Thursday, April 21, 2005

ARTICLE: Illegal logging

KRIMINALITASPENCURIAN KAYU III
Pasok Jawa Terganjal Legal

Jutaan kayu bodong nyelonong dilego cukong. Hujan duit mengguyur perkayuan. Aparat terindikasi kuat terlibat.

KIRIMLAH kayu hingga ke Cina. Mungkin itulah yang menjadi pegangan para blandong peteng (juragan kayu haram). Sehingga banyak kayu bodong masuk negeri liong. Negara pun dirugikan puluhan trilyun.Tiga bulan terakhir, pemerintah sibuk memburu pembalak liar. Puluhan cukong dan kaki tangannya dibekuk. Dampaknya, harga kayu dalam negeri pun terkerek naik. Kayu meranti, misalnya, kini meningkat hampir dua kali lipat. Tengoklah di toko bangunan Sido Muncul, Depok II, Jawa Barat. Harga kaso per ikat dari Rp 60.000 meroket jadi Rp 105.000! Demikian juga pembelian partai besar. Harga per meter kubik untuk meranti, dari Rp 750.000, melonjak jadi Rp 1,5 juta, Jumat pekan lalu.Yono, pengelola Sido Muncul, menyebut pergerakan harga terjadi sejak Januari lalu. Dan puncaknya pada Februari silam. "Saat itu per kubik sampai Rp 1.800.000," katanya. Sekarang memang sudah melorot. "Tapi turun dikit," katanya.Meski heboh penggasakan blandong ilegal, di Kalimantan dan Papua, dia tidak sulit mendapatkan pasokan kayu. Yono mengaku memiliki lima pemasok. "Sekarang tergantung duitnya," katanya. Jika duit ada, barang pun oke.Meski di dalam negeri harga mulai membaik, toh kayu kita ngeloyor juga ke mancanegara. Kayu meranti Indonesia menyusup sampai ke Cina. Harganya memang menggiurkan. Per meter kubik bisa mencapai US$ 300 --setara dengan Rp 2,7 juta."Di sana meranti istimewa sekali," kata H. Imam Hermanto, Koordinator Komite Pemantau Korupsi Nasional. Salah satu keistimewaannya, meranti bisa diolah menjadi plywood. Tak mengherankan kalau kayu haram Indonesia, menurut Imam, menggunung di Cina.Transtoto Handadhari, Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan, menyebutkan bahwa mengatasi pembalakan liar tidak bisa hanya dengan menangkapi para pelaku penebangan liar. Hal itu berdasar pengalamannya lima tahun di Kalimantan. Penebang haram itu cuma mendapat upah Rp 50.000 per hari, hanya cukup untuk makan. "Kalau ditangkap, anak-istrinya lapar," ujarnya.Akibat situasi itu, lama-kelamaan anaknya pun ikut dilibatkan menjadi pembantu maling kayu. Peranan anak ini menjadi penunjuk adanya pohon besar. Untuk itu, dia mendapat upah Rp 10.000. Pohon gede ditebang dengan upah Rp 25.000, lantas dipotong-potong dan dibawa ke sungai. Siapa yang punya alat berat selain mereka yang punya duit? Makanya, yang harus dibekuk adalah para blandong gedenya.Saat ini, harga di sungai sekitar Rp 100.000 per meter kubik. Jika dihanyutkan sampai ke hilir, harganya bisa berlipat menjadi Rp 200.000. Khusus meranti berukuran 4 dan 8 meter dibeli penadah Rp 200.000. Penadah menjualnya Rp 250.000.Menurut Imam Hermanto, harga kayu peteng (gelap) bisa murah karena biaya operasionalnya juga irit. Jika kayu itu legal, harganya akan mahal, sebab biayanya cukup tinggi. Sebagai contoh, izin resmi menebang tarifnya Rp 12 juta per area. "Tapi prakteknya bisa sampai Rp 50 juta," Imam menambahkan. Mulai izin sampai menebang, biayanya mencapai Rp 300 juta-Rp 400 juta.Sialnya, ketika kayu diangkut, polisi akan menangkap juga. Karena mereka umumnya asal tangkap saja, meski sudah dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). SKSHH "dibeli" Rp 2 juta, padahal resminya gratis. Toh, mereka harus membayar pelicin meski suratnya lengkap. "Ada joke, lebih mudah membebaskan kayu tanpa surat daripada yang ada surat," kata Imam.Karena itulah, kayu legal pun ujung-ujungnya memerlukan dana besar. Sekarang banyak juga yang legal. "Namun dananya harus gede," ujar Imam. Akibatnya, mereka sulit bersaing dengan perdagangan gelap. Kondisi itu mengancam kelangsungan pasokan kayu ke Jawa.Industri kayu di Jawa sangat bergantung pada pasokan dari luar. Perum Perhutani sendiri hanya sanggup memasok kayu di Jawa 730.000 meter kubik. Padahal, kebutuhan tahun 2005 diperkirakan mencapai 6-8 juta meter kubik. Untuk menambah pasokan, mau tidak mau harus mendatangkan dari luar Jawa.Persoalannya, kayu dari luar terganjal legalitas. Kayu Papua, misalnya, banyak dikuasai mafia. Legalitasnya remang-remang. Sehingga sulit untuk memasok Jawa. Menurut Imam, sebagian besar kayu dari bumi cenderawasih itu diekspor secara ilegal. "Kebanyakan ke Cina," katanya.Situasi perkayuan Jawa semakin sulit ketika digelar operasi gede-gedean terhadap pembalakan liar. Satuan Tugas Pengamanan pada Operasi Hutan Lestari II 2005 memang tengah gencar mengejar pejabat polisi yang diduga terlibat pembalakan liar. Salah satunya, oknum polisi yang ditengarai berpangkat perwira menengah di Kepolisian Daerah (Polda) Papua. Dia diduga kuat terlibat membekingi jalur transportasi kayu gelap.Komisaris Jenderal Polisi Ismerda Lebang, Kepala Pelaksanaan Operasi Hutan Lestari II, belum bersedia membeberkan keterlibatan aparat. Namun sumber Gatra di Departemen Kehutanan secara gamblang menyebut nama: berinisial MR, berpangkat komisaris polisi. Perwira itu disebut-sebut sebagai godfather di Papua.Diungkapkan pula, MR diduga mengendalikan semua illegal logging dan penyelundupan. Tanpa dia, kapal tidak ada yang bisa melaut. "Orang itu jahat sekali, dan punya duit Rp 80 milyar," katanya. Kabarnya, MR punya hubungan dekat dengan Polda dan Mabes Polri. Pada 2003, dia menjadi Koordinator Operasi Wanalaga. "Makanya nggak ada yang ditangkap," katanya.Menurut sumber itu, memang siapa pun yang bersentuhan dengan kehutanan pasti ngiler. Duit yang beredar mengguyur seperti hujan. Untuk beroperasi di daerah Kalimantan Barat, 2003, blandong Apeng dan Mar Ali disebut-sebut berani menyuap operasi Wanalaga Rp 5 milyar. Sehingga wilayah operasinya tidak disentuh.Suap-menyuap saat mengangkut kayu jamak terjadi. Misalnya satu tongkang yang mengangkut 10.000 meter kubik. Berangkat dari Muara Teweh, Kalimantan Tengah, menuju Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pungli yang harus dibayar di setiap jalan mencapai Rp 1 milyar.Hingga saat ini, Departemen Kehutanan tidak bisa melakukan apa pun. "Kewenangan kami terbatas," ujarnya. Sehingga, dalam operasi, Departemen Kehutanan dituding tidak ikut. Menurut dia, kehutanan hanya mendampingi dalam operasi yustisia. "Persoalan hukum tentunya ditangani polisi, sehingga kami hampir tak berperan," katanya.Padahal, untuk operasi itu, Departemen Kehutanan mesti merogoh kocek Rp 12 milyar. Sampai pekan lalu, operasi di Papua telah berhasil menyita 52.857 gelondongan atau 278.100 meter kubik kayu. Kemudian membekuk 47 tersangka, termasuk Kepala Dinas Kehutanan Papua dan Irian Jaya Barat. Membeslah 568 alat berat, lima tongkang, empat kapal, dua tugboat, 16 truk, dan 29 gergaji mesin. Alat-alat inilah yang menggunduli hutan Papua dan Irian Jaya Barat.Menurut M.S. Kaban, Menteri Kehutanan, sebenarnya jatah produksi hasil hutan Papua dan Irian Jaya Barat cukup besar. Yaitu 657.000 dan 560.500 meter kubik. Ternyata kayu yang keluar dari daerah itu jumlahnya berlipat-lipat dari angka tersebut. Menurut Kaban, sedikitnya 300.000-600.000 meter kubik kayu colongan lolos lewat laut. Kayu-kayu itu mengalir ke Cina, angkanya mencapai 9 juta meter kubik per tahun.World Wildlife Fund melaporkan bahwa 3,6 juta hektare hutan digunduli pada 2004. Tim Pengelolaan Sumber Daya Alam mengindikasikan, 67 juta kubik kayu per tahun raib. Kerugian negara sedikitnya Rp 30 trilyun tiap tahun.Menurut Kaban, kayu Indonesia yang dicuri mencapai 50-60 juta meter kubik per tahun. Dan duit negara yang tergerus mencapai Rp 40 trilyun-Rp 45 trilyun setiap tahun. Kayu-kayu itu kebanyakan dari Papua dan Kalimantan.Rimba Papua dan Kalimantan merupakan pemasok paling besar kebutuhan kayu Indonesia. Dari 5,6 juta kubik jatah tebang kayu pada 2005, sebanyak 4,5 juta kubik dipasok Papua dan Kalimantan.Rohmat Haryadi dan Heni Kurniasih

