantan bagian utara. Perempuan campuran Cina-Dayak Darat ini memandu belasan wartawan Indonesia pusing-pusing,istilah Malaysia untuk berkeliling.

Memang ini sekedar humor. Tetapi ada bagian yang benar juga dari cerita Margareth.
Selain masih didiami penduduk asli Dayak, kota ini dilalui oleh sungai besar yaitu Sungai Sarawak. Dari atas pesawat Malaysia Airlines, sungai ini berkelok seperti ular menuju Laut China Selatan.

Dari jendela hotel, sungai Sarawak hanya terlihat sebagian. Sisi lainnya tertutup gedung-pencakar langit hotel dan pusat perbelanjaan. Tak ada sampah mengambang, meski warna air kecokelatan. Sejak subuh, aktivitas di sungai telah berjalan. Padahal hujan terus mengguyur sejak semalam. Konon, hujan menjadi bagian kehidupan Kuching. Juga banjir!

Di dermaga, boat warna warni bergantian memuat dan menurunkan penumpang. Payung warna warni bergerak perlahan menyusuri tepian yang basah. Ibu-ibu menuju tempat perahu tertambat, naik satu persatu, lalu perahu bergerak menyibak air kecokelatan. Rata-rata perahu boat dilengkapi atap dan mesin. Namun selain boat, ada juga sampan-sampan penduduk yang didayung sembari berdiri.

Jalanan kota Kuching mulai hidup, meski tak seramai di sungai. Mobil-mobil, yang tak semewah dan sebanyak di Jakarta, bergerak pelan di jalanan licin.

Di seberang sungai, rumah-rumah panggung penduduk Melayu hanya nampak atap menyembul diantara pepohonan. Perkampungan Melayu ini, terkenal karena banjir setiap musim hujan datang. Dulunya, daerah ini adalah kebun sagu. Namun lama kelamaan, setelah orang CIna datang, penduduk Melayu minggir ke daerah ini. Meski banjir, mereka tetap bertahan. Hanya saja, supaya air tak masuk, mereka menyiasatinya dnegan rumah panggung.

Sungai adalah urat nadi kehidupan Kuching, terutama di masa lalu. Sebagian masih tersisa. Sebagian tergerus pusaran zaman. Salah satu yang masih bertahan adalah pasar ikan tradisional di Jl Gambier. Pasar ini telah menggeliat sejak jam 3 pagi.

Jejak pendirian Kota Kuching juga ada disini. Tempat ini menjadi lokasi gedung-gedung penting, sejak zaman James Brooke, raja Sarawak pertama. Arsitektur kolonial peninggalan Inggris, menjadi daya tarik utama lokasi ini. Misalnya saja Kuching Waterfront. Lokasi ini kini menjadi tempat kongkow-kongkow dan sangat nyaman untuk pejalan kaki.

Dahulu, pada tahun 1839, Brooke pertama kali mendarat disini. Ia lantas membangun pemukiman kecil. Setelah itu, Waterfront berkembang pesat menjadi pelabuhan dan pusat pemerintahan yang sibuk.

Di seberang Waterfront, terdapat Astana dan Fort Margherita. Astana, meski dibangun pada masa James Brooke sebagai hadiah perkawinan untuk isterinya Margherita, masih berdiri megah. Kini, tempat itu digunakan sebagai kediaman gubernur Sarawak. Jika ia ada di rumah, bendera di depan rumahnya akan berkibar. Sementara jika tengah melancong, bendera diturunkan.

Disini juga terdapat Square Tower, penjara yang dibangun tahun 1879. Diatasnya terdapat meriam. Dulunya, setiap pukul 8 malam, meriam itu dibunyikan sebagai penanda waktu penduduk Kuching. Kini, gedung itu menjadi pusat informasi multimedia Sarawak. Meski tak semua gedung dipakai, pemerintah Kuching merenovasinya seperti kondisi pada masa kejayaannya dulu dan memamerkannya untuk turis.

