Thursday, October 20, 2005

ARTICLE: Special Interview with Ministry of Finance

Menteri Keuangan Yusuf Anwar, saya temui bersama penanggung jawab rubrik ekonomi Rihad Wiranto pada tanggal 20 Oktober 2005. tepat setahun setelah ia dilantik sebagai menteri.

TV datar layar lebar memajang angka-angka indeks darI BEJ, juga penerimaan pajak/ "Ini berubah dari menit ke menit. Saya pasang juga di kantor presiden dan kantor wapres," ujar Yusuf. Dinding-dinding ruangan dipenuhi foto-fotonya. Ada yang bersama keluarga. Namun dominan adalah foto Yusuf bersama presiden SBY.

Setahun masa jabtannya, Indonesia Bangkit memberikan penilaian F alias Failure kepadanya. Ada berbagai alasan: Pencairan anggaran tertunda-tunda, sangat birokratis, lebih menempatkan diri sebagai kasir daripada otoritas fiskal, tidak mampu mengelola keuangan negara dan mengantisipasi perubahan lingkungan eksternals eperti kenaikan harga minyak, tidak memiliki inisiatif dan strategi untuk meningkatkan penerimaan negara dan melakukan efisiensi pengeluaran, cenderung meremehkan persoalan, tidak mampu berkomunikasi dan persuasi efektif dnegan DPR. Latar belakangnya sebagai birokrat administrator dianggap tidak membantu pengelolaan teknis keuangan.


Salah satu menteri yang mendapat sorotan dan dianggap gagal (terutama oleh pengamat) adalah menteri keuangan. Bagaimana tanggapan anda?

Penilaian itu kan harus diberikan oleh orang lain. Jadi penilaian yang legitimate. Kalau saya anggap itu bukan penilaian yang legitimate.

Saya juga punya master …itu juga harus diberikan penilaian. Banyak kerja-kerja kita yang sudah banyak selama setahun ini yang tidak dipublikasikan dan tidak perlu sellau dilaporkan ke publik karena memang ini kerja kami dan harapan-harapan yang ditimpakan ke bahu kita.

Seperti masalah pengamanan APBN 2004. Sampai dengan desember kemarin kan harga minyak naiknya bukan main, bagaimana menjaga juga sustainability anggaran tahun 2005 yang sudah masuk dan sudah diundangkan. Lalu selanjutnya juga bagaimana anggaran 2006 bisa sustainable. Jadi dari sudut fiskal management, saya rasa itu adalah core yang utama, bagaimana mengamankan derap pembangunan itu melalui pengamanan APBN.

Sekaligus mempertahankan downward defisit dan upward trend untuk growth karena growth sangat perlu dalam rangka employment dan lain-lain. Jadi sebetulnya kalau gagal atau tidak itu dilihat tolak ukurnya dulu.

Rasanya banyak sekali besraan-besaran yang kita capai. Sayang buku ini belum kita publikasikan ke masyarakat karena baru dipublikasikan kemarin (Satu Tahun Kinerja Departemen Keuangan). Ini kerja satu tahun departemen keuangan. Terlalu banyak, even point-point juga terlalu bnayak. Banyak hal-hal yang baru terjadi justru dalam kabinet baru ini terutama dalam fiskal management. Jadi banyak nikmat-nikmat yang sudah diperoleh.

Dan kita juga jangan sampai nikmat kufur. Kalau jaman dulu itu government can do no wrong, sekarang ada tendensi government can do no right. Tidak pernah terpuaskan selera itu. Jadi kalau saya, syukurilah nimkmat-nikmat yang sudah di depan mata ini. APBN sudah aman 2004. APBN 2005 juga aman, 2006 juga aman. Antara lain.

Terima kasih kepada keputusan pemerintah yang telah berani memotong subsidi. Subsidi itu tidak benar. Itu bom waktu yang ditinggalkan para pendahulu kita. Kalau saja dahulu itu ada keberanian menaikkan harga minyak, kita kans ekarang nggak usah hidup seperti begini. Dan kinerja pemerintah itu justru ditentukan oleh poin-poin terakhir yang dilakukan pemerintah. Yaitu kenaikan harag BBM, yang menyebabkan kenaikan biaya hidup, yang menyebabkan pos-pos yang menaikkan inflasi yang mungkin lebih dari single digit. Semua itu ditimpakan kepada ini. Itu disebut the last (straw)…. on the camel back. Jadi maslaahnya udah numpuk. Ada butir-butir yang kotor dari ebebrapa waktu yang lalu dsbnya, tidak untuk menyalahkan yang lalu, tapi kealpaan untuk menaikkan harga minyaks esuai nilai pasar emmang menyebabkan subsidi yang emmbengkak. Kita coba perbaiki karena anda juga sudah maklum bahwa sistem ini sudah tidak benar.