ARTICLE: About Electricity tariff

Majalah GATRA 23 / XI 23 Apr 2005
EKONOMI & BISNIS

TARIF LISTRIK
Menunggu Juragan Kehabisan Keringat
Kenaikan harga minyak membuat ongkos bikin setrum melonjak. Tak ada kenaikan tarif listrik hingga satu semester ke depan. Selanjutnya?SETIAP bulan, Jumadi mesti mengalokasikan duit Rp 60.000 untuk bayar listrik. Bagi kalangan berkantong tebal, fulus sebesar itu tentu tak masalah. Tapi, buat ayah dua putri ini, menganggarkan duit senilai itu per bulan terasa berat. Apalagi setelah harga bahan bakar minyak (BBM) naik. Alokasi duit untuk membeli keperluan dapur, sekolah anak, dan transportasi ke tempat kerja melonjak.Jumadi makin khawatir kalau harga setrum juga naik. Dari obrolan di warung yang biasa ia sambangi, isu kenaikan tarif listrik sedang jadi topik hangat. "Sekarang saja sering saya bayar listrik dua bulan sekali," katanya. Di kampungnya, Curug, Tanah Baru, Beji, Depok, Jawa Barat, pembayaran listrik warga dikoordinasi karang taruna.Biasanya, kata Jumadi, karang taruna yang menalangi dulu. Bulan depannya, ia bayar dobel. "Itu pun kalau ada duit," kata karyawan sebuah perusahaan swasta di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, itu. Kalau tak ada uang, terpaksa ia utang kanan-kiri.Jumadi menerima gaji Rp 750.000 per bulan. Istrinya tak bekerja. Anak sulungnya, berumur 10 tahun, sedang menempuh pendidikan di SD kelas IV. Si bungsu yang masih empat tahun belum sekolah. "Saya khawatir listrik dinaikkan juga. Kenaikan BBM sudah bikin puyeng," katanya.Pria asli Depok berumur 39 tahun itu tak sempat lagi memikirkan pembangunan rumahnya yang macet. Rumah pemberian ayahnya itu berukuran 6 x 7 meter. Berlantai tanah, dinding batanya belum diplester.Tak hanya Jumadi, juragan setrum PLN juga puyeng akibat kenaikan harga minyak. Ongkos produksi membuat listrik meroket. Paling tidak, BUMN listrik itu mesti menambah anggaran untuk membeli BBM Rp 4 trilyun. Tahun lalu, PLN merogoh kocek Rp 14,87 trilyun untuk membeli 9 juta ton atau sekitar 8.499 liter BBM.Minyak itu dipakai untuk menjalankan sepertiga pabrik setrumnya. Pembangkit listrik lainnya memakai batu bara (34%), gas (21%), air (10%), dan panas bumi (3%). Seluruh pabrik listrik itu menghasilkan setrum berdaya 21.020 megawatt (MW). Pembangkit swasta setor 3.070 MW.Kendati biaya membengkak, pemerintah belum menyalakan lampu hijau bagi PLN untuk menaikkan tarif. Apalagi, kenaikan harga minyak sudah membuat Jakarta kerepotan, meredam demo dan ''hujatan'' DPR. "Pak Menteri menilai belum perlu menaikkan tarif listrik dalam waktu dekat," kata J. Purwono, Direktur Bina Usaha, Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi. Menteri yang dimaksudnya adalah Purnomo Yusgiantoro, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.Pemerintah, kata Purwono, meminta PLN melakukan efisiensi untuk menekan biaya produksi, agar pemakaian BBM bisa lebih irit. Sehingga harga jual listrik tak perlu naik. Pemerintah juga meminta PLN mengurangi jumlah pembangkit berbahan BBM dan menggantinya dengan gas atau batu bara.Ongkos produksi di pabrik setrum PLN berbahan bakar minyak memang paling mahal dibandingkan dengan bahan bakar lain. Biaya bikin setrum di pembangkit berbahan bakar batu bara bisa empat kali lebih irit dibandingkan dengan BBM. Sedangan gas lebih hemat sepertiganya (lihat tabel).Tapi, menurut Purwono, bukan soal mudah mewujudkan permintaan pemerintah itu. Konversi bahan bakar pembangkit dari BBM ke batu bara dan gas tak bisa dilakukan dalam waktu singkat. "Paling tidak perlu waktu dua tahun," katanya.Cara cepat yang bisa dilakukan untuk mengurangi biaya-biaya PLN, kata Purwono, adalah memberikan insentif pajak kepada PLN. "Tapi itu kewenangan Departemen Keuangan, bukan kami," ujar Purwono. Departemen Energi hanya berperan sebagai regulator. Penengah antara kepentingan PLN dan masyarakat. "Tapi kami juga tak mau, akibat kenaikan harga BBM, keuangan PLN memburuk," ia menambahkan.Upaya mendapatkan insentif pajak pernah dilakukan PLN, tahun lalu. Tapi Departemen Keuangan menolak. Tahun ini, juragan setrum itu akan mencoba lagi. Ada dua pajak yang dimintakan keringanan. Pajak revaluasi aset PLN dan pajak pembelian BBM.Pajak revaluasi aset memang menambah berat beban PLN. Setelah dinilai ulang, aset PLN membengkak jadi Rp 197 trilyun dari perhitungan sebelumnya Rp 67 trilyun. Akibatnya, pajak PLN membengkak jadi Rp 11 trilyun. "Bila kedua pajak itu diberi insentif, PLN bisa menghemat Rp 1 trilyun," kata Eddie Widiono, Direktur Utama PLN.Di luar itu, PLN akan berusaha menekan angka pencurian dan tunggak bayar (losses). Tahun lalu, besarnya losses PLN mencapai 11,27%. PLN berniat menekan angka kehilangan itu menjadi 9,8%. Dengan cara ini, PLN berharap bisa meraup dana Rp 3,15 trilyun. Duit dari insentif pajak dan menekan losses itulah yang digunakan untuk menambal ongkos tambahan membeli BBM.Tapi, apakah upaya-upaya tersebut bakal mampu menahan PLN agar tak menaikkan tarif listrik? "Yang jelas, sampai satu semester ke depan, kami tak akan minta kenaikan tarif ke pemerintah," kata Ali Herman Ibrahim, Direktur Pembangkitan dan Energi Primer PLN. Bagaimana caranya? "PLN akan berusaha semampunya. Namun, kalau keringat kami habis, kami akan laporkan ke pemerintah," ujar Ali.Usaha yang akan dilakukan PLN, antara lain, menyiapkan langkah-langkah efisiensi dan konversi bahan bakar. Ali mengatakan akan melakukan optimalisasi pabrik setrum yang ada. Misalnya di Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Tanjungpriok. Saat ini, pembangkit itu belum sepenuhnya memakai gas, sebagian masih menggunakan minyak. Selain PLTG Tanjungpriok, ada 12 pembangkit lain yang serupa. Antara lain Muara Karang dan Belawan.Selain itu, kontrak pasokan gas untuk tujuh pembangkit yang saat ini masih berupa kesepakatan akan ditingkatkan menjadi kontrak suplai. Bila sukses, pasokan gas itu akan dipakai di PLTG Muara Tawar dan Tambak Lorok. PLN juga akan meningkatkan komitmen pemasok gas untuk lima pembangkit yang berlokasi di Sorong, Dumai, dan Jambi.Dengan mengoptimalkan kerja sama dengan pemasok gas, PLN berharap dapat menambah pembelian gasnya menjadi 581 juta kaki kubik per hari. "Tambah 65 juta kaki kubik saja sudah bisa hemat Rp 900 milyar," kata Ali. Tahun depan, Ali menargetkan tambahan pasokan bisa meningkat menjadi 235 juta kaki kubik. Dan dua tahun lagi, naik menjadi 380 juta kaki kubik.Selain mengamankan pasokan gas, PLN juga akan mempercepat penyelesaian proyek pembangunan pabrik setrum berbahan bakar non-BBM, seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cilegon dan PLTU Cilacap. Keduanya berbahan bakar batu bara. "Percepatannya bisa sebulan atau beberapa bulan," tutur Ali. Misalnya, PLTU Cilacap yang menghasilkan 300 MW akan dipercepat dari Januari 2006 ke November 2005. "Bisa hemat Rp 75 milyar per bulan," katanya.Toh, Fabby Tumiwa, Koordinator Working Group on Power Sector Restructuring, belum melihat PLN telah mengoptimalkan upayanya agar bisa lebih efisien. Ketidakefisienan ini menyebabkan beban yang dipikulnya tambah berat. Titik-titik infesiensi PLN, antara lain, terjadi dalam pembelian bahan bakar minyak. "Misalnya, keperluan pembangkit hanya 1.000 kiloliter dinaikkan jadi 1.100 kiloliter," ujarnya.Investasi PLN juga dinilai kurang produktif. Misalnya dalam proses pembangunanPLTGU Muara Tawar. "Pembangkitnya sudah dibangun, tapi gasnya belum ada. Itu kan tidak produktif," katanya. Contoh lain, pembangkit listrik di Pengaron, Bali. "Belum produksi tapi sudah rusak," ia menambahkan. Padahal, jika PLN lebih oke dalam mengalokasikan duitnya, ongkos bisa lebih hemat, pendapatan bisa meningkat, dan kenaikan harga jual listrik bisa diredam.Fabby juga menyorot proses pelimpahan sejumlah pelayanan dan jasa PLN kepada pihak ketiga sebagai titik ketidakefisienan PLN. "Seharusnya bisa dikerjakan sendiri dengan harga lebih murah," kata Fabby. Pencatatan meter, misalnya. Bila dikerjakan PLN sendiri, biayanya hanya Rp 200 per rumah. "Tapi di Jawa Tengah biayanya Rp 1.200. Di daerah lain rata-rata Rp 1.000," katanya.Fabby menghitung, bila PLN efisien, biaya produksi listrik di Jawa hanya Rp 400 sampai Rp 450 per KWh. Kalau dijual Rp 500 per KWh seperti saat ini, PLN seharusnya masih bisa untung.Artinya, ada berbagai alternatif agar tarif listrik tak naik. Tapi, apa boleh buat, Jumadi telanjur waswas. Bukan baru kali ini pemerintah memberi angin surga.