Menara pengawas di lokasi ini sempat digunakan sebagai tempat melihat panorama Kuching. Tapi belakangan ditutup karena menjadi ajang muda mudi pacaran. Di depannya, berdiri Sarawak Court House, yang dibangun tahun 1874. Gedung ini terakhir kali digunakan sebagai lokasi pengadilan pada Agustus tahun 2000.

Jika ingin menyeberang sungai, bisa naik di tempat bernama Pangkalan Sapi dan Pangkalan Batu. Untuk menyeberang dengan perahu diantara dua tempat itu, cukup membayar 30 sen RM atau sekitar Rp. 1000. Jika ingin lebih, bisa menyusuri sungai dengan cruise. Tarifnya lebih mahal.

Terasa sekali, bagaimana tempat ini aman. Meski sudah larut, di sepanjang tepian, keluarga yang membawa anak kecil dalam dorongan masih berjalan-jalan. Mereka berbaur diantara gadis-gadis remaja berbaju minim, kaum lelaki yang berombongan, atau melewati muda mudi yang tengah pacaran.

Tepian sungai Sarawak juga surga bagi penggemar mancing. Para pemancing ini tak perlu memegang pancingnya. Cukup ditinggal di pagar sungai, lantas duduk-duduk menunggu pancing bergerak-gerak sambil ngobrol dan menikmati Ice Cream Goreng. Wadah untuk es krim ala Kuching ini digoreng dulu di minyak panas, baru dituangi es krim. Alhasil, es krim macam ini perlu cepat dimakan, kalau tak mau meleleh semua. “Waduh, kalau begini sama saja nggak makan es krim,” kata seorang kawan dari Yogya yang sempat menikmati es krim seharga 2 ringgit itu.

Rupa-rupa dagangan memang digelar di sepanjang tepian Sarawak. Termasuk dagangan seks seperti Gambir Sarawak, viagranya Kuching, kondom, minyak penambah gairah dan lain-lain merk, lengkap ditulis dengan khasiatnya. “Gambir Sarawak nombor 1,” demikian salah satu iklan tulisan tangan pada sehelai karton yang dipasang disisi kanan meja. Seolah tak ada yang harus ditutupi, seluruh barang dagangan digeber diatas meja. Tak ubahnya dengan penjual es krim, penjaja minuman dan burger, yang juga berderet di sepanjang tepian. Ada seorang penjual yang masih remaja, sekitar 17 tahunan. Ketika ditanya apa khasiat dagangannya, ia malah Cuma cengar cengir.

Denyut kehidupan pinggiran sungai Sarawak seolah memang tak berhenti, seiring air mengalir di alurnya.

Sungai ini pula yang menjadi pemisah geografis dua wilayah setingkat kotamadya di Kuching. Bagian utara sungai disebut Bandar Kuching Utara, selatannya adalah Bandar Kuching Selatan. Kawasan utara masih sepi. Luasnya sekitar 370 km2. Penduduknya terutama orang Melayu. Kampung Melayu terbentang sepanjang tepian Sungai Sarawak. Rumahnya panggung, bahkan rumah yang telah menggunakan arsitektur modern sekalipun.

Kuching Selatan merupakan bagian dari kota lama. Kebanyakan penduduknya adalah keturunan Cina. Kalau di Jakarta mirip kawasan Kota. Peninggalan lawas pun banyak berada di daerah ini. Bangunan kuno seperti kelenteng tua, pelabuhan, pasar, museum, kantor gubernur, sekolah Cina, Katolik, dsbnya masih berdiri kokoh. Meski tadinya tak ingin membandingkan, akhirnya muncul juga: gedung-gedung itu bersih, terawat, kokoh dan enak dipandang. Beda dengan kawasan Kota kita yang dibiarkan tak terurus.

Di kawasan utara, denyut sungai Sarawak terasa di rumah-rumah panggung kaum Melayu. Lebih menjauh ke utara, menuju gunung Santubong dan kawasan Damai Beach, aroma kehidupan masyarakat Dayak mulai terasa. Sepanjang perjalanan ke Kampung Budaya di kawasan Santubong, terlihat aktiviti masyarakat seputar sungai. Latarnya, Gunung Santubong, yang ketika hari cerah, berbentuk seperti orang tengah berbaring.