Bagaimana jika kita tidak berbuat sesuatu, saya pernah menghitung subsidinya sampai 14 billion US$. Mana negara dunia yang bisa menanggung beban subsidi ini. Akhirnya potong-potong potong ssampai ke 11 billion. Itupun akhirnya kemarin disetujui sekitar 9 billion. (89,2).

Jadi justru karena itu para analis dan pakar-pakar yang emnganalisa keberhasilan dan kegagalan kabinet pada moment-momen terakhir akibat kenaikan harga minyak.

SBY amsuk ke perintahan dengan smooth dengan dukungan rakyat bulan oktober. Tapi langsung ditimpa pada saat boxing day dengan Aceh, dengan Nias, flu burung, kenaikan harga minyak yang hampir 70. Semuanya mempunyai konskeuensi fiskal. Apakah ini untuk diratapi, disesali ? Tidak harus direspon. Bagaimana emngatasi tantangan-tantangan yang tidak terkontrol ini. Ini kan faktor-faktro yang given yang tidak controllable. Saya juga bagiaman menyelamatkan fiskal supaya setiap defisit bisa ditambal agar tidak bolong.

Ada suatu tingkat defisit yang kita exercise, bolongnya besar. Tidak mungkin. Itu seperti yang 113 dan 89,2. Itu bolongnya besar. Berarti ada financing gap. Financing gap berarti tidak ada kredibilitas pemerintah dan dewan dalam mengatasi ini. Dewan kan diwakili oleh panitia anggaran. Tidak mampu . akhirnya dengan 90 kita bisa, tetapi itupun dnegan suatu measure. Harus dipotong subsidinya. Subsidi dipotong, akibatnya harga minyak naik.

Barangkali dari sisi konsumennya, konsumen kita sudah terbiasa dengan harga termurah, di kawasan ini, di dunia. Waktu kemarin saya G20 di beijing, saya tanya pada teman-teman di negara maju, mengenai tingginya harga minyak di sana. Di Asia Tenggara saja yang hampir sama paling dengan Brunai. Kalau dnegan negara lain palingd engan Saudi Arabia. Kita snagat murah. Dengan Timtim saja mungkin kita 1/3. Makanya penyelundupan Atambua-Dili kan laris sekali. Yang menerima subsidi disini, selain orang-orang yang tidak berhak menerima akrena pengahsilan besar, juga warga negara asing plus perusahaan asing dan warga negara luar negeri lewat minyak-minyak selundupan.

Aapkah itu harus diteruskan? It’s killing us. Itu keberanian pemerintah yang pantas diacungi dua jempol adalah keberanian pemerintah membuat keputusan yang sangat tidak populer tapis angat penting dmei kesinambungn pembangunan. Dengan kenaikan itu kita punya lebih bnayak uang untuk menolong si miskin juga. Jadi untuk kesehatan, pendidikan, infrastruktur. Jadi uang nggak kemana-mana.

Dalam tahun 2005 ini kita emlihat besaran-besaran yang snagat emmbanggakan. Indeks harga saham emnembus level 1100 malah 1200. tahun 2005 ini kita juga dicoret darid aftar-negara-negara yang tidak cooperatif dalam pencucian uang. Tahun 2005 ini juga kita diupkgrade oleh negara-negara OECD sehingga kita dapat cost of borrowingd ari engara OECD lebih rendah.

Tahun 2005 ini juga bisa the first effort menerbitkan bodn yang 30 tahun. Itu tidak ada negara berkembang yang mampu itu. Hanya Indoensia. Yang kemarin laris manis kayakk pisang goreng. Sampai oversubscribenya lebih dari 4 kali. Artinya kepercayaan itu kembali. Oirang asing pun peracya bahwa kita masih berdiri, ekonomi masih jalan dan kita amsih mampu membayar utang. Jatuh temponya 30 tahun itu.

Tahun 2005 ini juga ad perjanjian Helsinki. Hal-hal yang 30 tahun tidak bsia ditangani bisa selesai. LPS juga yang belum pernah ada di republik ini dibetuk. Juga untuk mendorongs ektor perumahan kita bentuk SMF, second mortgage facilitaies. Itus emua pertama kali. Jadi banyak besaran-besaran yang lsitnya panjang yang emnambah confodence kita sbegaai pengelola fiskal dan moneter.