Sumber: PLN]Biaya Produksi Listrik Per KWhJenis PembangkitBahan BakarBiaya Produksi per KWh (Rp)HidroGas220Minyak550Combine CycleGas220Minyak550SteamGas220Minyak594Batu Bara140Gas TurbineGas220Minyak770DieselMinyak660Harga produksi rata-rata: Rp 574 - Rp 580/KWhHarga jual rata-rata: Rp 500/KWhHarga bahan bakarBatu Bara: Rp 280.000/tonGas: US$ 2,55/MMBTUMinyak: Rp 2.200/literSumber: PLN
Irwan Andri Atmanto, Astari Yanuarti, dan Heni Kurniasih

ARTICLE: Special Interview MInister of Research and Technology

LAPORAN KHUSUS
WAWANCARA KUSMAYANTO KADIMAN
Lima Persen Biofuel

Yang paling mengganjal proses itu adalah pemikiran untung-rugi para ekonom. Mereka selalu menyoal biaya pengembangan energi alternatif. "Sampai kiamat pun melawan pertanyaan itu tidak bakalan menang".

PERANGNYA para peneliti energi alternatif adalah melawan para ekonom. Dan di Indonesia, panglima para peneliti adalah Menteri Riset dan Teknologi (Ristek), Kusmayanto Kadiman. Mantan Rektor ITB ini gemas, bahan bakar nonminyak susah masuk pasar. "Hasil pengembangannya sudah banyak tapi belum dipakai," kata doktor dari Universitas Nasional Australia Jurusan Engineering System itu.Yang paling mengganjal proses itu adalah pemikiran untung-rugi para ekonom. Mereka selalu menyoal biaya pengembangan energi alternatif. "Sampai kiamat pun melawan pertanyaan itu tidak bakalan menang," kata pria kelahiran 1 Mei 1954 itu. Tapi Kusmayanto tak putus asa. Untuk memacu semangat anak buahnya, ia tak segan menggunakan mobil Land Rover 1997 berstiker gasohol hingga ke sidang kabinet."Orang lain mana mau," katanya. Kusmayanto juga tak sungkan turun tangan menjajakan hasil riset anak buahnya. "Pasarnya belum berkembang," katanya. Karena dana penelitian cekak, sekitar Rp 160 milyar untuk seluruh bidang di Ristek, Kusmayanto pun memprioritaskan energi terbarukan. Untuk mengetahui langkah Kusmayanto mengembangkan energi alternatif, Heni Kurniasih dan Rahman Mulya dari Gatra menemuinya. Berikut petikan wawancaranya:Apa pentingnya pengembangan energi alternatif di Indonesia?Selama ini, Indonesia bergantung pada air dan bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batu bara. Dulu air murah. Sekarang air jadi sumber energi yang mahal. Pengelolaannya tidak mudah karena diperlukan untuk minum dan pertanian. Belum lagi masalah sedimentasi. Karena ada pengendapan, energinya juga berkurang. Maka, perlu pembangkit listrik tenaga alternatif.Sangat mendesakkah?Sumber daya alam seperti batu bara, gas, dan minyak terus berkurang. Indonesia memang gudang segala macam sumber daya alam. Namun kebutuhan kita juga terus meningkat. Sejak 2004, Indonesia telah masuk ke dalam negara importir minyak.Langkah Ristek apa?Penghematan energi dari fosil dan air jelas. Tapi kami juga mencari sumber energi alternatif. Saya mendorong lembaga-lembaga di bawah Ristek mengembangkan bahan bakar dari tanaman. Yang sudah diluncurkan ke pasaran adalah gasohol dan biodiesel.Apa kendalanya?Tantangan paling besar datang dari pebisnis. Pebisnis tertarik kalau ada tiga hal: bahan baku, teknologi, dan pasar. Bahan baku ada, teknologi siap, pasarnya yang belum ada.Lantas, apa yang bisa dilakukan?Kalau perlu, undang-undang mewajibkan setiap mobil berbahan bakar solar menggunakan 5% biodiesel. Persentasenya terlihat kecil, namun omsetnya bisa milyaran. Atau dengan insentif. Bentuknya bisa keringanan pajak untuk mobil yang menggunakan biodiesel atau gasohol. Ini yang kami upayakan. Tapi, kan, nggak bisa dari kementerian saya.Sejauh ini bagaimana?Saya, Menteri Pertanian, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral janjian mau ketemu bertiga. Menteri Pertanian telah mendukung. Tinggal Menteri ESDM yang harus memikirkannya. Jangan sampai dia mewajibkan harus pakai, kami nggak bisa menyediakan. Jadi bumerang nanti.Apa memang belum mampu menyediakan dalam skala besar?Sudah produksi, tapi masih kurang. Selama ini, kan penggunanya masih terbatas. Misalnya pada bus-bus BPPT. Saya sekarang mendekati pihak Transjakarta. Kalau busway mau pakai, kami akan berpikir untuk memperbesar pabrik atau mengajak investor lain. Cita-cita saya, busway ada stikernya, menggunakan biodiesel. Jadi, orang bertanya-tanya, biodiesel itu apa. Lalu mereka tertarik, lantas membeli.Jangan-jangan orang tak tertarik karena kualitasnya belum bagus? Apa tidak merusak mesin?Kami sudah cek dan uji di laboratorium dan berbagai kondisi. Memang belum selama bertahun-tahun. Saya sendiri menggunakan gasohol nggak ada masalah. Kenceng aja tuh mobil saya.Apakah biodiesel dan gasohol ini sudah ekonomis?Memang belum. Solar bersubsidi lebih murah dari biodiesel. Solar dijual Rp 2.300/liter, sementara biodiesel Rp 5.000/liter. Belum lagi harga biodiesel bergantung pada harga CPO dunia karena bahan bakunya kelapa sawit. Maka, pengguna biasa tidak akan ada yang mau membeli biodiesel. Pengguna biodiesel haruslah pemain besar. Misalnya, Pertamina mewajibkan.Apa efek ganda penggunaan bahan bakar berbasis tanaman?Saya contohkan jarak pagar untuk biodiesel. Jarak pagar bisa tumbuh di tanah marjinal, tempat tanaman lain tidak bisa tumbuh. Hal ini akan meningkatkan jumlah petani. Jarak juga tumbuh baik di tanah sabana di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Maka, ketergantungan NTT dan NTB terhadap kilang minyak di Balikpapan dan Cilacap bisa dihilangkan.Kapan energi alternatif bisa siap. Sedangkan proyek biodiesel 8 ton di Riau saja mangkrak?Itulah. Mimpi saya, presiden membuat deklarasi pada 2009. Lima persen bahan bakar adalah biofuel (biodiesel dan gasohol). Tidak perlu banyak-banyak.

ARTICLE: Renewable Energy (1)

Majalah GATRA: 20 / XI 2 Apr 2005
LAPORAN KHUSUSMelirik Kemilau Minyak Hijau

BBM alternatif mulai marak diproduksi di dalam negeri. Mampu menghemat devisa jutaan dolar. Ramah lingkungan, kinerjanya pun lebih yahud. Namun kendala masih setumpuk.