Sungai di kawasan ini, terutama menjadi urat nadi masyarakat Dayak. Ada beberapa kelompok Dayak yaitu Bidayeuh, Iban, orang Ulu, dan Penan . Juga ada suku Melanau, Cina dan Melayu. Kebun-kebun sagu di sepanjang aliran sungai yang masih sangat banyak, menjadi makanan utama suku Melanau. Merekalah yang terkenal dengan pengolahan sagunya. Juga makan ulat sagu hidup-hidup.

Orang Melanau ini akan marah kalau disebut sebagai Melayu. Mereka punya bahasa dan cara hidup sendiri. Rumah panggung mereka kakinya paling tinggi dibandingkan rumah-rumah panggung suku lain. Mereka gampang ditandai dari identitasnya. Meski agamanya berbeda-beda: ada yang Islam, Kristen dan animisme- mereka menggunakan pola nama yang sama yaitu dengan bin atau binti.

Di sepanjang sisi sungai, penduduk asli mulai budidaya ikan dengan system keramba. Tetapi dulunya, orang Dayak mencukupi kebutuhannya dengan menangkap ikan semata. Sekarang hanya suku dayak Penan yang masih hidup nomaden dan berburu dengan sumpitnya. Selain burung, mereka juga berburu ikan dan burung Kenyalang (Hornbill) untuk hiasan rambutnya.

Kini, turis bisa melihat rumah dan cara hidup suku-suku bangsa di sarawak itu dengan hanya setengah hari perjalanan di Cultural Village atau Kampung Budaya Sarawak. Kampung ini terletak di bawah perbukitan Santubong, di kawasan damai Beach. Di kampung artifisial ini, turis-turis yang ingin merasakan eksotika kehidupan Dayak dan rumah panjangnya tapi tak sempat merambah ke hutan, bisa melihatnya di kampung ini.

Meski rumah panggung dibuat seperti aslinya, cara hidup dipertontonkans eperti aslinya sayang lingkungan hidupnya tak sesuai. Di tempat aslinya, suku Dayak sangat tergantung pada sungai. Mereka menggantungkan hidup pada sungai, meski belum mengenal ringgit..

Kini, sungai Sarawak masih menjadi tempat mendulang ringgit. Bedanya, pemerintah setempat mengemasnya bagi turis dengan embel-embel atraksi wisata. Untuk turis yang ingin berlayar menyusuri sungai Kuching, tersedia fasilitas khusus. Menurut cerita Margaret, saat petang biasanya ada banyak lumba-lumba bermain di sungai itu. Sayang, karena keterbatasan waktu, GATRA tak sempat menjajal pesiar di sungai Sarawak, apalagi bertemu dengan buaya.

BOX: ASAL MULA KOTA KUCHING

Keberadaan kota ini punya sejarah tersendiri. Awalnya Kuching adalah bagian dari wilayah Kesultanan Brunei. Dulunya anak negeri saling berperang. Memenggal kepala menjadi tradisi yang mendarahdaging. Suatu ketika terdamparlah kapten kapal Inggris James Brooke di Sarawak. Karena persenjataannya lengkap, ia diminta Sultan Brunei mengamankan kota ini. Ia berhasil, maka iapun lalu diberi kekuasaan menjadi penguasa kota ini pada tahun 1841. Gelarnya Raja Putih pertama.

Ketika ia meninggal tahun 1868, ia digantikan anak buahnya Charles Brooke. Gelarnya Raja Puteh II. Ia meninggal tahun 1917. Setelah itu, anaknya, menjadi Raja Putih III dan menjadi raja putih terakhir di Sarawak.

Sahibul hikayat, nama Kucing berasal dari binatang berkaki empat. Orang sana menyebutnya Kuching, Pusa atau Mieow. Meski begitu, kucing hidup jarang berkeliaran. Yang ada kucing pajangan. Si Meong ini dibangun di perbatasan suatu wilayah sebagai penanda suatu tempat. Kadangkala sendiri, kadang berdua, pernah juga berempat. Bahkan ada yang sekeluarga, bersama anaknya yang masih kecil-kecil.