Confidence is back. Karena pak SBY dilihat dunia internasionals ebagai tren setter. Kita tidak mungkin menyelesaiakn amslah dalam 100 hari. Terlalu banyak barang ktoor yang harus dicuci. Lalu banyak bom waktu yang harus dijinakkan. Tapi the trend is our good friend. Kalau kita ke Wallstreet, semboyannya seperti itu.
Jadi jangan coba mengingkari trend. Dan SBY adalah trend setter.

Dalam pidatonya slelau bicara tentang governance, tentang corporasi. Karena beliau belajar yang emnyebabkan krisis negara ini tahun 1998 adalah ketiadaan governance dis ektor corporasi. Itu sudah distudi oleh ADB. Malaysia, indoensia, Filipina dan Thailan. Kesimpulan dua buku itu adlah melting downnya negara-negara itu karena ketiadaan governance.

Praktek-pralktek korporasi yang tidak governance misalnya overborrowing, overexpansion, borrowing tanpa hedging, direksi dan komisaris yang tdiak berfungsi, juga adanya direksi dna komisrais yang merangkap di berabgai perusahaan. Diversifikasi yang tdiak teratur, ekspansi yang tidak teratur, sehingga akhirnya kolaps.

Saya melihat 1998 itu bukan krisis pemerintah. Peemrintah convenience dnegan pinjaman pemerintah yang hanya sbesar 65 miliar dolar. Hanya dlaam waktu satu hari, jumlah itu doubel dengan dialihkannya hutang swasta menjadi hutang publik. Itu untuk ongkos penyelamatan ekonomi. Berapa ongkosnya? Sampai skeraang saya harus menyediakan jumlah yang banyak pembayaran bunganya yaitu 650 triliun. Dalam bentuk dnaa-dana rekap, obligasi, dsbnya.

Dalam stau hari utang kita double dalam satu tingkat dimana anak cucu kita tidak snaggup membayar.

Kritik lain terhadap anda adalah masalah koordinasi. Contohnya dalam pajak ekspor batubara. Apa menko ini nggak ngerti?

Beliau ngerti. Pajak ekspor batubara itu ditentukan melalui tim tarif. Tim tarif itu ada wkailnya dari peridnustrian, perdagangan, bisa juga minta pendapat dari menteri pertambangan.

Itu dalam rangka penggalian sumberd ana untuk APBN kita. Setiap potensi yang bisa. Tapi siapa sih yang suka bayar pajak. By nature pajak itu dibenci. Dan kebetulan saya menggulati dan diberi tanggung jawab untuk menghandel hal-hal yang tdiak disukai maysrakat.

Ini barangkali nasib yang harus kita tanggung, tapi saya nikmati. Pajak itu tidak akan kemana-mana, untuk rakyat juga dikembalikan dalam rangka perbaikan listrik, jalan-jalan. Bayar utangpund arimana kalu nggak dari pajak. Jadi kalau saya sih tidak ada komplain mengenai kordinasi. Kita stau floor. Sebelum jadi menteri kita juga teman.
Segala macem kita juga bisa angkat, tanya persoalan lain.

Kalau ada kritik, that is the essence of free country. Termasuk juga pajak yang kemarin. Yang memprotes kan kebanyakan dunia usaha. Mana ada pengusaha sneang pajak. Kalau bisa sorak-sorak bergembira. Tidak usah pajak. Tapi mana tanggungjawab bernegaranya. Dan itu saya juga merasa tidak fair.

Tim review ada, tim pembuatan UU ada, tim regulasi air ada. Bahwa itu tidak memenuhi harapans epenuhnya, ya nanti dul8u dong. (Dari kadin). Kan ada forum yang sangat demokratis.

UU pajak kan hanya suatu bottom line saja. Prosesnya itu lewat DPR. DPR oitu akan ditampung smeua pendpaat masyarakat. Malah ketua kadinnya pun anggota DPR. Kan bisa berpendapat disitu. Tidak mencari headline. Menacri headline itu gampang. Jelek-jelekin saja pemerintah, anda jadi headline.

Apakah itu hidup kita. Mencari headline, apakah itu bertanggung jawab, apakah itu demokrasi. Coba dilihat, smeua yang menajdi headline skeraang adalah orang-orang yang kalau bsia menghajar habis epemrintash. Itu baru menjadi headline. Good newqs is not worthy. Itu barangkali tren demokrasi kita yang barangkali transisi.

