Wednesday, June 15, 2005

TRAVEL North Sumatera: Medan and Binjai

Ini pertama kali saya ikut rombongan pejabat untuk suatu perjalanan ke daerah. Sebelumnya saya hanya mendengar cerita teman-teman wartawan lain. jadi buat saya, ini adalah pengalaman pertama. Hal baru artinya new excitement. lagipula, saya belum pernah ke Sumatera. Jadi lagi-lagi, ini pengalaman pertama.

Undangan ikut rombongan menteri Lingkungan Hidup ke Binjai, Sumatera Utara saya terima hari Jum'at melalui SMS difollow up melalui faximile ke kantor. saya minta izin Kapuslip. Ia memberi izin karena hari snein dan selasa masih belum banyak liputan.

Info awal yangs aya terima daris eorang deputi menteri, acara ke Binjai adalah pencanangan kota di jalur Medan-Aceh ini, sebagai kota Rambutan. Sempat terlintas dalam pikiran, kayaknya sekarang bukan musim rambutan? Tapi barangkali di Binjai, rambutan sudah mulai musim kali...

Sebelum berangkat,s aya riset mengenai kota ini. Tak banyak bsia saya temukan. saya ebrebkal dua halaman info terkait BInjai. Ada tulisan kecil di Yahootravel tentang BInjai. Tapi snagat tak emmadai sebagai suatu bahan tulisan. saya berpikir, akan menarik menulis mengenai kota ini, barangkali tentang rambutan Binjai atau barangkali sejarahnya.

Hari senin, sebelum ke Bandara saya selesaikan semua tugas Edsus agustus. Selesai, sudah lebih dari jam 11. Saya memutuskan naik bis. Dari kantor, naik angkot dulu ke pasar Minggu. Perhitungan saya, daripada menunggu lama di jalan, lebih baik jemput bis saja. Asumsinya sebelum jam 12 sudah sampai di pangkalan bis Damri arah Bandara. Ternyata analisa saya meleset. Jalanan macet, dan bis Damri justru telah emlaju ke arah saya. Dengan tergopoh saya turun angkot, berlari menggendong tas punggung yang berat diantara sepeda motor, dan pedagang kaki lima di trotoar.

Sambil berlari, saya emlambai ke arah bis. Berharap sopir atau kondektur melirik ke belakang dan menemukan saya tengah berlari mengejar mereka. Harapan hampir sirna, bis terus melaju. Untunglah, di depan agak macet jadi saya masih punya asa. Bis Damri berhentis ekitar 10 meter did epan saya. 'Semoga nggak jalan. Semoga nggak jalan' berulang-ulang saya melavalkan kata itu sembari terengah.

Seorang lelaki setengah baya berbaik hati bertepuk emmanggil bis itu. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa naik juga. Syukurlah, hampir saja...

Di bis, saya perlu mengatur napas. Maklum nyaris tak pernah olaharga sejak jadi wartawan. Giliran lari siang, eh di tengah kepungan asap. Saya tengok jam, 12.02. Kalau lancar, paling satu jam sampai bandara. Tapi di depan, macet. Aduh, was-was juga karena 30 menit pun kalau macet bisa jadi 3 jam. Padahal waktu ketemu jam 13.00 di VIP Room bandara Sukarno Hatta.

Saya tak bisa melawan kuasa sang waktu. Maka saya menyerah dalam pelukannya. Saya memanfaatkan waktu untuk tidur, menenangkan diri, tanpa perlu memandang jajaran kendaraan yang berbaris seperti ular.

Sesaat terlelap. ketika membuka mata, saya melihat posisi bis masih di Pancoran. Sempat panik juga. Tetapi kemudian teringat, ada rencana Allah di balik setiap peristiwa. Jadi kalau terlambat dan ditinggal, tak mengapa. Ada rencana lain dariNya untuk saya. Maka saya menjadi damai kembali. Saya sempatkan membaca materi pembalakan kayu di betung kerihun. Juga tulisan Chik Rini tentang Simpang Kraft.

