Thursday, July 07, 2005

ANTIKORUPSI: Metodology of investigation

Copyright : www.antikorupsi.org


"Membedah Kembar Siam Penguasa Politik dan Ekonomi di Indonesia"
Metodologi Investigasi Korupsi Sistemik buat Aktivis dan Wartawan1
George Junus Aditjondro2


PENDAHULUAN:
Kalau para investigator korupsi dapat kita ibaratkan sebagai montir, yang harus
mencari sumber kerusakan pada mesin mobil, maka ada baiknya para montir itu juga
mengenal seluk-beluk mobil itu sendiri. Sejalan dengan perbandingan itu, maka ada
baiknya para investigator korupsi juga memperdalam pengetahuan mereka tentang
korupsi sebagai gejala sosial, landasan hukum yang berlaku dalam mendefinisikan
‘sesuatu’ itu dapat dianggap sebagai tindak-pidana korupsi, serta bagaimana idealnya
suatu pemerintahan yang bersih (clean government), di mana korupsi dapat ditekan
serendah mungkin.

Itu sebabnya, sebelum saya membeberkan teknik-teknik investigasi korupsi yang saya
ketahui dan sudah saya jalankan, saya ingin terlebih dahulu membeberkan suatu
kerangka teoretis sosiologi korupsi, landasan hukum yang dapat kita gunakan, serta
landasan politis bagi suatu pemerintahan di mana korupsi sistemik dapat ditekan
serendah mungkin.

DASAR-DASAR SOSIOLOGIS:
Sebagai kerangka teoretis umum untuk memahami korupsi di negara kita, saya
menggabungkan pendekatan Syed Hussein Alatas (1999, pertama diterbitkan tahun
1968) yang cenderung melihat peranan segelintir tokoh yang berintegritas tinggi,
dengan pendekatan William J. Chambliss (1973) yang melihat korupsi sebagai bagian
integral dari setiap birokrasi, akibat konflik kepentingan antara segelintir pengusaha,
penegak hukum, birokrat dan politisi, yang merupakan satu cabal yang tertutup, yang
sukar dibongkar dari dalam dan juga tidak mudah diubah dari luar (pendekatan
struktural), dan teori Milovan Djilas (1966, pertama diterbitkan tahun 1957), tentang
munculnya “kelas baru” di negara-negara sosialis.

Ketiga teori itu adalah hasil pengendapan para pengamat terhadap situasi politik dan
ekonomi yang tidak persis sama dengan di Indonesia (kecuali Alatas). Teori Djilas
adalah hasil refleksi dia terhadap keadaan di Uni Soviet dan Yugoslavia, di mana ‘kelas
baru’ itu timbul akibat konsentrasi kekuasaan politik dan ekonomi dan di tangan satu
elite nasional (nomenklatura), yang dipilih oleh Komite Sentral Partai Komunis untuk
mempertahankan kekuasaan mereka. Teori Alatas, adalah hasil refleksi terhadap gejala
korupsi di Asia, khususnya di Indonesia dan Malaysia. Pendekatan Chambliss adalah
hasil refleksi terhadap munculnya cabal di sebagian besar kota di AS, khususnya di
Seattle.
--------------------
1 Penyempurnaan dan updating dari makalah panduan untuk Training Investigasi Korupsi yang
diorganisir oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), Indonesian Corruption
Watch (ICW) & Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) di Jakarta, 9-11 Juli 2001.
2 Dosen Sosiologi Korupsi, Universitas Newcastle, Australia

Kendati demikian, ketiga pendekatan itu sangat bersar relevansinya bagi kita, sebab (a)
refleksi Alatas langsung mengacu ke berbagai contoh di Indonesia, (b) pendekatan
Chambliss mengacu pada hal-hal yang inhaerent dalam berbagai birokrasi
pemerintahan, juga di AS yang menganut sistem demokrasi liberal; dan (c) pendekatan
Djilas, walaupun digali dari sistem ekonomi sosialis, khususnya sosialisme negara,
merujuk pada suatu gejala sosial – “kelas baru” – yang muncul dalam negara-negara
yang menganut sistem partai tunggal, mirip gejala yang berlaku di Indonesia di era
Orde Baru, di mana kekuasaan tentara, Golkar, dan elite ekonomi terkonsentrasi di
seputar Soeharto dan oligarkinya.