GARA-gara harga BBM naik, mahasiswa unjuk rasa. Anggota dewan juga pada baku hantam. Namun para peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) justru tenang-tenang saja. Malah ada yang gembira. "BBM naik? Ah, tidak usah khawatir!" kata Dr. Agus Eko Cahyono, Ketua Balai Besar Teknologi Pati BPPT Lampung. Koleganya, Ir. Arie Rachmadi, MSc, ahli teknologi lingkungan BPPT Jakarta, punya pendapat sama."Memang sudah saatnya subsidi BBM dihentikan. Di beberapa negara, BBM-nya justru kena pajak," kata Arie. Di Australia, misalnya, sebanyak 50%-70% harga BBM adalah komponen pajak. Jangan berburuk sangka dulu. Mereka bukannya tak peduli atau punya uang melimpah. "Sebenarnya, inilah saat yang paling tepat bagi Indonesia untuk mulai melihat bahan bakar alternatif sebagai suatu pilihan," katanya.Para peneliti itu memang punya gacoan baru: BBM alternatif, yang kelak bisa menggantikan solar atau bensin. Arie dan rekan-rekannya di lingkungan BPPT Jakarta kini lebih suka menggunakan "biodiesel B 10" untuk kendaraan mereka. "Selain lebih hemat, biodiesel ini juga ramah lingkungan," ujar Arie. Sementara Agus kini sudah menggunakan "gasohol BE 10" untuk Opel Blazer-nya."Tak usah ragu pakai gasohol BE 10. Terbukti tokcer!" kata Agus bak bintang iklan. Bahkan Agus menjamin, bahan bakar pilihannya itu lebih yahud ketimbang premium atau pertamax. Simak saja catatan pakar teknologi fermentasi lulusan Universitas Hiroshima, Jepang, ini tentang kinerja gasohol BE 10. "Ia mampu mendongkrak kekuatan mesin (power) kendaraan menjadi 41,23 kW," kata Agus.Padahal, premium dan pertamax hanya mampu menyumbang kekuatan berturut-turut sebesar 30,97 kW dan 40,09 kW. Bahkan, menurut Agus, gasohol membuat mesin tidak rakus bahan bakar. Konsumsi gasohol hanya 30,39 liter/jam. Bandingkan dengan premium yang sebesar 31,03 liter/jam dan pertamax yang 27,38 liter/jam. "Selain itu, gasohol juga tidak merusak mobil," kata Agus kepada Yamin Panca Setia dari Gatra.Jangan salah, gasohol BE 10 itu bukan produk canggih buatan Amerika Serikat atau Jepang. Bahan bakar ini adalah produk pabrik Balai Besar Teknologi Pati Lampung di Desa Sulusuban, Kecamatan Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Sedangkan biodiesel B 10 tengah dikembangkan BPPT di sebuah pabrik di Pusat Pengujian Termodinamika BPPT Serpong.Jangan bayangkan pabrik itu berdiri di lahan puluhan hektare dengan peratalan serba canggih. Pabrik biodiesel di Serpong hanya menumpang pada Pusat Pengujian Termodinamika BPPT. Luas bangunannya hanya memakan areal seluas sekitar 500 meter persegi. Pabrik mini ini terdiri dari tiga bagian utama. Yakni tempat produksi, ruang penelitian, dan operator mesin.Jantung pabrik berada di kawasan produksi. Di sana berjejer pipa dan tangki dengan diameter 1-2 meter. Pipa-tangki itu digunakan untuk mengolah bahan baku biodiesel, yakni CPO (crude palm oil) alias minyak kelapa sawit. "Di sini kami sebut kawasan showroom," ujar Arie berseloroh. Tapi, tunggu dulu, apa benar memakai kelapa sawit?Tak salah lagi, baik biodiesel maupun gasohol termasuk dalam keluarga biofuel. Yakni bahan bakar yang berasal dari materi organik nonfosil alias biomass (baca: Minyak Emas Terbarukan). Sejauh ini, bahan baku biofuel umumnya diolah dari tumbuhan penghasil pati (jagung, sagu, singkong), plantoil (tanaman berminyak seperti sawit), dan bio-oil (sekam, gagang sawit).Semua tanaman itu sedikit banyak menghasilkan etanol, unsur penting dalam urusan bahan bakar. Etanol mengandung 35% oksigen sehingga meningkatkan efisiensi proses pembakaran. Ia juga mantap digunakan sebagai zat aditif karena mendongkrak angka oktan dalam bahan bakar. Karena itulah, etanol menjadi primadona dalam urusan bakar-membakar. Buntutnya, proyek produksi biofuel pun semakin digalakkan.Banyak pakar energi memandang, inilah minyak masa depan ketika pati fosil penghasil minyak bumi sudah habis ditambang (baca: Haus Minyak Impor). Nah, pabrik-pabrik yang sudah disebut di awal tak lain berfungsi sebagai wadah oplosan. Pabrik BPPT Lampung, misalnya, mengaduk bensin (90%) dengan etanol-alkohol (10%) yang berasal dari singkong sehingga menjadi gasohol B 10.Adapun pabrik BPPT Serpong mengolah kelapa sawit menjadi biodiesel B 10. "BBM tanam" ini bisa menjadi zat aditif atau substitusi solar dengan kandungan biodiesel sebesar 10%. Karena bahan baku biofuel ini umumnya bisa dipetik dari kebun belakang, peluang memproduksi BBM hijau ini sangat luas. Menurut Menteri Riset dan Teknologi (Ristek), Kusmayanto Kadiman, Indonesia bolehlah disebut ladang minyak hijau."Setidaknya kita punya 40 jenis tumbuhan yang bisa diolah menjadi BBM alternatif," kata Kusmayanto. Di luar negeri, minyak hijau ini sudah lama digunakan. Salah satu pelopornya adalah Brasil, yang menggunakan gasohol secara nasional sejak 1975 (baca: Negeri Bensin Tanam). Kini ''negeri samba'' itu menenggak gasohol setidaknya 11 juta kiloliter setahun.Selain Brasil, 13 negara lain menggunakan gasohol maupun biodiesel sebagai bahan bakar resmi untuk mobil sejak 2003. Mulai Uni Eropa, Australia, Jerman, Kanada, Swedia, hingga Thailand. Bagaimana Indonesia? Geliat paling nyata adalah kehadiran pabrik-pabrik tadi. "Pabrik ini kami rintis sejak 1999," kata Ir. Soni S. Wirawan, MSc, Ketua Balai Rekayasa Desain BPPT yang membawahkan proyek biodiesel.Proyek itu awalnya dimotori oleh sebuah tim kecil 10 orang, termasuk Soni dan Arie. "Modal awalnya ketika itu hanya Rp 16 juta," tutur Soni. Padahal, untuk pabrik dengan kapasitas 1 ton saja, dibutuh dana mencapai Rp 100 juta. Maklum, dana dari BPPT tak tersedia. BPPT baru akan mengucurkan duit jika pabrik sudah berdiri. Akibatnya, proyek pabrik biodiesel ini sering molor.Di sisi lain, tuntutan dan harapan pada proyek itu lumayan besar. Mantan Menteri Ristek, Hatta Radjasa, pernah minta proyek ini menjadi produk unggulan BPPT dalam sebuah pameran riset, 2002. Walhasil, "Kami harus ngutang sama supplier. Itu pun ada bunganya. Selama dua bulan itu, kami harus bayar bunga Rp 3 juta," kata Arie. Toh, setelah bersusah payah, pabrik biodiesel akhirnya berdiri juga.Meski baru berkapasitas 1 ton, itulah pabrik biodiesel pertama Indonesia yang mampu melempar produknya ke pasar. "Sejak tahun lalu, biodiesel B 10 sudah dipasarkan," kata Soni. Penggunanya antara lain bus BPPT, forklift di PT National Gobel, dan sejumlah distributor BPPT. Pabrik Serpong itu memiliki kapasitas terpasang hingga 1,5 ton per hari jika dijalankan enam shift penuh.Namun, sehari-hari, produksi pabrik hanya mencapai 500 ton. "Santai-santai saja. Memang belum ada permintaan hingga 1 ton. Tapi, kalau ada, kami sanggup hingga 1,5 ton," ujar Arie. Selain biodiesel, BPPT juga sedang berusaha memasarkan gasohol. "Penelitian gasohol ini bahkan dilakukan sejak 1980-an," kata Soni. Tapi baru Februari lalu, pabrik BBTP Lampung bisa memasarkan produknya, yakni gasohol BE 10.Sebenarnya, bukan hanya BPPT yang punya proyek biodiesel. Beberapa lembaga penelitian lainnya juga sudah berlepotan dengan minyak hijau ini. Tengok saja Laboratorium Bahan Bakar dan Motor Bakar Dalam, Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya. "ITS mengadakan percobaan pertama tentang biodiesel sejak 1983," kata Dr. Djoko Sungkono, dosen Teknik Mesin ITS.Djoko sendiri mengaku bergelut dengan urusan biofuel sejak 1980. Ketika itu, biofuel umumnya masih menjadi produk aditif saja. "Namun terus kami kembangkan menjadi bahan substitusi solar," kata Djoko. Seperti BPPT, ITS juga mengambil kelapa sawit untuk diolah menjadi biodiesel. "Unjuk kerja minyak sawit memang hampir sama dengan solar," katanya.Jika 20% minyak sawit ditambah dengan 80% solar, akan memiliki unjuk kerja 8.000-9.000 kilokalori/kg. Kini, untuk tahap selanjutnya, ITS sedang mencoba mengalihkan objek penelitiannya pada nipah. "Pengembangan sawit agak sulit karena ia juga menjadi bahan konsumsi," kata Djoko kepada Taufan Luko Bahana dari Gatra.Departemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung (ITB), juga tak menggunakan sawit. Mereka lebih suka memakai buah jarak pagar. "Jarak dapat dipakai sebagai pengganti solar," kata Dr. Tirto Prakoso, pakar energi alternatif dari Teknik Kimia ITB. Biodiesel berbasis buah jarak ini dikembangkan ITB untuk proyek sistem pembangkit tenaga listrik berskala kecil. "Proyek itu sudah kami kenalkan bulan lalu," ujar