Tahu-tahu bisa sudah masuk tol bandara. Baru menjelang jam 1 siang. berarti kemungkinan tak akan tertinggal rombongan. menjelang Terminal 1 saya tanya lokasi VIP room pada kondektur bis? Ia mengerenyutkan kening. "Di depan, Mba," akhirnya ia menjawab juga.

Turun dari bis, celingukan mencari lokasi yang dimaksud. Tak ada apa-apa. Itu pintu masuk untuk penumpang Batavia Air. Manalagi ya? Seorang berpakaian petugas Bandara saya tanya. "Ruang VIP?" ia memandang saya dari atas ke bawah. Saya sangat tak nyaman. "Ya." "Mau kemana?" tanyanya penuh selidik. Tanpa berkata, saya meninggalkan petugas yang menurut saya sombong itu dan beralih ke seorang petugas lain. "Di depan situ Mba, belok kanan," katanya sambil mengarahkan telunjuknya. Saya sangat berterimakasih padanya.

Tadinya saya berpikir ruang tunggu VIP hanya seluas satu ruangan. Ternyata, menempati gedungs endiri. Halaman parkirnya luas. Disitu terparkir mobil-mobil dinas volvo hitam metalik pejabat. Beberapa sopir menunggu di halaman. Ada juga ebebrapa orang berpakaian safari warna gelap. Kelihatannya mereka bagian protokol.

Arsitektur gedung itu bercorak Jawa. bentuknya seperti pendopo. menurut saya mirip dengan pendopo kabupaten di tempat asal saya. Tapi karena sudah lama tak pulang kampung, saya tak yakin betul apakah sama atau tidak. masuk ke dalam, sebagai pusat ruangan adalah meja bulat berdiameter sekitar 1,5 meter dengan jambangan bunga dan rangkaian bunga berukuran besar diatasnya. Menurut saya, tak cocok disitu. Kalau selera saya, mending air mancur kecil ditempatkan disitu untuk emngatasi pemandangan gersangnya aspal landasan pacu.

Di ruang tunggu itu sudah menunggu 3 wartawan lain. Mereka sudah datang duluan. Mereka duduk di sofa pojok kiri ruangan. Sementara di dalam, sudah ada eselon 1, eselon 2, staf ahli menteri dan protokoler. Menteri Rachmat Witoelar sendiri persis di belakang saya. Begitu saya keluar dari cecking barang, menteri muncul di pintu pemeriksaan. Ia langsung menuju ruang tunggu, menemui stafnya. Saya menemui teman-teman wartawan yang mojok.

Kami lalu masuk ke ruangan. Ada empat kelompok sofa dalam ruangan itu. Kami menempati sofa dis ebelah kanan pintu masuk yang kosong dan duduk. Di seberang kami, dibatasi partisi berukiran Jepara, menteri ngobrol dengan bawahannya. Protokol menyuruh kami keluar dari ruangan. "Siapa tahu ada tamu VIP lain," katanya halus. Kami hendak beranjak. Barangkali tahu diri, barangkali juga inferiority complex. Namun rasa hati menolak, kalau kami diundang mengapa kami dibedakan?

Sesaat seorang staf ahli menteri mendatangi, malah menyuruh kami duduk tetap disitu. Ia malah mengajak kami pindah ke kelompok mereka, dekat dengan menteri. Dari situ saya leluasa mendengar menteri bercakap dengan para bawahannya. Juga melihat bahasa tubuh mereka.

Bagi saya itu menarik. Karena hal baru. Sebagai wartawan, dalam berinteraksi dengan narasumber, ada posisi kesetaraan. Pegangannya adalah norma, tetapi bukan menyenangkan atasan. Apalagi asal bapak senang. Saya ingin tahu, bagaimana relasi antara pejabat dengan para bawahannya? Saya beberapa kali melihat, betapa taklimnya seorang direktur ketika di depan Dirut. Sebaliknya betapa powerful dia di depan stafnya.

Saya mendengar menteri bercerita mengenai berlayar di sungai Cisadane. Menurutnya, kali itu bersih, tak banyak sampah mengapung di sana. "dibandingkan Ciliwung jauh," katanya. Saya senang mendengarnya, tetapi juga bertanya-tanya dlam hati. JIka tak ada menteri datang, apakah tetap sebersih itu? jangan-jangan sudah dibersihkan dulu oleh walikota, yang empunya gawe.