Ciri-ciri dari teori ketiga tokoh di atas:
Syed Hussein Alatas:
= Unsur-unsur pokok dalam tindakan korupsi: (a). subordinasi kepentingan umum di
bawah kepentingan atau keuntungan pribadi; (b). unsur kerahasiaan; (c ). Pelanggaran
terhadap norma-norma umum.
= Tipologi korupsi: (a). suap (bribery ); (b). pemerasan (extortion ); dan (c). nepotisme.
= Korupsi dalam suatu masyarakat/bangsa/negara bisa berkembang dari stadium
pertama ke stadium kedua ke stadium ketiga.
= Suatu masyarakat/bangsa/negara (yang sudah memasuki korupsi stadium ketiga)
masih dapat diselamatkan (dari kanker korupsi) apabila masih ada segelintir orang yang
punya integritas tinggi yang dapat memimpin kampanye anti-korupsi di
masyarakat/bangsa/negara itu.

William J. Chambliss:
= Kejahatan terorganisir adalah bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi.
= Kejahatan terorganisir itu berbentuk suatu “cabal“, yang meliputi unsur-unsur (a)
pengusaha, (b) birokrat dan politisi, dan (c) aparat penegakan hukum.
= Cabal itu sukar diterobos dari dalam (berkat kolusi antara para pengusaha dengan
politisi dan aparat penegakan hukum), dan juga sukar ditembus dari luar (karena ‘ikanikan
teri’ yang dikorbankan untuk diadili dan dihukum, tetap dilindungi oleh ‘ikan-ikan
kakap’ yang tetap tak terjamah oleh aparat hukum di luar atau di atas cabal itu).

Milovan Djilas:
= di dalam sistem-sistem politik ekonomi yang monolitik, dalam arti, dikuasai oleh
suatu partai tunggal, akan timbul suatu ‘kelas baru’, yang meliputi para birokrat dan
kader partai tunggal itu, yang menguasai politik, ekonomi, bahkan alat-alat reproduksi
ideologis sistem politik ekonomi itu.
Kerangka teoretis umum itu perlu dilengkapi dengan definisi Paul Heywood tentang
political corruption (korupsi politik), jenis korupsi yang terbungkus di balik istilah
‘money politics’ di Indonesia. “Political corruption,” menurut Heywood dalam kata
pengantar buku yang disuntingnya (1997: 5), mencakup “corrupt activities which take place
either wholly within the public sphere or at the interface between the public and private spheres –
such as when politicians or functionaries use their privileged access to resources (in whatever
form) illegitimately to benefit themselves or others.”

DASAR-DASAR YURIDIS:
Dasar-dasar yuridis yang tersedia bagi kita di Indonesia, baik untuk menyoroti korupsi
pada umumnya maupun korupsi politik khususnya, adalah:
(1). Undang-Undang No. 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
(2). Undang-Undang No. 2/1999 tentang Partai Politik.
(3). Undang-Undang No. 3/199 tentang Pemilihan Umum.

LANDASAN POLITIS PEMERINTAHAN BERSIH (CLEAN GOVERNMENT ):
Dalam sistem demokrasi liberal, pemisahan antara jabatan publik dan jabatan bisnis
harus jelas. Dengan demikian, penguasa politik tidak merupakan ‘kembar siam’ dari
penguasa ekonomi, seperti terjadi selama rezim Orde Baru di Indonesia. Pembedahan
kembar siam itu, berdasarkan kerangka teoretis di atas, dapat dilakukan melalui empat
perangkat kebijaksanaan, yang tidak bertentangan, bahkan didukung oleh dasar-dasar
yuridis di atas, yakni:
(a) pembatasan sumbangan untuk partai-partai politik:
(b) pencegahan ‘pembelian suara’ (vote buying ) dalam pemilihan umum yang diikuti
oleh partai-partai politik itu:
(c) transparansi kekayaan semua pejabat publik (eksekutif, legislatif, maupun yudikatif):
(d) pelepasan semua jabatan yang berkaitan dengan dunia usaha, dibarengi dengan
pembekuan saham-saham yang dimiliki oleh semua pejabat publik.
(ad. a) Pembatasan sumbangan untuk partai politik:

Hal itu sudah mulai dirintis di Indonesia dengan keluarnya UU No. 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik, yang membatasi sumbangan perorangan untuk partai tak boleh
melebihi Rp 15 juta, sementara sumbangan organisasi atau perusahaan tak boleh
melebihi Rp 150 juta. Walaupun dengan sanksi pidana kurungan selama 30 hari atau
denda sebesar Rp 100 juta, Undang-Undang ini ternyata belum dapat mencegah obral
sumbangan kepada partai-partai politik peserta Pemilu 1999, yang jauh melebihi batas
maksimum tersebut (Kusumah dkk 2000: 20-22; IFES 1999: 3).