Tirto.Dari sekian banyak proyek penelitian biofuel yang dilaksanakan, hampir semua ahli angkat jempol pada kinerja BBM tanam ini. Dibandingkan dengan solar murni, kata Djoko, kinerja BBM sawit B 10 memang masih kurang. Tapi, di sisi lain, banyak keuntungan yang didapat. "Getaran pada mesin diesel relatif berkurang. Mesin juga jadi lebih dingin," katanya.Keunggulan paling nyata adalah pada gas buang. Dengan biodiesel, polutan yang muncul di bibir knalpot jauh berkurang. "Jelaganya tidak sepekat solar murni," kata Djoko.Gasohol sebagai aditif bensin juga terbukti ramah lingkungan. "Gasohol mampu mereduksi efek rumah kaca serta meningkatkan kadar oktan," ujar Ir. Sigit Setiadi, MEng, teknisi BPPT Lampung. Ini berbeda dengan gas buang bensin yang selalu menyemburkan polutan berbahaya, seperti karbondioksida (CO), nitrogen-oksida (NOx), serta sulfur-oksida (SOx).Melihat berbagai kelebihan itu, BBM tanam tentu sangat tepat diterapkan untuk bumi yang tua dan kotor ini. Kantor Kementerian Ristek telah mengadakan serangkaian kampanye, seminar, dan uji coba BBM tanam terhadap beragam kendaraan sejak 1990-an. Namun, apa boleh buat, hingga kini peminatnya bisa dihitung dengan sebelah tangan. Paling banter cuma terjadi "saling pengertian" berupa rencana yang belum juga terwujud.Kepala Humas Pemda DKI Jakarta, Catur Laswanto, misalnya, mengatakan, "Kementerian Ristek sudah presentasi soal BBM alternatif ini kepada Pak Gubernur." Menurut rencana, bus-bus Transjakarta yang menjadi kebanggaan Pemda DKI akan memakai biodiesel. Tapi itu masih di atas kertas.Menteri Kusmayanto bukannya tak tahu kondisi itu. Menurut dia, proyek BBM tanam ini bisa berhasil jika tiga hal penting terpenuhi. Ada bahan baku yang cukup, teknologi memadai, serta terbukanya pasar. Sejauh ini, dua hal tadi bisa dicapai. "Hanya saja, masalah pasar ini memang susah. Ada tidak yang mau beli," katanya.Karena itulah, Kusmayanto merasa pemerintah perlu sedikit turun tangan. "Pemerintah perlu mengeluarkan peraturan dan insentif," katanya. Misalnya, pengusaha atau industriawan yang membantu proyek BBM hijau mendapat keringanan pajak atau fasilitas lain.Bahkan Agus berharap, "Gasohol dan biodiesel bisa disubsidi seperti premium." Ia mengacu pada kebijakan Pemerintah Thailand. Di negeri itu, bahan bakar yang ada wajib dicampur dengan BBM tanam. Selain itu, Thailand juga memberi keringanan pajak bagi industri etanol, bebas bea masuk, dan sebagainya.Sayang, kebijakan seperti itu belum ada di Indonesia. Direktur Jenderal Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Iin Arifin Takhyan, mengaku gembira dengan perkembangan BBM tanam ini. "Wah, kami sangat welcome soal BBM alternatif ini," kata Iin. Namun Iin masih bertanya-tanya tentang ongkos produksinya yang tinggi dibandingkan solar bersubsidi.Karena itu, ia enggan berkomentar soal biofuel. "Itu kebijakan Dirjen Listrik dan Pengembangan Energi. Bukan saya," katanya. Ongkos produksi BBM tanam memang lebih mahal. Biodiesel, misalnya, dijual dengan banderol Rp 5.000-Rp 6.000 per liter. Jika dijual sebagai campuran 10% dalam solar, harganya menjadi Rp 2.390. Sudah mendekati harga solar bersubsidi yang Rp 2.100. "Tapi itu masih dianggap mahal," kata Kusmayanto.Tapi para peneliti BBM tanam tak rela dikatakan bahwa minyak alternatif mereka itu mahal. "Coba kita lihat dampak jangka panjangnya," ujar Kusmayanto. Dalam proyeksi yang disusun Kementerian Ristek, konsumsi biodiesel akan mencapai 2% atau 720.000 kiloliter pada 2009. Untuk itu, dibutuhkan 720.000 ton CPO dari 205.000 hektare kebun sawit. "Itu memerlukan sekitar 68.000 pekerja kebun dan 5.000 orang di pabrik," katanya.Selain menyerap banyak tenaga kerja, menurut Kusmayanto, BBM tanam akan mengurangi biaya 720.000 kiloliter solar impor. Dengan asumsi harga solar impor US$ 30 sen/liter, "Bisa menghemat devisa sekitar US$ 216 juta," kata Kusmayanto. Penggunaan gasohol sebanyak 2% untuk pencampur bensin juga akan menghemat US$ 126 juta. "Itu dengan asumsi harga premium impor sebesar US$ 30 sen/liter," tutur Kusmayanto.Selain itu, petani juga mendapat untung. Menurut kalkulasi Kementerian Ristek, biaya budi daya singkong diasumsikan sebesar Rp 2,5 juta/hektare. "Maka, perputaran dana di tingkat petani ubi kayu sebesar Rp 225 milyar," kata Kusmayanto. Begitu juga berbagai jenis BBM tanam lainnya seperti bio-oil (lihat tabel).Toh, walaupun di atas kertas biofuel berjaya, dalam kenyataannya masih banyak kendala lain yang menghadang. Misalnya saja, teknologi industri otomotif yang masih memihak BBM fosil. Perjalanan BBM tanam memang masih panjang. Hal ini bukannya tidak disadari para ahli energi alternatif. Namun mereka pantang menyerah. "Suatu saat kami pasti berhasil," kata Arie optimistis.Nur Hidayat, Heni Kurniasih, Luqman Hakim Arifin, dan Rahman Mulya
Haus Minyak Impor"WAKTU masih mahasiswa, profesor saya bilang, cadangan minyak cuma cukup untuk 20 tahun. Kini, setelah 30 tahun, cadangan minyak pun masih dikatakan 20 tahu lagi." Itulah anekdot yang dilempar Menteri Riset dan Teknologi, Kusmayanto Kadiman, tentang cadangan minyak.Bisa jadi, sejalan dengan penemuan teknologi dan eksplorasi minyak, ditemukan banyak cadangan baru. Toh, Kusmayanto tak menafikan bahwa minyak bakal makin langka. Lihat saja, kilang dalam negeri hanya sanggup menyetor kapasitas 1 juta barel per hari. Akibatnya, sekitar 35% bahan baku kilang dan 30% konsumsi BBM dipenuhi dari impor.Menurut kalkulasi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2002, cadangan minyak bumi hanya mencapai 5 milyar barel. Dengan tingkat produksi mencapai 500 juta barel, cadangan itu akan habis dalam 10 tahun. Kontribusi migas tahun itu memang mencapai Rp 77,6 trilyun atau 25% dari penerimaan negara. "Namun subsidi BBM mencapai 36% dari harga pokoknya," kata Kusmayanto. Jika tak berhemat atau mencari alternatif, Indonesia bakal haus minyak impor terus-menerus.
Cadangan Energi 2002
Keterangan
Minyak
Gas bumi
Batu bara
Panas bumi
Cadangan terbukti
5 milyar barel
90 TSCF
5 milyar ton
2.300 MW
Produksi
500 juta barel
3 TSCF
100 juta ton
800 MW
Jangka waktu
10 tahun
30 tahun
50 tahun
Terbarukan
Ekspor dari produksi
44%
50%
75%
TerbarukanSumber: ESDM
Minyak Emas TerbarukanINILAH "emas" yang tak akan habis ditambang. Biofuel adalah bahan bakar turunan dari biomass --materi organik nonfosil. Karena itulah, biofuel menjadi energi yang terbarukan. Tak seperti minyak bumi, batu bara, atau energi nuklir.Sejauh ini, para ahli membagi biofuel menjadi tiga bagian: padat, cair, dan gas. Kayu-kayuan, tumbuhan kering, termasuk pupuk kandang, bisa digolongkan sebagai biofuel padat. Semuanya bisa dipakai sebagai bahan bakar.Ada juga biofuel cair. Di sinilah umumnya golongan biodiesel dan gasohol berada. Keduanya bisa dibuat dari olahan minyak kelapa sawit, gula, nipah, dan sebagainya. Biofuel cair memungkinkan para ahli mendapatkan etanol, senyawa penting dalam proses pembakaran.Yang terakhir adalah biofuel gas. Beberapa unsur gas tertentu bisa diolah menjadi bahan bakar. Misalnya gas metan dan biogas.
Etanol Sang PembakarUSIA etanol atau ethyl alcohol (C2H5OH) boleh dibilang setua sejarah manusia. Ia sudah diolah manusia menjadi berbagai minuman beralkohol. Namun, sebagai suatu senyawa sendiri, etanol pertama kali dikenalkan oleh seorang ahli kimia Islam, Al-Razi (864-930).Etanol dapat diolah dari beragam tanaman. Mulai jagung, gandum, kentang, sekam, tebu, hingga rumput laut. Jika disuling, kemurniannya bisa mencapai 96% dan bening seperti air.Dibandingkan senyawa lainnya, etanol adalah unsur yang mudah terbakar dan menyala paling efektif. Hasil pembakaran etanol hanya murni karbondioksida tanpa zat polutan lainnya. Karena itulah, etanol dipandang sebagai bahan bakar hijau yang ramah lingkungan.Hanya saja, etanol agak pilih-pilih mesin karena nilai oktannya lebih tinggi ketimbang bensin biasa. Karena itu, mesin-mesin yang ingin menerima etanol haruslah memiliki ruang karburator lebih gede. Namun kondisi ini bisa diatasi jika etanol hanya menjadi bahan campur sebesar 10%-30% dalam bensin.
Proyeksi Penghematan BBM Tanam 2009*
Keterangan
Konsumsi
Bahan baku
Lahan
Tenaga kerja
Penghematan
Biodiesel
720.000 kl
720.000 ton CPO
205.000 ha
73.000
US$ 216 juta
Gasohol
420.000 kl
2,5 juta ton singkong
91.000 ha
650.000
US$ 126 jutaSumber: BPPT* dalam pemakaian sebesar 2%