Kemudian yang membuatnya tertawa,s eorang kakek tengah mandi di sungai, tanpa memakai sehelai benang, apalagi sepotong sarung. Maka ketika rombongan lewat, ia cuma pasrah melongo. "Mungkin dia pikir mau apalagi. Pasrah saja," kata menteri sambil tertawa.

Sambil mendengar cerita, saya mengamati reaksi para bawahannya. Ada yang menimpali, ada yang cuma senyum, ada juga yang diam tak bereaksi, Ada yang menatap penuh perhatian. Karena yang bicara atasan, semua harus mau mendnegarkan. Menurut saya, sikap mereka masih wajar, dibandingkan di lingkungan pejabat lain. Meski ada juga yang ebnar-benar takzim. kalau seperti itu apa enaknya ya?

Katanya, kalau menjadi birokrat dari bawah, aturan-aturan protokoler seperti itu menajdi makanan sehari-hari. Kalau tak mau ikut-ikutan, berarti cari masalah. Wah, kasihan ya. Pasti capek sekali.

Yang pasti, saya senang lihat staf ahli menteri. Menurut saya, mereka termasuk yang paling bebas mengekspresikan dirinya dibandingkan pejabat lain. Contohnya, seorang staf ahli malah nggabung ngobrol dengan kami. "Biarlah mereka cerita sendiri. Kita juga bikin cerita sendiri," katanya. Jadilah kami ngobrol ngalor ngidul. Ia cerita tentang bagaimana dia dulu dikejar-kejar wartawan karena ia dianggap mbalelo terhadap ketua umum Golkar saat itu, Harmoko. Juga cerita-cerita lucu.

Bis jemputan ke pesawat datang. Kami naik bis, menuju pesawat Garuda. Tiket atas nama tiga perempuan, smeuanya ditulis nama lelaki dengan kode Mr. semuanya. Jadilah kami menggunakan nama palsu...Apakah secara aturan itu menyalahi? Sya belum jelas soal itu. Nanti saya cari tahu.

Di bis, saya tertarik dengan seorang perempuan petugas Gapura angkasa yang memandu rombongan. Ia berusia sekitar 35 tahun. Mengenakans eragam paduan warna hijau kebiruan dan putih. rambutnya hitam pekat, tersisir rapi sekali. Ia berdandan juga. Cara bicaranya menyenangkan. Saya tidak tahu apakah karena ia membawa menteri, atau memang demikian adanya. Di tangannya tergengam walkie talkie. Di atas bis, ia berdiri di depan pintu. Ia berkomunikasi melalui walkie talkie itu.

saya bertanya dalam hati, karena memang tak sempat bertanya langsung. Apakah pekerjaannya khusus mengatar rombongan pejabat? kalau ya, apakah ia hanya melakukannya di atas bis, jadi mengatar ke bis, emmandu hingga tempat aprkir pesawat? Dalam sehari, berapa banyak pejabat diantarnya? Apa tak bosan dengan rutinitas itu? Punya anakkah ia? Sampai jam berapa dia bekerja?

Saya mengerti, ada banyak macam pekerjaan untuk perempuan. Salah satunya yang dilakukannya. saya sendiri tak tahu apa jabatan yang disandangnya dalam struktur perusahaan.
Tapi saya belajar, bahwa perempuan sellau punya kesempatan sama dalam pekerjaan. Apapun itu.

pesawat bertolak jam 13.40. perjalanan ke Medan 1 jam 50 menit. Rasanya perjalanan panjangs ekali. Apalagi eprut amsih lapar. Makanan di pesawat sangat sedikit. Taks eimbang dnegan energi yang dihabiskan. Menjelang bandara Polonia, kru pesawat memberitahukan kondisi cuaca did arat 34 derajat. Sudah kebayang, bagaimana panasnya.

POLONIA MEDAN:

Begitu turun pesawat, benar-benar terasa tuh panasnya Medan. Ada yang bilang, dibandinkan jakarta, pepohonan di medan lebih sedikit. Ah masa? wallahualam.