Mungkin penerapan hukum (law enforcement) sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang itu tidak jalan, karena begitu meratanya pelanggaran itu oleh partai-partai
besar peserta Pemilu 1999. Bahkan teladan untuk pelanggaran Undang-Undang itu
diberikan oleh kedua partai yang ketuanya kini memerintah negara ini, yakni PDIPerjuangan
dan PPP. PDI-P mendapat ‘pinjaman’ sebesar Rp 400 juta, ditambah dengan
pinjaman gedung untuk Sekretariat DPP, dari Laksamana Sukardi, Bendahara DPP PDIP.
Sedangkan penyewaan pesawat terbang untuk menjangkau sebagian besar daerah
(DPD dan DPC) selama masa kampanye, yang biayanya jauh melebihi batas maksimal
sumbangan perusahaan, baru dibayar setelah deadline laporan pemeriksaan keuangan
partai politik, yakni 18 Mei 1999 (Husni, Mucharam & Rasidi 1999).

Sumbangan-sumbangan buat partai sang wakil presiden, lebih gila-gilaan lagi
pelanggarannya terhadap ketentuan UU No. 2 tahun 1999. PPP mendapat sumbangan
sebesar Rp 1 milyar dari dua orang fungsionarisnya -- Hamzah Haz dan A.M. Saefuddin
-- yang ‘kebetulan’ menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Habibie. Tapi ada seorang
fungsionaris PPP yang lain, Syaiful Anwar Husein, yang sumbangannya lebih besar
lagi, yakni Rp 1,25 milyar. Sedangkan dari seluruh daftar penyumbang perorangan
kepada PPP yang berjumlah 135 orang, hanya 21 orang menyumbang persis atau di
bawah batas yang diperbolehkan oleh undang-undang, yakni Rp 15 juta. Bahkan hakim
yang terkenal prinsipiil dan galak, Bismar Siregar, serta bekas aktivis ornop, Abdullah
Syarwani, menyumbang Rp 50 juta, tetap di atas jumlah sumbangan yang
diperbolehkan (Mannan, Sumantri & Rekan 1999).

Ini tidak berarti bahwa di negara yang pemerintahnya sering mengecam korupsi politik
di Indonesia, peraturan pembatasan sumbangan politik itu betul-betul dipatuhi. Di AS,
selain pembatasan sumbangan yang dapat diberikan kepada partai politik peserta
Pemilu (US$ 1000 untuk perorangan dan US$ 5000 untuk badan usaha), juga ada
pembatasan bahwa hanya warganegara dan badan hukum AS yang boleh memberikan
sumbangan. Hal itu ternyata tidak mencegah kelompok Lippo pimpinan James Riady
untuk menyumbang US$ 1 juta untuk kampanye William J. Clinton dalam pemilihan
presiden AS untuk masa jabatan kedua. Pengadilan AS akhirnya menghukum James
Riady untuk membayar denda US$ 8,6 juta serta kerja sosial selama 400 jam (Ismawan
1999: 31-32; Koridor.com, 21 Maret 2001), namun Clinton sendiri lolos dari jerat hukum.
(ad b).

Pelarangan jual-beli suara dalam pemilu (vote buying):
Seperti halnya di negara-negara lain yang menerapkan sistem demokrasi liberal, vote
buying juga dilarang di Indonesia oleh Pasal 73 ayat 3 dan Pasal 14 s/d 16. Dari
Undang-Undang No. 3/1999 tentang Pemilihan Umum. Kenyataannya, berbagai
pelanggaran besar-besaran terjadi sebelum Pemilu 1999 dan kemudian selama Sidang
MPR yang memilih Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan Megawati
Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden.

Kasus yang paling menonjol menjelang Pemilu 1999 adalah dugaan pembelian suara
oleh Golkar dan Partai Daulat Rakyat, baik dengan menyalahgunakan dana Jaringan
Pengamanan Sosial (JPS) maupun dengan memanfaatkan sumber-sumber dana Golkar
yang dikelola oleh A.A. Baramuli, untuk memenangkan suara dari kubu Iramasuka
(Irian Jaya, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan) (lihat Sulistyo dan Kadar 2000, untuk
berbagai contoh pembelian suara selama masa kampanye Pemilu lalu).