Sehingga da rasa klurang responsibility dlaam emnyampaikan pendapat. Semestinya statemen itu mendukung rasa damai. Ada oranga sing yang datang pada satya. Terkaget-kaget betapa kacaunya engara kita akerna membaca satu koran. Disini rampok, disini begal,sdisini kebakaran. Apa nggak ada ebrita bagus.

Mengenai Pajak Ekspor. Apakah sebelum disosialisasikan sudah direnvcanakan bersama Menteri koordinator?

Itu sudah diberitahukan, ekmudian kita usulkan ke mentamben. Mentamben juga aksih pendapat, tapi syaa maklum jika tidak speendapat untuk sektor beliau. Sektor saya adalah menggali pendpaatn karena pada waktu itu lagi bagus-bagusnya. Disitulah dimana timbulnya lebih banyak rasa patriotisme itu. Jangankan berkorban nyawa, berkorban 5 % saja untuk pajak ekspor sudah bengok-bengok.

Inilah saatnya sektor swasta berterimakasih pada peemrintah. Setelah dibailout pemerintah dlaam jumlah snagat besar, 450 triliun yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia baik yang kaya atau yang miskin. Terutama yang miskin, juga menanggung beban utang, membailout sektor swasta. Coba lihats edikit. Batubara itu kan karunia Allah. Anda tinggal macul. Bagi-bagi dong sedikit utnuk negara, untuk pembangunan, juga utnuk orang-orang yang tidak punya.
Dalam keadaan sulit ini kita bsia melihat, mana patriot, mana yang peot.

Masalahnya koordinasinya bagaimana?

Kalau dikorodinasikans ecara intensif malah nggak jadi-jadi. Terlalu banyak pendapat. Saya korodniasi dnegan pimpinan inggi negara. Pada wapres syaa juga koordinasi. Juga disbeut pada waktu sidang kabinet. Itus udah cukup lah sebagai kroodinasi. Akhirnya juga bisa efektif. Tidak bisa memuaskan semua pihak. Saya sadar, sulit untuk emmbuat everybody happy. Tapi yang paling penting pajak ekspor bukan utnuks aya, tapi untuk rakyat banyak. Negara lagi perlu-perlunya, lagi banyak pengeluaran.

Negara lagi perlu uang. Makanya banyak aset-aset negara di bawah PPA yang alhamdulillah sudah emmenuhi target, batas lelang target PPA.

Dalam situasis eperti ini, dimana anda punya kepentingan, siapa yang harus mengkoordinir.

Koordinasi ekonomi kan ada menko. Dengan referensi barangkali bahwa segala sesuatu diberitahun sewajarnya, tetapi tidak dalam suatu rapat korodinasi.
Lalu kita lihat, kita bahas dalam tim tarif. Tim tarif ini koordinasi juga. Tim tarif membicarakan besaran-besarannya. Timnya itu diketuai dari departemen keuangan, tapi ada anggota juga dari perindustrian. Jadi segala sesuatunya diselesaikans esuai proses. Yang akuntabel.

Prosesnya kan harus koordinasi dengan menko?

Bos saya kan presiden dan wapres.

Kalau jaman dulu pak Ginajar kayaknya…

Ya nggak tahu kalau dulu. Sekarang pun dia mengkorodinir. Baru saja saya rapat disitu. Koordinasi maslaah-masalah lain. Masih ada fungsi kordinasi terus jalan. Bagus.

Pajak ekspor dikoordinasikan?

Keputusan kan harus diambil begitu cepat. Every single minutes we do not decide, argometer jalan terus. Jadi kita juga berburu dnegan waktu.

Artinya dari awal anda menyadari beberapa rekan menteri tidak setuju dnegan ini?

Saya menyadari akan timbul reaksi, tidaks emua setuju dengan pajak, dnegan pungutan. Jadi saya bilang juga itu adalah nature suatu pungutan. Kita tidak bisa harus selalu konsensus. Pasti ada yang tidak setuju. Tapi sedapat mungkin memang konsensus building.

Apa sering pertemuan dengan Menko ?

Sering hampir setiap hari. Kadang juga sampai habis waktu. Karena semua itu harus diputuskan. Sering. Seringkali. Jadi fungsi koordinasi jalan.

Saya tadi dari menko ekonomi tadi rapat urusan Aceh. Jadi selalu ada meeting. Kalau diturutin sih tidak ada habisnya.

Ada seminggu sekali?

Sering. Sering sekali. Kemarin juga ada. Mengenai penyelamatan BUMN. tentang Aceh.