Di bawah pesawat bis sudah menanti. Padalah jarak cukup ditempuh berjalan kaki. tak sampai semenit naik bis, smapailah kami di ruang VIP. lagi-lagi VIP ya? Bingung juga saya...padahal kalau jalan, bisa cukup melemaskan kaki setelah menekuk kaki di pesawat.

Orang-orang berjajar di depan pintu masuk. Semuanya lelaki. Berseragam. Ada kartu tanda pengenal tergantung di dada. Beberapa saya baca, Pemerintah Daerah Sumatera Utara, Juga ada Toba Pulp Lestari. Mereka emngulurkan tangan: tetapi tak memandang wajah penyalam. Serasa enggan menyambut uluran. Pandangan terarah ke belakang, entah siapa yang mereka tunggu. Atau mereka cari...?

Disini, detektor tak berfungsi. tas tak ditaruh di tempat deteksi. meski rombongan menteri, tak berarti tak ikut aturan kan? Saya sendiri merasa tak enak, karena saya ikut didlaam rombongannya. Coba ada dalam rombongan menteri yang jahat. Gawat juga kan? Penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Dalam praktek, betapa sulit itu diterapkan.

Dari Polonia, bis menuju hotel Tiara Medan. Belakangan saya tahu dari tukang becak mesin, katanya hotel itu dan gedung di sebelahnya milik keluarga Suharto. Setelah Suharto jatuh, gedsung di sebelah itu mangkrak, tak dilanjutkan pembangunannya.

Bis emlaju paling belakang. Di depannya dua mercy berplat merah BK ditumpangi menteri dan gubernur Sumut. Mobil polisi bersirine meraung-raung paling depan. Maka perjalanan lancar. Katanya, Medan juga macet berat mirip Jakarta. Saya berpikir, apakah perlu menggunakan mobil bersirine? kalau ada rapat darurat negara mungkin ya. Tetapi kalau untuk kunjungan smeua menteri pakai sirine, apakah perlu?

Pertama, pemborosan. Bis yang kami tumpangi masih snagat lapang, cukup untuk main bola. Kalau semua naik bis itu, bahan bakar dua mobil itu tak perlu lagi. Kedua, saya dnegar untuk mobil bersirine itu mesti bayar. cash lagi. Maklum, ini Medan BUng! Semua urusan harus dengan uang. Dan cash di muka. Kalau tak perlu pakai itu, cukup mengehmat uang juga rasanya.

Satu hal yang membuat saya resah, pengguna jalan pastilah mangkel. Seperti mangkelanya saya ketika rombongan pejabat lewat di Jl. Tol, sehingga perjalanan Kp. Rambutan Uki harus ditempuh 1,5 jam. Padahal biasanya cukup 15 menit saja. bagaimanapun kehadiran pembelah jalan yang meraung-raung itu mengganggu orang banyak. saya emmbayangkan mereka misuh-misuh. Dan salah satu yang dipisuhi adalah saya. Waduh, tapi saya tak bisa berbuat apa-apa.

Saya mencoba mengenali kota Medan. Tak ada perasaan apa-apa. Biasa saja. Mobil sirine meraung-raung membelah jalan. saya emlihat gedung-gedung tua. Seperti rumah-rumah di daerah Menteng. Saya dnegar daerah ini daerah elitnya medan juga. Pagar-pagar erndah, pepohoian rimbun, jalanan tenang. Saya ebrkomentar, wah Medan sunyi juga ya. Seorang kawan TV bilang, "kamu belum lihat sisi sumpeknya aja." kalau bisa, nanti pengin lihat juga kalau ada kesempatan.

sampai di hotel, duduk di cafe hotel menunggu mendapat kunci kamar. Kami wartawan ngumpul sendiri. Jus sirsak disajikan. Hem segar, sekali teguk langsung habis. Anak Metro bilang, kesurupan. Setelah itu masuk kamar. saya sekamar bertiga. Sebenarnya jatahnya dua orangs ekamar. tapi katanya kamar habis. Ya udah, tiga orang sekamar. Di kamar, ada sambutan manisan Medan. mencicipi itu, lantas tidur dulu deh. Acara baru habis maghrib. Makan malam ke BInjai, 40 km dari Medan. Gile....

0 Comments:

Post a Comment

<< Home