Sedangkan kasus yang paling menonjol di seputar Sidang Umum MPR yang gagal
melegitimasi kepresidenan B.J. Habibie, terkenal sebagai ‘skandal Bank Bali’, di mana
Rp 546 milyar dimanipulasi untuk ‘membeli’ suara para anggota MPR (lihat Ismawan
1999; Samhuri dan Setiono 1999; Saydam 1999). Ketika kasus itu mencuat ke permukaan,
serangan terutama ditujukan kepada Rudy Ramli, pimpinan Bank Bali, serta tokohtokoh
Golkar dari kubu Iramasuka-Nusantara, yang mendukung pencalonan (kembali?)
Habibie sebagai Presiden RI. Sementara tanggungjawab moral dan legal dari para ‘wakil
rakyat’ yang menerima sogokan uang haram dari tim sukses Habibie, sama sekali luput
dari sorotan.

Padahal, sesungguhnya Polri bisa saja menginterogasi para operator tim sukses Habibie,
untuk mengungkapkan ketua DPP serta pimpinan DPD tingkat I dan II dari partaipartai
mana, dan siapa saja di MPR menerima amplop dari mereka dan berapa milyar
rupiah yang mereka terima. Kenyataan bahwa itu tidak terjadi dapat menjadi indikator
dari kualitas para ‘wakil rakyat’ hasil Pemilu 1999, yang sepakat untuk menutupi borok
satu sama lain, sambil sekali lagi, mengkambinghitamkan seorang pengusaha keturunan
Tionghoa atas tragedi ekonomi politik terbesar selama era kepresidenan Habibie.
Tampaknya, hanya pemberian dana Rp 1 milyar kepada ketua Partai Bulan Bintang
(PBB), Yusril Ihza Mahendra, yang pernah terungkap di media massa. Itupun akibat
konflik internal antara kubu pro- dan anti-Yusril di PBB. Begitupun, Yusril tidak
mendapat sanksi pidana apa-apa, bahkan berhasil terpilih kembali sebagai ketua umum
PBB (Aditjondro 2001b).

(ad c). Transparansi kekayaan pejabat publik:
Pelaporan kekayaan pejabat, kini sudah mulai dirintis pula di Indonesia. Tapi kalau di
negara-negara demokrasi liberal kekayaan seseorang sudah harus dilaporkan untuk
diketahui oleh khalayak ramai, sebelum dicalonkan untuk suatu jabatan publik, di
Indonesia yang terjadi justru kebalikannya.
Selain itu, tampaknya yang dilaporkan pada Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN), atau yang ditanyakan oleh KPKPN dalam formulir
yang harus diisi oleh para pejabat negara, hanyalah kekayaan yang bersifat statis. Bukan
kekayaan yang bersifat produktif, misalnya, saham di berbagai perusahaan, baik atas
nama sendiri maupun atas nama orang lain. Hal ini membawa kita pada butir
berikutnya.

Pelepasan semua jabatan bisnis dan pembekuan saham milik pejabat publik:
Di negara-negara demokrasi liberal yang sudah maju, pemisahan antara ‘dunia politik’
dan ‘dunia usaha (bisnis)’ itu telah dikembangkan setapak lebih maju, dengan adanya
kewajiban bagi pemangku jabatan publik untuk melepaskan semua jabatan yang
berkaitan dengan dunia usaha, terutama yang berada di bawah wilayah yurisdiksinya.
Misalnya, seorang menteri pertambangan di Australia, diserang habis-habisan oleh pers
dan partai oposisi ketika diketahui bahwa keluarganya memiliki saham di sebuah
perusahaan pertambangan di negara bagian Queensland..

Malah semakin tinggi jabatan seseorang, semakin keras tuntutan terhadapnya, untuk
melepas semua saham yang dimilikinya. Ini terjadi terhadap Paul Keating, ketika ia
masih memangku jabatan Perdana Menteri di Australia, di mana ia dipaksa menjual
sahamnya di sebuah peternakan babi di negara bagian New South Wales. Saham-saham
itu dijualnya kepada Willem Soerjadjaja, yang karena kedekatannya dengan pemerintah
Soeharto di masa tertentu, membuat penjualan saham itu sendiri disorot oleh pers di
Australia, seolah-olah Keating memberikan kemudahan pada seorang kroni Soeharto.

Dalam sistem demokrasi liberal, bukan hanya saham yang harus dilepaskan oleh semua
pemangku jabatan publik, dan selama masa jabatannya harus diserahkan kepada suatu
‘blind trust ‘. Juga jabatan direktur dan komisaris harus dilepaskan, begitu pula jabatan
di yayasan-yayasan dan lembaga-lembaga lainnya yang berurusan dengan dunia bisnis.
Misalnya, yayasan yang bergerak dalam promosi ekspor produk tertentu, atau lembaga
pemikir (think tank ) yang juga punya kaitan dengan dunia usaha.