Ada maslaah?

Secara pribadi atau organisasi tidak ada masalah. Dia temans aya dulu. Dan jadi menteri tidak menghilangkan pertemanan. Kita tidak harus kehilangan segalanya karena jadi menteri. Jadi menteri kan bungkus doang. Dalamnya tetap sama.
Orangnya sama saja.

Dari sebelah, sepertinya mengumpulkan menteri kadang susah..

Karena menteri itu nggak ada yang nganggur. Demam 100 hari yang membuat kita suash tidur itu berlanjut hingga skeraang. Sehingga kita malah jadi gerah kalau nggak ada kerjaan. Malah ada rasa bersalah kalau sabtu minggu nggak kerja. Karena sudah kulino. Disini memang darahnya ekonomi kan disini. Lebih dari 70 % penerimaan kan kita yang nyari. Kalau tempat lain, ya ada juga yang cari, tapi yang utama dari sini. Itu yang harus kita amankan. Pajak, bea cukai kan jadi ujung tombak.

Di tim ekonomi apa terpisah blok SBY-Kalla?

Nggak lah itu prasangka. Malah kantor saya dipakai Pak Aburizal. Saya serahkan. Menneg BUMN juga pakai kantor saya. Milik pribadi juga bukan. Itu kan punya negara.

Dalam artian keputusan?

Saya hanya punya satu master, SBY. Dan saya punya another master yaitu Pak Yusuf Kalla. Yang lain-lain sesama menteri itu collega. Kita dnegan etos kerja itu nggak bingung siapa yang harus kita layani. Menko fungsi koordinasi, departemen lain harus kita layani. Mereka adalah klien kita. Minta dana saja ke kita, yang kita harus serve dalam rangka eksinambungan tugas-tugas mereka. NGO, pengamat dan lain-lain adalah stakeholder yang lain.

Pengamat, quote quote dll itu bukan pembuat keputusan. We decide. Disini kita membuat keputusan dnegans egala resiko. Ini kok jelek banget, kakinya gini gini. Coba saya suruh bikin, nggak becus.

Ada lukisan bagus, kurang ini kurang itu. Coba saya suruh nglukis juga nggak bisa. Itu adalah nature kehidupan.

Di AS itu ada (unjust?) spectator . Orang yang duduk di kursi, lihat TV lihat football. Dia terlihat lebih ahli karena yang dia lihat sejarah, seharusnya begini, seharusnya begitu. Jadi di Barat pun ada terminory untuk orang-orang sejenis itu. Bisa bilang setelah semuanya terjadi. Coba you sekarang ada ayam beradu, pilih saja salah satu, ini yang menang. Coba you bisa, you milioner.

Jadi koordinasi itu….

Kalau saya sih nggak ada komplain. Ada kurang ini itu nggak masalah. No regret. Tapi justru untuk diperbaiki.

Misalnya…kalaupun adapun itu harus diperbaiki. Tidak ditangisi, tidak diratapi tapi untuk diperbaiki. Sesuatu hal yangs udah terjadi itu. Masalah itu tidak untuk ditangisi. Maslaah itu untuk ditangani. Kalau nggak ditangani datang-datang lagi.

Dari segi pola kerja, terlepas dari orang-orang di Menko ekonomi apa ada masalah?

Disana? ..Hari ini anak buah kepercayaan saya dilantik disana. Sahala Lumban Gaol jadi deputi Pak Aburizal.

Kalau masalah institusi saya tidak lihat ada masalah. Masalah personil juga saya lihat itu malah teman saya.

Emil salim berpendapat bahwa dulu tim ekonomi setiap senin bertemu membahas berbagai persoalan. Bagaimana yang sekarang?

Kalau mereka selasa rebo mungkin, sekarang senin selasa rebo. Tapi begini…kita ini terlalu banyak amsalah yang harus diselesaikan. Itu harus dibereskan satu persatu. Hari ini ada banyak masalah yang harus diselesaikan, ettapi besok masih akan banyak lagi maslaah yang akan datang. Maslaah fiskal, moneter, hanya dalam waktu kurangd aris eminggu setelah saya dilantik, saya sudah sowan ke Thamrin, declare sama pak Burhan bagaimana memanfaatkan fiskal policy dan monetary policy ini sebagai alat menciptakan iklim yang kondusif. Itu deklarasi kita. Sama pak Burhan juga…fiscal authority sama monetary authority juga tidak ada gap.