Di perbatasan Kucing Utara dan Kucing Selatan berdiri patung kucing. Inilah patung pertama yang dibangun pemerntah daerah saat penetapan Kucing sebagai Bandaraya. Kucing putih ini berdiri sendiri di Jl. Padungan, menuju kompleks pecinan. Setiap ada perayaan, kucing ini berdandan, kecuali hari Natal.

Saat Imlek, Mieaow ini pakai baju Cina. Saat Idul Fitri si kucing pakai baju Melayu, saat perayaan Gawai, upacara adat Dayak, si push berdandan ala gadis/bujang Kalimantan. Susahnya, kucing ini tak bisa dibedakan sebagai jantan atau betina dari bajunya. “Kucing ini unisex,” kata Margaret sambil tertawa.

Kucing putih menjadi penanda Kuching Selatan. Sedangkan yang berwarna warni adalah symbol Kuching Utara.

Bagi pemerintah kota Kucing, tak berlaku pemeo apalah arti sebuah nama. Nama kucing dimanfaatkan untuk menarik wisatawan. Maka ada museum Kuching. Segala hal yang berbau kucing ditampilkan, bahkan yang tak ada hubungannya dengan sejarah kota ini. Asal kucing, boleh masuk deh. Contohnya, film Hollywood Catwoman. Bahkan juga cuma klipingan berita mengenai binatang kucing!


ADA PETERPAN DI MUZIUM ISLAM

Niat awal menulis mengenai Islamic leisure. Tetapi ternyata ketemu kondom, viagra dan sejenisnya di jual bebas di jalanan. Ada Apa Denganmu-nya Peterpan pun mengalun ‘syahdu’ di Muzium Islam. Ada apa denganmu Malaysia?

Gambaran tentang Malaysia yang islami mulai mengerut di tepi sungai Sarawak. Awalnya yang terbayang adalah nasyid yang mengalun di mana-mana. Ternyata jauh panggang dari api. Gadis-gadis berjalan di tepian dengan baju you can see dan rok diatas lutut adalah pemandangan biasa. Tak ada rasa risih. Mungkin saking amannya bahkan ada yang berani sendirian berjalan-jalan.

Pasangan pria wanita berpacaran juga lazim ditemui. Kalau mau cari kondom, obat-obatan penguat seks, dan alat-alat seks, gampang. Sepanjang tepi air sungai Sarawak, penjualnya menggelar dagangan dengan tenang. Tak ada tanda kekhawatiran ada garukan. Ketika malam mulai merangkak naik, tepian sungai Sarawak justru makin ramai.

Mereka menggelar dagangan diatas meja berukuran 1 x 1 m. Diatasnya berjajar rapi minyak penguat, gambir, lengkap dengan cara pakai dan khasiatnya. Harganya berkisar 5-10 ringgit. Dalam satu meja, bungkusan kondom dijajar sekitar 20 bungkus. Beberapa penjual mencampur dagangannya dnegan gelang mutiara atau kalung manik-manik. Namun yang dominant tetap saja barang-barang lain itu tadi.

Berbagai tulisan menarik minat pembeli supaya datang tertempel di sisi kiri kanan meja. Misalnya Gambir Nombor satu dan Pastinya tahan lama. “Sila…lima ringgit saja,” ucap seorang pedagang menawarkan dagangannya. Orang sekitar lazim menyebutnya Gambir Sarawak. Meski menggelar dagangan saling berdekatan, tak sampai 50 m sudah bisa ditemui dagangan yang sama, tetap ada saja pejalan kaki yang mampir kesana.

Maklumlah tepian Sarawak sangat nyaman dipakai berjalan-jalan. Lucunya yang berpesiar malam-malan disana tak Cuma kaum lelaki, tetapi juga keluarga dengan anak kecil yang masih duduk di kursi dorong. Jadilah adgangan seks bercampur dengan penjual ais krim goreng , minuman ringan, dan makanan kecil.