Di Indonesia, pelepasan keterkaitan antara sejumlah pemangku jabatan publik dengan
dunia usaha, termasuk badan-badan usaha milik negara, masih sangat tidak lugas dan
juga tidak mutlak. Bekas Presiden Abdurrahman Wahid, dikabarkan telah menjual
sahamnya di perusahaan penerbangan AWAIR. Tapi mana buktinya, kalau KPKPN
tidak mewajibkan semua pemangku jabatan publik melaporkan saham-saham yang
dimilikinya di berbagai perusahaan, khususnya di kelompok Harawi?

Kwik Kian Gie, menjelang maupun sesudah diangkat menjadi Menteri Ekuin dalam
kabinet Abdurrahman Wahid, juga belum pernah saya dengar melepaskan jabatannya
sebagai presiden komisaris PT ABN-AMRO Leasing Indonesia, anak perusahaan bank
Belanda, ABN-AMRO, yang mengelola sejumlah perusahaan milik keluarga Soeharto di
Negeri Belanda (CIC 1996: 2; Aditjondro 2000).

Begitu pula Erna Witoelar, menjelang maupun setelah diangkat menjadi Menteri
Pemukiman dan Prasarana Daerah dalam kabinet Gus Dur, belum pernah saya baca
mengumumkan pelepasan jabatannya sebagai wakil ketua Yayasan Balai, yang
dikelolanya bersama Hasyim Djojohadikusumo ketika suaminya menjabat sebagai
Dubes RI di Moskow, untuk mempromosikan bisnis perusahaan Indonesia di negaranegara
Asia Tengah eks-Uni Soviet (Aditjondro 1998: 24; Gatra, 6 Mei 1995).

Para pimpinan DPR dan MPR yang begitu getol menyerang dugaan korupsi Presiden
Gus Dur, tahun lalu, juga tidak diwajibkan melaporkan saham yang mereka dan
keluarga dekat mereka miliki di sejumlah perusahaan yang dapat diuntungkan oleh
kebijakan atau keputusan yang akan mereka ambil.

Wakil Ketua MPR mewakili Utusan Daerah, Fuad Bawazier, setahu saya belum pernah
melepaskan jabatannya sebagai Presiden Komisaris PT Satelindo, suatu usaha kongsi
antara PT Indosat (BUMN), dengan perusahaan milik Bambang Trihatmodjo dan
perusahaan milik Tomy Winata serta Yayasan Kartika Eka Paksi.

Selain itu, bekas Dirjen Pajak yang meloloskan pembebasan bea masuk buat proyek
mobil nasional milik Tommy Suharto, kini berusaha di beberapa bidang lain, bersama
bekas eksekutif PT Astra International, Rini M.S. Suwandi. Rini Suwandi sendiri adalah
kakak kandung Ongkie P. Sumarno, seorang eksekutif PT Humpuss, konglomerat milik
Tommy Suharto. Perkongsian antara Fuad Bawazier dan Rini Suwandi itu meliputi
bisnis pialang saham serta perakitan motor. Perusahaan pialang saham mereka bernama
PT Widari Securities, yang praktis mengambilalih para klien PT Astra Securities, yang
sebelumnya juga dipimpin oleh Rini Suwandi (Kontan, 4 Okt. 1999 & 1 Nov. 1999).
Perusahaan perakitan motor Tiongkok mereka bernama PT Semesta Citra Motorindo,
yang merakit motor bermerek Kanzen, dengan investasi sebesar US$ 6 juta (Jakarta Post,
25 Nov. 2000; Tempo, 7 Jan. 2001: 138-140).

Kemudian, mengingat dekatnya hubungan antara Fuad Bawazier dan Rini Suwandi,
ada kemungkinan Fuad juga memiliki saham dalam perusahaan portal internet
detik.com, yang didirikan oleh Rini Suwandi bersama bekas kerabat kerjanya di PT
Astra International, Dorys S. Herlambang (Dow Jones Newswire, 29 Maret 2000).
Soalnya, Dorys juga menjabat sebagai presiden komisaris perusahaan pialang saham
mereka, PT Widari Securities.

Di luar bisnisnya dengan Rini Suwandi, Fuad juga masuk ke kelompok perusahaan
yang memasarkan produk-produk Kia Motors dari Korea Selatan di Indonesia.
Perusahaan kongsi itu, Kia Commercial Vehicle Industry, khusus memasarkan sedan
mewah dan kendaraan militer buatan Kia Motors (Kontan, 25 Sept. 2000; sumbersumber
anonim).