Tuesday, April 19, 2005

ARTICLE: Bisnis Alam raya (3)

Jaminan Untung Berbuntut Buntung

Bisnis model bank gelap berbunga tinggi kerap membuat nasabah ketagihan. Meski jaminan keamanannya kurang, mereka tak gampang jera.

SEORANG pembaca, mengaku bernama Widi Arianto, mengirim e-mail ke Gatra, akhir Juni lalu. Dalam suratnya, ia mengaku sebagai seorang dari sekitar 5.000 investor besar dan kecil yang menanamkan duit di PT Qurnia Subur Alam Raya. Diperkirakan, total fulus yang nyantol di laci Ramli Araby, juragan Alam Raya, kurang lebih Rp 300 milyar. Widi merasa waswas duitnya tak kembali. "Soalnya, pihak manajemen terkesan menutup diri," tulis Widi Arianto.Ia lantas menunjuk sejumlah nama yang diperkirakan mengetahui masalah yang tengah menggelayuti Alam Raya. Misalnya Marsekal Pertama (purnawirawan) Suryo Hadi Djatmiko dan H.M. Soekotjo. Keduanya belakangan dipercaya sebagai pimpinan Forum Komunikasi Investor Alam Raya yang dibentuk Mei lalu. Selain itu, ia juga menulis sejumlah pentolan yang bisa dikonfirmasi, dari Nurhamdi, Ricco Akbar, sampai Maruto. Sayang, nama-nama itu, ketika dihubungi Gatra, tak mau berkomentar. Widi sendiri, ketika e-mail-nya dibalas, tak mau menjawab.Kendati begitu, Gatra akhirnya berhasil menelusuri sejumlah tokoh investor yang menempatkan uangnya dalam jumlah milyaran rupiah di Alam Raya. Tapi, sebagaimana Widi, pada umumnya mereka cenderung memilih menyembunyikan identitasnya. "Soalnya, kami berada dalam posisi lemah," kata seorang tokoh investor dari Jakarta Timur.Jika bersikap keras dengan mengungkapkan borok Alam Raya secara terbuka kepada publik, ia khawatir, duitnya yang ngendon sekitar Rp 2 milyar tak akan kembali. Tapi, sumber Gatra tersebut juga sadar, dengan bersikap diam, fulusnya belum tentu balik. Ia masih menunggu sampai Senin pekan ini, tenggat janji Ramli untuk membayar uang nasabah. "Kalau tak dilunasi, pasti ribut," katanya.Meski ribuan investor Alam Raya itu sedang gundah gulana, sejauh ini mereka belum mengadukan secara resmi ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Memang, ada beberapa yang melaporkan lewat telepon atau e-mail tanpa menyertakan identitas. "Tapi, tanpa pengaduan resmi secara tertulis, YLKI susah menindaklanjuti," kata Yusuf Shofie, staf YLKI yang menangani bidang pengaduan dan hukum.Langkah lain yang bisa ditempuh, kata Shofie, adalah mengupayakan secara hukum. Tapi, seperti diakui Suharyo, Direktur Pengembangan Usaha Departemen Pertanian, upaya melalui jalur hukum pun belum tentu membuahkan hasil. Soalnya, sejauh ini belum ada undang-undang yang mengatur jenis usaha agrobisnis dengan pola bagi hasil. Satu-satunya alat bukti yang dipakai adalah surat kontrak kedua pihak. "Tapi, kontrak perjanjian itu susah menjadi alat bukti yang punya kekuatan hukum di pengadilan," katanya kepada Rulli Nasrullah dari Gatra.Karena itu, sejak tiga bulan terakhir ini, kantor Departemen Pertanian membentuk tim pemantau. Tugasnya, selain memelototi tingkah perusahaan agrobisnis model bagi hasil, yang kini diperkirakan berjumlah 40 perusahaan, juga menyiapkan materi undang-undang yang memagari soal ini.Lemahnya posisi konsumen itu memang bisa menjadi peluang bagi pihak manajemen untuk mangkir. Hal ini sudah diperkirakan sebelumnya oleh Dr. Rhenald Kasali, ahli manajemen dari Universitas Indonesia. Ketika bisnis berkedok bagi hasil dengan iming-iming bunga sangat tinggi ala Alam Raya ini mulai merebak, pengasuh acara bertajuk "Solusi" di stasiun televisi swasta itu sudah menduga bakal tak sehat. Soalnya, pengelolaannya cenderung mengedepankan prinsip one man show. "Semua aliran dana perusahaan cuma berada pada satu orang," ujarnya.Boleh jadi, dalam beberapa bulan memang lancar. Tapi, Rhenald yakin, bisnis seperti itu tak akan berlangsung lama. Soalnya, dalam situasi ekonomi yang masih meriang seperti sekarang, tak mungkin bisa menggaet keuntungan sampai puluhan persen dalam tempo beberapa bulan saja. Apalagi harga komoditas agrobisnis bersifat fluktuatif. Malah, dengan makin maraknya bisnis semacam itu belakangan ini, harganya cenderung miring karena terjadi kompetisi sangat ketat.Amburadulnya manajemen Alam Raya ini juga terlihat dari tidak adanya badan pengurus yang mewakili investor. Idealnya, posisi lembaga perwakilan nasabah ini harus kuat, agar bisa mengetahui secara transparan pengelolaan dana perusahaan. Celakanya, baru belakangan --setelah ada masalah-- lembaga seperti itu dibentuk.Pendapat senada dikemukakan Erman Rajaguguk dan Hikmahanto Juwana, keduanya ahli hukum dari Universitas Indonesia. Erman sangat memprihatinkan nasib buruk yang menimpa ribuan nasabah Alam Raya. Mereka merupakan korban iming-iming iklan. "Mestinya, sebelum memutuskan berinvestasi pada suatu produk, mereka cermat dalam meneliti risiko keuangan dan hukum yang bakal dihadapi," ujarnya kepada Gatra.Hikmahanto malah menilai bisnis model Alam Raya tak ubahnya multilevel marketing. Ciri paling menonjol, peserta tak bisa mengetahui dengan jelas dan pasti bagaimana prospek dan kondisi perusahaan tersebut. Pihak manajemen perusahaan sengaja memutus rantai komunikasi dengan nasabahnya.Sebab itu, Hikmahanto cenderung melihat kasus ini sebagai penipuan. Soalnya, kontrak dengan nasabah tak dilengkapi dasar hukum yang kuat. Kerap tak memakai notaris ataupun jaminan asuransi. Tentunya, dengan dasar hukum yang kuat, kalau nasabah menggugat, mereka bisa mengajukan aspek pidana dan perdata sekaligus secara berbarengan.Ia mengingatkan, sebenarnya penipuan berkedok bisnis dengan imbalan bunga tinggi sering terjadi beberapa tahun silam. Misalnya kasus PT Banyumas Mulia Abadi (BMA) di Medan. Perusahaan yang didirikan Muhammad Yusuf pada 1998 itu menawarkan imbalan bunga 49% sebulan. Dalam waktu singkat, nasabahnya membludak. BMA lantas membuka kantor cabang di Surabaya dan Jakarta. Tapi, belum genap setahun, BMA sudah ambruk. Milyaran rupiah duit nasabah tak kembali.Kasus serupa pernah terjadi pada beberapa koperasi simpan pinjam (kospin) di Pinrang, Sulawesi Selatan. Bisnis heboh di Pinrang ini diprakarsai Suparman Ishak pada 1996. Melalui koperasi yang dipimpinnya, ia menawarkan kepada nasabah yang hendak membeli televisi, kulkas, dan sepeda motor cukup membayar seperempat dari harga. Hanya dalam waktu empat bulan, barang-barang tersebut sudah bisa diambil.Pada Juli 1998, Suparman mulai mangkir. Berhubung meresahkan masyarakat, Gubernur Sulawesi Selatan H.Z.B. Palaguna memerintahkan agar beberapa kospin yang menggelar praktek seperti bank gelap itu ditutup. Ternyata, setelah ditelisik, kospin-kospin itu cuma mampu mengembalikan sekitar 5% dari total dana nasabah yang Rp 832 milyar. Karena jengkel, ribuan nasabah yang gelap mata itu mengamuk, membakar sejumlah kantor pemerintahan di Pinrang. Para bandar kospin itu kemudian diseret ke bui. Suparman diganjar tiga tahun penjara.Kendati banyak yang menyangsikan kelangsungan bisnis model bagi hasil --apalagi setelah menyimak kasus Alam Raya-- toh perusahaan sejenis yang lain tak mau disamakan. Pundi Farm, misalnya, mengaku tak sembrono mengelola bisnisnya. Perusahaan ini tak cuma mengandalkan selembar surat perjanjian, juga menjaminkan asetnya ke perusahaan asuransi. "Kami menggunakan Asuransi Central Asia," kata Kusdiman, pimpinan Pundi Farm. Asuransi itu meliputi kandang, ayam, gudang pakan, gudang telur, dan mesin genset. Total nilainya sekitar Rp 12 milyar. "Kalau terjadi sesuatu, kami tak mau rugi," ia menambahkan.Kini, boleh-boleh saja sejumlah perusahaan lain masih merasa aman. Tapi, Rhenald Kasali mengajak masyarakat mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Memang, bisnis yang menjanjikan keuntungan tinggi kerap dibarengi risiko gede. Tapi, kalau janji keuntungannya tak rasional, yang terjadi justru moral hazard. Ujung-ujungnya, niat menggaet untung malah berbuntut buntung.