Itulah uniknya Malaysia. Disatu sisi mereka mentasbihkan dirinya sebagai negeri Islam. Disisi lain, dagangan seks yang di Jakarta sekalipun kadang-kadang tabu dipertontonkan, di Malaysia justru dipajang terang-terangan.

Namun di Kuching masjid bertebaran dis etiap kampong. Masjid yang cukup besar adalah Kuching Divisional Mosque. Juga ada Indian Mosque yang berada di perkampungan orang India. Juga da masjid Bandar Kuching.

Sarawak Islamic Muzium dibangun di tanah bekas madrasah melayu yang dibangun tahun 1930. Madrasah Melayu ini melatih guru pertanian, kesehatan, ekjuruteraan, pengukuran dan kerajinan tangan. Pengajarannya dilakukan dalam bahasa Inggris. Setelah itu Madrasah melayu pindah ke tempat baru. Bangunannya sejak Mei 1992 dijadikans ebagai museum.

Keterkaitan Malaysia dengan Indonesia sangat nyata dari penggunaan bahas maupun benda-benda yang terpajang dalam museum.

Sebagai contoh adalah keris berusia 600 tahun bertuliskan Allahuakbar. Juga terdapat peti kayu bertuliskan huuf arab sepanjang sisi kiri kanan maupun tutpnya. Peti kayu tempat emnyimpan peralatan rumah tangga ini, etrnyata asalnya dari Jawa Tengah.

Penggunaan kata Nusantara ternyata juga dipakai oleh Malaysia untuk emnejlaskan kedatangan islam.

Pengaruh Cina di sana juga snagat kuat. Tembikar-tembikar Cina bertuliskan huruf arab, mangkuk, pinggan besar bertuliskan kalimat shahadat dari zaman Dinasti Qing masih tersisa disana. Pinggan-pinggan itu digunakan untuk mengobati orang sakit.

Sisa peninggalan islam diantaranya adalah Alqur’an bertuliskan tangan. Sebelumnya adalah koleksi pribadi datuk Petinggi Tan Sri Haji Abdul Taib bin Mahmud.

Masjid negeri Sarawak. Direnovasi 5 oktober 1990, oleh Yang dipertua negeri Sarawak Tun Datuk petinggi Haji Ahmad Zaidi bin Mohammad Noor. Dulunya hanya bisa menampung 8000 jamaah. Kemduian diperluas menjadi 14.000 jamaah. Biaya renovasinya sebesar RM. 71,8 juta.

Laksamana Cheng Ho. Ekspedisi dan misi politik masa dinasti Ming (1368-1644). Diambil dari buku Suma Orientalis, Tome Pires, Ying Yai Shang Lan ditulis oleh Ma HUan iaitu.

SEjarah islam di saraawak. Dulunya Sarawak adalah bagian dari kesultanan Brunei. Yang memrintah adalah keluarga Brooke dari tahun 1841-1910. Kapan amsuknya islam di sana memang belum ada kata sepakat. Namun bukti-bukti menunjukkan bahwa islam amsuk lebih awal daripada masa sultan Brunai tersebut.

Bukti yanga da misalnya Dari batu nisan sudah ada penganut islam pada awal abad 15. Sumber Cina juga emnyebutkan adanya Ma ho Mo sa. Sejarah lisan 300 tahun lalu, ada masjid dan 6 raja.

Nisan yang dimaksud adalah Nisan Santubong, milik pembesar yang dalams ejarah lisan diceritakans ebagai Sultan Tengah. Ini sejaland engan Silsilah Raja-raja Berunai bawa Sultan Abdul Jahhil Jabar memerintahkan Sultan tengah menjadi sultan Sarawak athun 1660. isterinya adalah puteri Sultan Sukadana dan sambas.

Kuburan di belakang astana bertarikh 1242 H atau 1742 M menunjukkan pembesar kesultanan Melayu Brunai, Pengiran DarmaWangsa.