Dalam berbagai bidang usaha itu, keluarga Bawazier bergerak melalui PT Majapahit
milik seorang anak Fuad, dan melalui PT Barkun Citra Nusantara, yang berkantor di
gedung Mega Kuningan, Jakarta. Pertanyaannya sekarang: apakah semua saham serta
kedudukan komisaris di berbagai perusahaan itu, dilaporkan oleh Fuad Bawazier ke
KPKPN?

Banyak pejabat legislatif maupun eksekutif serta anggota keluarga batih mereka yang
ikut sebagai pemegang saham konglomerat-konglomerat di Indonesia, pada saat mereka
sedang menjabat. Misalnya, Ronny Narpatisuta Hendropriyono, anak Menteri
Transmigrasi A.M. Hendropriyono dalam kabinet B.J. Habibie, adalah komisaris dan
pemegang saham perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations di Kabupaten
Buol Toli-Toli, Sulawesi Tengah, anggota kelompok Berca (CIC 1997b: 224-225). Dengan
demikian, pernyataan Hendropriyono baru-baru ini, setelah menjabat sebagai Kepala
Badan Intelijen Negara (BIN) dalam kabinet Megawati Sukarnoputri, bahwa Al Qaeda
dan RMS terlibat dalam kerusuhan antar-agama di Poso (Detikcom, 12 Desember 2001),
tidak dapat dilepaskan dari kepentingan perkebunan kelapa sawit anaknya di Sulawesi
Tengah.

Hendropriyono sendiri bukannya tidak punya kepentingan bisnis yang bisa tumpang
tindih dengan kepentingan publiknya sebagai Ketua BIN. Dia juga pimpinan PT Kia
Mobil Indonesia (KMI), yang ikut bertarung melawan sejumlah pesaing untuk
mengambil alih aset-aset PT Timor Putra Nasional, perusahaan perakitan dan penjualan
mobil sedan Kia Motors milik Tommy Suharto. PT KMI memasok mobil-mobil produk
Kia Motors ke Indonesia, di luar yang tadinya dipasok oleh Tommy Suharto, dan sangat
berminat memperluas produk-produk Kia Motors yang diageninya. Pesaingpesaingnya,
a.l. adalah perusahaan-perusahaan milik Tomy Winata, Edwin Suryajaya,
dan Fuad Bawazier, seperti yang telah disinggung di atas (Media Indonesia, 14 Des.
2000; Dow Jones Newswire, 19 Des. 2000).

Beberapa anggota DPR-RI kut berkecimpung di bidang perkebunan bersama anak
Hendropriyono. Jakob Tobing, anggota DPR dari PDI-P, tercatat sebagai direktur dan
salah seorang pemegang saham perkebunan kelapa sawit PTLaguna Mandiri di
Kalimantan Selatan yang termasuk anggota kelompok Salim (CIC 1997b: 301-302).
Sedangkan Theo Sambuaga, rekannya yang tetap bertahan di Golkar, tercatat sebagai
direktur PT Mongondow Indah dengan HGU seluas 733 hektar di Kabupaten Bolaang
Mongondow, Sulawesi Utara, yang ditanami coklat dan kelapa (CIC 1997b: 345). Bisnis
Theo, tidak terbatas di situ. Dia juga tercatat sebagai komisaris PT Texmaco Jaya,
holding company Texmaco Group milik keluarga Sinivasan (CIC 1997a: 1329-1331).

Selain Fuad Bawazier, Jakob Tobing dan Theo Sambuaga, banyak lagi kroni Soeharto
serta pimpinan konglomerat yang mendapat kemudahan dari Soeharto, kini duduk di
DPR dan MPR. Mungkin yang termasuk top di antara mereka adalah Arifin Panigoro,
pimpinan Medco Group, yang ikut dimiliki oleh (alm) Eddy Kowara Adiwinata, besan
Soeharto (IEFR 1997: 34-35). Makanya, hanya melaporkan harta mereka yang bersifat
statis, dan bukan yang bersifat produktif, seperti penguasaan saham-saham tersebut,
memberikan gambaran yang keliru tentang kekayaan para pemangku jabatan publik di
Indonesia, sebagaimana yang dilaporkan oleh KPKPN.