Saiful Anam, Taurusita Nugrani, Amalia K. Mala, dan Heni Kurniasih

ARTICLE: Bisnis Alam Raya (2)

Menjual Impian Telenovela

Bisnis dengan tawaran bagi hasil keuntungan yang menggiurkan tumbuh subur sejak krisis ekonomi. Manajemennya cenderung tertutup. Masyarakat perlu waspada.MIMIK Adriansyah tampak serius menyimak surat kontrak di mejanya. Dokumen perjanjian tiga lembar itu berasal dari PT Kinarya Era Bumi Nusa (Kebun) Cabang Jawa Timur, yang berkantor di Gedung World Trade Center Surabaya. Setengah jam kemudian, Adriansyah mengambil keputusan. "Saya siap menanamkan investasi di sini," katanya.Adriansyah, 55 tahun, adalah pensiunan PT Aneka Gas Industri Surabaya. Warga kompleks Barata Jaya, Surabaya, itu mengaku mengikuti jejak anaknya, yang sudah bergabung dengan Kebun lebih dulu. Ia berencana menanamkan duitnya Rp 20 juta. Sesuai dengan kontrak, investasi itu berumur delapan bulan, dengan bunga 5% setiap bulan.Kebun, perusahaan tempat Adriansyah bergabung sejak pekan lalu, punya lahan pertanian 200 hektare di Sukabumi dan Ciwidey, sekitar 40 kilometer selatan Bandung, Jawa Barat. Lahannya ditanami bawang merah, gambir, brokoli, dan tomat. Perusahaan ini juga membeli hasil kebun dari petani. Keuntungannya inilah yang dibagikan untuk anggotanya, yang di Jawa Timur saja mencapai 500-an orang.Agrobisnis, seperti dikembangkan Kebun, sekarang memang lagi marak. Di Lampung, misalnya. Adalah Nyonya Suwarti, 62 tahun, yang juga tergiur. Pensiunan bidan ini, Jumat pekan lalu, menyetor duit Rp 6 juta ke PT Citrafarm, pengelola usaha ayam potong pola bagi hasil. Baru dua bulan menjadi anggota Citrafarm, Suwarti sudah setor dua kali, total Rp 12 juta. Ia tergiur dengan tawaran keuntungan 72% setahun, sekitar enam kali bunga tabungan.Tampaknya, bisnis penitipan duit dengan baju bagi hasil tapi memakai bunga tetap ini sudah merebak ke mana-mana. Jumlahnya diperkirakan mencapai puluhan. Menurut pengamat investasi Elvyn G. Masasya, usaha seperti ini berkembang pesat lima tahun terakhir ini, sejak krisis ekonomi merangsek. Tapi, Elvyn mengingatkan, usaha semacam itu tak lebih dari menjual mimpi-mimpi indah kepada para nasabah. "Ini ibarat menjual sinetron atau telenovela," katanya."Sinetron" ini meledak, kata Elvyn, karena sejak krisis ekonomi menghantam, praktis tak banyak alternatif investasi yang tersisa. Berbagai sektor bisnis lesu. Dalam situasi serba sulit seperti itu, orang mudah tergiur. Kehadiran bisnis model profit sharing itu seakan memecah kebekuan.Tapi, bagi pelaku bisnis yang biasa bermain di pasar modal, investasi seperti itu tak akan dilirik. Soalnya, mereka selalu berhitung dengan cermat aspek keamanannya. Karena itu, pilihan investasinya tak akan beranjak dari deposito, saham, jual-beli valuta asing, serta obligasi.Elvyn berharap, kasus Alam Raya menjadi pelajaran bagi masyarakat agar berhati-hati dalam membenamkan duitnya. Tapi, benarkah perusahaan yang bergerak di bidang profit sharing itu bakal menyusul Alam Raya? Ada baiknya, Anda memasang sikap ekstra hati-hati, sebelum menjatuhkan pilihan. Jangan sampai seperti yang dirisaukan Elvyn menimpa Anda.Berikut sebagian profil mereka.PT Kinarya Era Bumi Nusa (Kebun)PERUSAHAAN yang berkantor pusat di Sukabumi, Jawa Barat, ini didirikan Djaslim Suim, 21 Mei tahun lalu. Mulanya cuma bergerak dalam perdagangan sayur dan buah. Belakangan meluas ke rempah-rempah, tanaman hias, ikan, ternak, sampai agrowisata. Tahun lalu, Kebun memasok sekitar 4.000 ton sayur dan buah ke pasar domestik. Komoditasnya juga diekspor ke Korea Selatan, Arab Saudi, India, Jepang, dan Malasyia.Kini, Kebun punya 12 cabang di seluruh Indonesia. Di Jawa Timur, misalnya, perusahaan ini punya lahan 142 hektare di Jember, Lumajang, Bondowoso, Malang, dan Batu. "Pemilihan lokasinya harus sesuai dengan jenis komoditas yang akan ditanam," kata Lolita Diar Trisanti, pimpinan Kebun Cabang Jawa Timur.PT Palmagro DanamitraKANTORNYA megah, di Wisma Darmala lantai 10, Jalan Panglima Sudirman Kavling 101-103, Surabaya. Perusahaan ini didirikan Harry Lisally, tiga tahun silam, menawarkan bagi hasil. Ketika ditemui wartawan Gatra, awak perusahaan ini cenderung tertutup. Ini memang mengundang kecurigaan. Harry sendiri tak bisa ditemui.Seorang pegawai Palmagro mengatakan, perusahaannya menawarkan empat jenis investasi, yaitu ternak bebek, penggemukan sapi potong, tanaman lidah buaya, dan gandum. Paket ternak bebek ada dua jenis: New Khaki Campbell dan Hatch & Breed. Dengan setoran modal Rp 8,7 juta, misalnya, dalam setahun berlipat menjadi Rp 12,8 juta. Paket gandum, yang setorannya minimal Rp 30,5 juta, dalam 10 bulan menjadi Rp 45 juta.Untuk sapi, duit yang disetor paling besar, Rp 91 juta. Dalam tujuh bulan melonjak jadi Rp 120 juta. Palmagro mengelola ternak itik dan penggemukan sapi potong di Lumajang. Sedangkan tanaman gandum dikembangkan di Boyolali, Jawa Tengah, dan Singaraja, Bali.PT Reigna Agung PerkasaPERUSAHAAN yang didirikan Agung Perkasa ini mengkhususkan pada komoditas tanaman pala. Kantornya di lantai 11, 12, dan 24 Plaza DM, Jalan Sudirman, Jakarta. Perusahaan ini membuka cabang di Siau, Tahuna (keduanya di Kabupaten Sangir Talaud, Sulawesi Utara), Manado, dan Flores. Sayang, perusahaannya cenderung tertutup. Dalam brosur untuk calon nasabah, misalnya, tak tercantum sama sekali identitas asal-muasal perusahaan ini. "Yang tahu cuma Pak Agung," kata Novry, Kepala Cabang Reigna di Manado.Menurut Novry, Reigna kini menggarap lahan 8.000 hektare di Manado. Pemodal ditawari iming-iming keuntungan 48%-96% per tahun. Untuk menggaet nasabah, Reigna menawarkan tiga paket: Siau Gold, Siau Platinum, dan Siau Island.Untuk Siau Gold, modal awal yang disetor Rp 12 juta. Dalam setahun dijamin menjadi Rp 17.760.000. Paket Siau Platinum modal setornya lebih besar, Rp 30 juta. Setahun berlipat menjadi Rp 51.600.000. Paling tinggi paket Siau Island. Dengan modal setor Rp 90 juta, dalam setahun beranak-pinak menjadi Rp 176.400.000.PT Murakabi BuanaPT Murakabi terbilang cukup tua, berdiri pada 1990. Menurut Agus Haryo Sudarmodjo, bos Murakabi, kiprah perusahaannya diawali dengan membuka lahan seluas 5 hektare di Sleman, Yogyakarta. Lahan tersebut ditanami terong, untuk memenuhi permintaan pasar Jepang.Lima tahun kemudian, Agus memperluas tanahnya menjadi 150 hektare. Ia juga menanam semangka, ketimun, dan labu. Tahun 1996, Murakabi bekerja sama dengan Balai Penelitian Sayur-mayur Departemen Pertanian, meneliti kentang. Empat tahun kemudian, riset itu menghasilkan bibit unggul "amudra" dan "mahudra". Kalau bibit biasa, satu hektare cuma menghasilkan kentang sekitar 12 ton. "Amudra atau mahudra bisa tiga kali lipat," katanya.Murakabi kini mempekerjakan sekitar 1.000 karyawan. Omsetnya sekitar Rp 7 milyar sebulan. Sekitar 85% produknya dilempar ke pasaran internasional, sisanya ke dalam negeri.Agus mengakui, bisnis pola bagi hasil baru dikembangkan tiga tahun terakhir. Investor diberi iming-iming bagi hasil 65% dalam setahun untuk investasi tanaman kentang dan bengkuang. Setoran minimal Rp 45 juta. Tapi, Agus tak mau gembar-gembor. Jumlah investor juga dibatasi. "Setahun paling banter 50 orang," katanya.PT Pundi FarmBEGITU memasuki kantor PT Pungkas Mandiri Farm di lantai II Gedung Mugi Griyatama, Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan, pengunjung disuguhi beberapa aksesori bernuansa ayam. Ada celengan berbentuk ayam dalam ukuran besar di samping meja resepsionis.Pundi Farm, demikian perusahaan ini biasa dikenal, didirikan pada 1987. Pundi bergerak dalam bidang usaha ayam petelur. Peternakannya di Penengahan, Lampung Selatan. Juragan perusahaan ini adalah Eddy Sulistyo, lulusan Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kini, Eddy punya lahan ternak seluas 22 hektare dengan total ayam sekitar 150.000 ekor.Eddy memasuki bisnis bagi hasil pada awal tahun ini. Usaha barunya ini ia percayakan kepada H.R. Kusdiman sebagai bosnya. Kusdiman mempersilakan investor mengunjungi ternak ayamnya. "Itu hak mereka," kata Kusdiman.Kini, Pundi Farm punya investor sekitar 250 orang. Keuntungan yang dijanjikan 45%-81%, dengan jangka waktu 13-17 bulan.