Masa 1841-1941:

1852: masjid jami pertama dibangun. Sumbangan penduduk muslim di Kuching. Dibawah Abang Abdul Gafur. Kami pergi ke masjid itu.

Beduk masjid negeri Sarawak yang dibuat tahun 1852-1917 juga dipamerkan.

Ada replica batu nisan skeikh ahmad Majnun.

Ada juga batu bersurat dari Terengganu yang ditemukan di tebing sungai,s telah terjadinya banjir. Bahasanya melayu, tulisan Jawi bertarikh 1303 atau 702 H.

Tahun 1917: Madrasah al mursidhiyah dibangun sebagai pusat kaji islam dans
ekolah kajang bagi muslimat.

1946-1963 : majelis syuyukh al islam. Penumbuhan majelis islam Sarawak 1 mei 1955.

SENI BINA ISLAM
Mesjid Tionghoa Melaka. Masjid Terawai Sarawak. Jubin bergaya islam.

SANIS perundangan islam. Misalnya alat timbang dan sukan. Kedsusateraan islam yang berkembang pada awal mula. Dituliskan pada kertas kulit lembu.

Glob langit bertarikh 1205 H/ 1792 M: merupakan alat astrologi berua bola ukur dengan lambing-lambang bintang terbuat adri tembaga.

Juga ada astrolabe: merupakan kompas pelayaran dengan ukiran huruf arab ditemukan akhir abad 19.

Dari sisi mata uang, musik, pakaian. Pakaian ada baju kurung, baju pahang dengan gaya leher cekak dan kebaya panjang, juga da azimat-azimat.



Masjid Kuching dibangun diatas masjid lama pada tahun 1968. Masjid lama sendiri berbahan kayu, adalah masjid tertua di Kuching, dibangun tahun 1852.

Terpikir, barangkali ini karena di Kuching, Malaysia di Kalimantan Utara. Namun ketika sampai di Kuala Lumpur, di Semenanjung Malaysia sendiri, kondisinya tak jauh beda. Karaoke dan Café, tempat hiburan malam ada, panti pijat pun tersedia.

Pasar dari negeri muslim besar.

Namun di Malaysia sendiri ada lelucon. Banyak orang Timur Tengah datang ke Malaysia ingin makanannya halal, tetapi minumannya tak halal. Cewek yang digandengnya pun tak halal.

Namun yang meninggalkan kesan bahwa negeri ini adalah negeri muslim, terutama tercermin dari bangunan-bangunan kunonya. Di Kuala Lumpur misalnya, bangunan-bangunan kuno itu masih terpelihara. Sebagian besar adalah warisan penjajahan Inggris.

Desainnya, bercirikan islam karena kebanyakan emnggunakan kubah seperti kubah masjid. Bahkan bangunan yang digunakans ebagai hotel ataupun pusat pemerintahan.

Jejak-jejak peninggalan islam terekam rapi di Muzium Islam di Sarawak. Di Museum ini dipamerkan perjalanan islam ke Nusantara, klaim Malaysia juga atas wilayahnya.

Awalnya…..

Yang tertinggal…terutama bisa ditemui di makam….tempat yang kami lewati dalam perjalanan menuju Kampung Budaya di Kuching Utara.


Perkembangan terkini Islam di Malaysia, sumbangan terhadap ilmu pengetahuan juga terpajang rapi.

Di Kuala Lumpur, bangunan berarsitektur Moorish,….di gedung Abdul Samad,


Masjid tertuanya, bagian daris ejarah masuknya islam ke Kuala Lumpur terletak di pertemuan dua sungai. Konon air sungai…berbeda warna dibandingkan dnegan air sungai….

Sekarang, masjid ini terletak di bagian pusat kota Kuala Lumpur. Diatasnya terdapat stasiun monorel, did ekatnya juga ada pasar diamna pedagang terutama India menjajakan dagangannya.

Cerita masjid ini………

Masjid yang menjadi bagian dari tempat wisata adalah Masjid Putrajaya.


BOX: Mendulang Rizki dari masjid.

….asal madura. Berjualan beraneka dagangan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home