Walaupun mungkin tidak sekaya Arifin Panigoro, Akbar Tanjung, ketua DPR-RI yang
sedang diusut keterlibatannya dalam skandal dana extra-budgetair Bulog sebesar Rp 90
milyar, juga punya kaitan dengan sejumlah perusahaan, yang pada gilirannya juga
tumpang tindih sahamnya dengan konglomerat terbesar di Indonesia, kelompok Salim.
Bersama saudara-saudara kandungnya, Muhammad Yanis, Alvin, Nahar, Nasrul dan
Munir, Akbar adalah pemilik perusahaan keluarga Tanjung, NV Marison atau PT
Marison Nusantara. Perusahaan keluarga Tanjung itu punya saham dalam pabrik susu
PT Indomilk dan perusahaan-perusahaan penyalur bahan kimia industri, PT Henkel
Indonesia (d/h PT Zeta Aneka Kimia) dan PT Cognis Indonesia (DIS 2000; CIC 1997,
Vol. I, pp. 542-544, Vol. II, pp. 1456-1457).

Kembali ke lembaga eksekutif, dalam kabinet Megawati sekarang ini, semakin banyak
menteri yang punya hubungan yang erat dengan dunia usaha, termasuk dunia usaha
yang pernah atau masih berhubungan erat dengan para tokoh kapitalis birokrat Orde
Baru. Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri, Dorodjatun Kuntjoro-
Yakti, tercatat sebagai komisaris PT Bank Mashill Utama milik keluarga Karta Wijaya
(IEFR 1997: 386-387). Saya belum pernah mendengar Dorodjatun meletakkan jabatan
komisarisnya itu.

Setelah kini duduk dalam kabinet Megawati, rentetan bisnis Rini MS Suwandi perlu
dibeberkan pula., agar publik dapat menyoroti kemungkinan konflik kepentingan dari
kebijaksanaan yang dia ambilnya sebagai Menteri Perindag. Ini mengingat selain kaitan
bisnisnya dengan wakil ketua MPR Fuad Bawazier, keputusan yang mungkin diambil
oleh Rini Suwansebagai Menteri juga dapat menguntungkan bisnis adik kandungnya,
Ongkie P. Sumarno, salah seorang kepercayaan Hutomo Mandala Putra (Tommy
Suharto). Perusahaan-perusahaan yang dipimpin oleh Ongkie a.l. PT Humpuss
Terminal Petikemas dan PT Sewangi Wisamarta Utama yang berkantor di Gedung
Kelompok Humpuss di Jalan Medan Merdeka Timur No. 17, Jakarta Pusat, serta PT
Baruna Adiprasetia yang berkantor di Wisma Kalimas, Jalan Letjen MT Haryono,
Jakarta Selatan (DIS 2000).

Seorang menteri lain dalam kabinet Megawati Sukarnoputri saat ini, yang memiliki
sejumlah perusahaan, yang ada keterkaitan bisnis dengan keluarga kapitalis birokrat
Orde Baru, adalah H.M. Yusuf Kalla. Setidaknya hingga bulan April 2001, dia tercatat
sebagai direktur PT Bumi Karsa yang berbasis di Jakarta dan Makassar, PT Bumi Sarana
Utama di Makassar yang bergerak dalam pemasokan aspal serta penambangan kerikil
untuk pembangunan jalan raya, serta PT Bukaka Lintastama di Makassar, yang bergerak
dalam pemasokan berbagai jenis kapal. Tidak cuma itu, Yusuf Kalla sampai Desember
lalu juga tercatat sebagai presiden komisaris PT Bukaka Teknik Utama, induk
perusahaan (holding company) kelompok Bukaka, di mana seorang adik kandung
Ginanjar Kartasasmita, Gunariyah Kartasasmita, juga duduk sebagai komisaris (DIS
2000).

Bukan hanya sejumlah menteri, sejumlah gubernur yang baru terpilih, juga berpotensi
menguntungkan bisnis keluarganya di wilayah kerjanya yang baru.. Kemala Motik,
isteri Abdul Gafur yang baru terpilih sebagai gubernur Maluku Utara, adalah direktur
PT Indonusa Esa Unggul, sebuah perusahaan pengembangyang berbasis di kampus
Universitas Indonusa Esa Tunggal dekat jalan toll Tomang, yang juga dipimpin oleh
Kemala Motik sendiri (DIS 2000).