Saiful Anam, Asmayani Kusrini, Zainal Dalle, Heni Kurniasih, Sugiyanto (Lampung), Rachmat Hidayat dan Nurul Fitriyah (Surabaya)

ARTICLE:COVERSTORY: Bisnis Alam Raya (1)

Majalah GATRA: 35 / VIII 20 Jul 2002
LAPORAN UTAMAJaminan Untung Berbuntut BuntungBisnis model bank gelap berbunga tinggi kerap membuat nasabah ketagihan. Meski jaminan keamanannya kurang, mereka tak gampang jera.SEORANG pembaca, mengaku bernama Widi Arianto, mengirim e-mail ke Gatra, akhir Juni lalu. Dalam suratnya, ia mengaku sebagai seorang dari sekitar 5.000 investor besar dan kecil yang menanamkan duit di PT Qurnia Subur Alam Raya. Diperkirakan, total fulus yang nyantol di laci Ramli Araby, juragan Alam Raya, kurang lebih Rp 300 milyar. Widi merasa waswas duitnya tak kembali. "Soalnya, pihak manajemen terkesan menutup diri," tulis Widi Arianto.Ia lantas menunjuk sejumlah nama yang diperkirakan mengetahui masalah yang tengah menggelayuti Alam Raya. Misalnya Marsekal Pertama (purnawirawan) Suryo Hadi Djatmiko dan H.M. Soekotjo. Keduanya belakangan dipercaya sebagai pimpinan Forum Komunikasi Investor Alam Raya yang dibentuk Mei lalu. Selain itu, ia juga menulis sejumlah pentolan yang bisa dikonfirmasi, dari Nurhamdi, Ricco Akbar, sampai Maruto. Sayang, nama-nama itu, ketika dihubungi Gatra, tak mau berkomentar. Widi sendiri, ketika e-mail-nya dibalas, tak mau menjawab.Kendati begitu, Gatra akhirnya berhasil menelusuri sejumlah tokoh investor yang menempatkan uangnya dalam jumlah milyaran rupiah di Alam Raya. Tapi, sebagaimana Widi, pada umumnya mereka cenderung memilih menyembunyikan identitasnya. "Soalnya, kami berada dalam posisi lemah," kata seorang tokoh investor dari Jakarta Timur.Jika bersikap keras dengan mengungkapkan borok Alam Raya secara terbuka kepada publik, ia khawatir, duitnya yang ngendon sekitar Rp 2 milyar tak akan kembali. Tapi, sumber Gatra tersebut juga sadar, dengan bersikap diam, fulusnya belum tentu balik. Ia masih menunggu sampai Senin pekan ini, tenggat janji Ramli untuk membayar uang nasabah. "Kalau tak dilunasi, pasti ribut," katanya.Meski ribuan investor Alam Raya itu sedang gundah gulana, sejauh ini mereka belum mengadukan secara resmi ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Memang, ada beberapa yang melaporkan lewat telepon atau e-mail tanpa menyertakan identitas. "Tapi, tanpa pengaduan resmi secara tertulis, YLKI susah menindaklanjuti," kata Yusuf Shofie, staf YLKI yang menangani bidang pengaduan dan hukum.Langkah lain yang bisa ditempuh, kata Shofie, adalah mengupayakan secara hukum. Tapi, seperti diakui Suharyo, Direktur Pengembangan Usaha Departemen Pertanian, upaya melalui jalur hukum pun belum tentu membuahkan hasil. Soalnya, sejauh ini belum ada undang-undang yang mengatur jenis usaha agrobisnis dengan pola bagi hasil. Satu-satunya alat bukti yang dipakai adalah surat kontrak kedua pihak. "Tapi, kontrak perjanjian itu susah menjadi alat bukti yang punya kekuatan hukum di pengadilan," katanya kepada Rulli Nasrullah dari Gatra.Karena itu, sejak tiga bulan terakhir ini, kantor Departemen Pertanian membentuk tim pemantau. Tugasnya, selain memelototi tingkah perusahaan agrobisnis model bagi hasil, yang kini diperkirakan berjumlah 40 perusahaan, juga menyiapkan materi undang-undang yang memagari soal ini.Lemahnya posisi konsumen itu memang bisa menjadi peluang bagi pihak manajemen untuk mangkir. Hal ini sudah diperkirakan sebelumnya oleh Dr. Rhenald Kasali, ahli manajemen dari Universitas Indonesia. Ketika bisnis berkedok bagi hasil dengan iming-iming bunga sangat tinggi ala Alam Raya ini mulai merebak, pengasuh acara bertajuk "Solusi" di stasiun televisi swasta itu sudah menduga bakal tak sehat. Soalnya, pengelolaannya cenderung mengedepankan prinsip one man show. "Semua aliran dana perusahaan cuma berada pada satu orang," ujarnya.Boleh jadi, dalam beberapa bulan memang lancar. Tapi, Rhenald yakin, bisnis seperti itu tak akan berlangsung lama. Soalnya, dalam situasi ekonomi yang masih meriang seperti sekarang, tak mungkin bisa menggaet keuntungan sampai puluhan persen dalam tempo beberapa bulan saja. Apalagi harga komoditas agrobisnis bersifat fluktuatif. Malah, dengan makin maraknya bisnis semacam itu belakangan ini, harganya cenderung miring karena terjadi kompetisi sangat ketat.Amburadulnya manajemen Alam Raya ini juga terlihat dari tidak adanya badan pengurus yang mewakili investor. Idealnya, posisi lembaga perwakilan nasabah ini harus kuat, agar bisa mengetahui secara transparan pengelolaan dana perusahaan. Celakanya, baru belakangan --setelah ada masalah-- lembaga seperti itu dibentuk.Pendapat senada dikemukakan Erman Rajaguguk dan Hikmahanto Juwana, keduanya ahli hukum dari Universitas Indonesia. Erman sangat memprihatinkan nasib buruk yang menimpa ribuan nasabah Alam Raya. Mereka merupakan korban iming-iming iklan. "Mestinya, sebelum memutuskan berinvestasi pada suatu produk, mereka cermat dalam meneliti risiko keuangan dan hukum yang bakal dihadapi," ujarnya kepada Gatra.Hikmahanto malah menilai bisnis model Alam Raya tak ubahnya multilevel marketing. Ciri paling menonjol, peserta tak bisa mengetahui dengan jelas dan pasti bagaimana prospek dan kondisi perusahaan tersebut. Pihak manajemen perusahaan sengaja memutus rantai komunikasi dengan nasabahnya.Sebab itu, Hikmahanto cenderung melihat kasus ini sebagai penipuan. Soalnya, kontrak dengan nasabah tak dilengkapi dasar hukum yang kuat. Kerap tak memakai notaris ataupun jaminan asuransi. Tentunya, dengan dasar hukum yang kuat, kalau nasabah menggugat, mereka bisa mengajukan aspek pidana dan perdata sekaligus secara berbarengan.Ia mengingatkan, sebenarnya penipuan berkedok bisnis dengan imbalan bunga tinggi sering terjadi beberapa tahun silam. Misalnya kasus PT Banyumas Mulia Abadi (BMA) di Medan. Perusahaan yang didirikan Muhammad Yusuf pada 1998 itu menawarkan imbalan bunga 49% sebulan. Dalam waktu singkat, nasabahnya membludak. BMA lantas membuka kantor cabang di Surabaya dan Jakarta. Tapi, belum genap setahun, BMA sudah ambruk. Milyaran rupiah duit nasabah tak kembali.Kasus serupa pernah terjadi pada beberapa koperasi simpan pinjam (kospin) di Pinrang, Sulawesi Selatan. Bisnis heboh di Pinrang ini diprakarsai Suparman Ishak pada 1996. Melalui koperasi yang dipimpinnya, ia menawarkan kepada nasabah yang hendak membeli televisi, kulkas, dan sepeda motor cukup membayar seperempat dari harga. Hanya dalam waktu empat bulan, barang-barang tersebut sudah bisa diambil.Pada Juli 1998, Suparman mulai mangkir. Berhubung meresahkan masyarakat, Gubernur Sulawesi Selatan H.Z.B. Palaguna memerintahkan agar beberapa kospin yang menggelar praktek seperti bank gelap itu ditutup. Ternyata, setelah ditelisik, kospin-kospin itu cuma mampu mengembalikan sekitar 5% dari total dana nasabah yang Rp 832 milyar. Karena jengkel, ribuan nasabah yang gelap mata itu mengamuk, membakar sejumlah kantor pemerintahan di Pinrang. Para bandar kospin itu kemudian diseret ke bui. Suparman diganjar tiga tahun penjara.Kendati banyak yang menyangsikan kelangsungan bisnis model bagi hasil --apalagi setelah menyimak kasus Alam Raya-- toh perusahaan sejenis yang lain tak mau disamakan. Pundi Farm, misalnya, mengaku tak sembrono mengelola bisnisnya. Perusahaan ini tak cuma mengandalkan selembar surat perjanjian, juga menjaminkan asetnya ke perusahaan asuransi. "Kami menggunakan Asuransi Central Asia," kata Kusdiman, pimpinan Pundi Farm. Asuransi itu meliputi kandang, ayam, gudang pakan, gudang telur, dan mesin genset. Total nilainya sekitar Rp 12 milyar. "Kalau terjadi sesuatu, kami tak mau rugi," ia menambahkan.Kini, boleh-boleh saja sejumlah perusahaan lain masih merasa aman. Tapi, Rhenald Kasali mengajak masyarakat mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Memang, bisnis yang menjanjikan keuntungan tinggi kerap dibarengi risiko gede. Tapi, kalau janji keuntungannya tak rasional, yang terjadi justru moral hazard. Ujung-ujungnya, niat menggaet untung malah berbuntut buntung.

Saiful Anam, Taurusita Nugrani, Amalia K. Mala, dan Heni Kurniasih