Maslaah pribadi juga nggak ada maslaah. Masalah organisasi juga nggak ada masalah. Sama BI juga ujung-ujungnya kalau sampai CARnya turun sampai 8 % kan yang nanggung departemen keuangan. Kita tahu persis itu.

Tidak ada pertemuan rutin?

Ada. Rutinnya tidak harus sama harinya. Hari tergantung pada amslaahnya. Kayak yang kemarin rutin. Bagaimana policy terhadap BUMN. Bagaimana policy terhadap privatisasi. Tadi bagaimana policy masalah utang luar negeri.

Pernah kumpulkan menteri keseluruhan. Tapi tidak setiap kali karena semua orang punya kerjaan. Kemarin maslaah investmen, di Graha Sawala. Biasanya semua orang kumpulnya disitu.

Kok fotonya sama Sby semua. Nggak ada yang sama Yusuf Kalla?

Nggak ada yang ngasih. Mungkin ini saya foto sama you aja saya pasang nanti.

Kesannya kok terpilah?

Kalau saya sih nggak emlihat itu. Saya termasuk yang palings ering keluar masuk istana. Ngobrol sama SBY. Ini ngobrol juga kemarin Yusuf Kalla. Pembagian tugas berjalan.

Dan sekarang ini pembagian tugas bagus. Dulu kan wapres hanya emnghadiri perkawinan dan pemakaman. Sekarang ada lebih banyak bobot.

Bukan dua nahkoda. Satu nahkoda, satuw akil nahkoda. Kan lumrah. Ada pilot ada copilot. Jadis ekarang ini sesuatu dilihat dari sudut negatif atau prejudice.

Kita tetap akan menuju pada cita-cita kemandirian pembangunan. Kemarin saya deklarasi 10 juta pajak dalam rangka memperkuat tax base supaya tax rasio kita besar. Penerimaan pajak besar. Bukans ekedar upacara saja. Dan dengan diangkatnya diberikannya tanda-tanda pembayaran pajak pada guru, polisi, pedagang kecil, artis, presenter, itu menunjukkan awareness. Eseensinya itu. Mungkin pendpaatn pajaknya tidak proporsionil dnegan yang kena pajak.

Sama Pak Sugiharto suka berantem?

Nggak pernah berantem saya. Takut saya badannya gede. Kalau saya ditindihin saja saya nggak bisa apa-apa.

Dia kan bercita-cita menjual BUMN. Privatisasi..

Kalau saya, hubungan pribadi akur. Itu kan nggak masalah.

Tapi saya mengatakan bahwa jumlah 160 BUMN itu too much. Ada yang jadi liabilities melulu. Ada juga yang juga profitable. Sudah ada wacana untuk menciutkan menjadis ekitar 50-60an. Cari yang paling strategis saja. Misalnya Pindad kan nggak mungkin diswastakan. Dahana tidak mungkin diswastakan. Tapi yang biasa why not.
Kasarnya, dari yang pablik biting sampai besi beton kan kita uji. Cari-carilah…jadi sebenarnya, aset itu kan harta. Harta itu bis emnolong dirimu sendiri ketika sedang susah. Di rumah juga begitu. Kalau nggak bisa makan kan jual cincin, jual eclana. Jadi harta itu penjaga badan kita. Kita ekkepin harta kita tapi perut kita lapar ya nggak mungkin.

Jadi kalaus aya,s ecara selektif, privatisasi nggak ada problem, nggak ada jeleknya. Saya sendiri, zaman dulu waktu saya sekjen adalah ketua tim privatisasi. Yang paling baik lewat IPO. Sesuai dengan UUD 45 pasal 33, karena pemegang sahmnya ratusan bahkan ribuan, dan sesuai juga dengan nuansa …prinsip ekonomi Go IPO. Yang emmbeli juga banyak, domestik…

Jadi dengan good policy tidak ada mudharatnya. Apalagi kalau IPO. Juga membantu meningkatkan capital…kita di kapital market. Kita kan ingin market yang berwibawa di Asia Tenggara. Meningkatkan juga perusahaan yang go public.

Kalau saya sih going IPO tidak ada salahnya. Dan going Ipo itu tidak bisa perusahaan brengsek harus perusahaan bagus supaya ada yang mau beli. Jadi perusahaannya direstrukturisasi dulu baru dijual.

Mengelola 160 perusahaan tidak mudah. Itu juga asetnya menteri keuangan. Mereka snagat diharapkan utnuk deviden...

Dalam BUMN Summit itu nggak ikut?

Nggak tahulah. Nggak diajak.