Bisnis Abdul Gafur itu tidak ada artinya dibandingkan dengan kerajaan bisnis Fadel
Muhammad, yang baru saja terpilih menjadi gubernur propinsi Gorontalo. Di antara
perusahaan anggota kelompok Gema yang didirikannya, setelah memisahkan diri dari
kelompok Bukaka, adalah PT Lyondrell Indonesia, PT Gema Sembrown, PT Gema
Supra Abadi, PT Dasa Bawana Samudera, PT Anadrill Services Indonesia, dan PT
Dowell Anadrill Schlumberger, yang bidang usahanya berkisar dari pemasokan bahan
kimia industri s/d pengeboran minyak (DIS 2000).

Gubernur-gubernur di propinsi yang lama pun berpotensi mengalami konflik
kepentingan antara posisi publik dan posisi swastanya. Abdullah Puteh, gubernur
Nanggroe Aceh Darussalam, tercatat sebagai pemegang saham dan komisaris PT Woyla
Raya Abadi, yang memiliki HGU kelapa sawit seluas 6557 hektar di Darul Makmur,
Buitong di Aceh Timur (CIC 1997: 577-578).

Namun dibandingkan dengan semua pejabat eksekutif dan legislatif yang sipil atau
purnawirawan ABRI, yang paling berpotensi mengalami konflik kepentingan adalah
Menteri Pertahanan Keamanan serta para komandan TNI dan Polri, mengingat
dominannya bisnis yang bernaung di bawah yayasan, koperasi dan badan usaha lain
yang berkiblat ke ketiga Angkatan dan Polri (lihat Samego et al 1998 dan Iswandi 2000).
Di tingkat nasional, ada ratusan perusahaan yang bernaung di bawah Yayasan Markas
Besar ABRI, Yayasan Kartika Eka Paksi (di bawah TNI/AD), Yayasan Dharma Putera
Kostrad (di bawah KOSTRAD), Yayasan Korps Baret Merah (di bawah KOPASSUS),
Yayasan Satya Bhakti Pertiwi (di bawah Menhankam), Induk Koperasi Angkatan Darat
(Inkopad), Yayasan TNI-AU Adi Upaya, Yayasan Sosial Bhumiyamca (di bawah
TNI/AL), serta Yayasan Brata Bakti (di bawah Polri).

Kemudian, di level Kodam ada sejumlah yayasan, seperti Yayasan Bhirawa Anorama
Dam V (di bawah Kodam Brawijaya, Jawa Timur), serta Pusat Koperasi Angkatan Darat
(Puskopad) di bawah setiap Kodam dan Primer Koperasi Angkatan Darat (Primkopad)
di bawah setiap Korem Koperasi-koperasi militer di tingkat Korem itu kadang-kadang
cukup kaya, misalnya, Primkopad Korem 143 KP{N Karya di Gresik, yang ikut
mendapat saham dalam kilang kayu lapis kelompok Djajanti di sana (IBRA, nd) .

Angkatan Laut, selain memiliki perusahaan-perusahaan di bawah Yayasan Sosial
Bhumiyamca, juga memiliki Pusat Koperasi Maritim TNI-AL , Puskopal Armada Barat
yang berbasis di Jakarta dan Puskopal Armada Timur yang berbasis di Surabaya.
Dengan demikian, seorang Menhankam seperti Matori Abdul Djalil, atau seorang
Panglima TNI, seperti Laksamana Widodo, secara ex officio punya kewajiban menjaga
kelestarian ratusan perusahaan yang di atas kertas, ikut menghidupi ribuan orang
personil TNI dan Polri, yang belum tentu selalu sejalan dengan misi yang diemban oleh
para menteri lainnya dalam kabinet.

Posisi kedua pejabat teras kabinet ini bisa juga bertabrakan dengan amanat gerakan prodemokrasi
untuk mengakhiri korupsi dan pelanggaran HAM yang merupakan warisan
Orde Baru, karena tiga hal. Pertama, apabila benar taksiran International Crisis Group
(ICG) yang berbasis di Brussels, bahwa 75% anggaran belanja militer ditutup oleh hasil
bisnis militer itu, dapat dibayangkan kuatnya inertia perusahaan-perusahaan militer
itu untuk membuka diri untuk mempertanggungjawabkan keluar-masuk dananya
kepada publik, sebagaimana dirasakan oleh Yuwono Sudarsono, ketika menjabat
sebagai Menteri Hankam. Perlawanan ini juga dirasakan oleh Jenderal Agus
Wirahadikusumah, yang segera digeser dari jabatannya sebagai Panglima Kostrad,
setelah mempersoalkan menguapnya Rp 189 milyar dana Yayasan Dharma Putera
Kostrad (Aditjondro 2001a).

Kedua, tujuan gerakan pro-demokrasi di Indonesia untuk menyeret Soeharto ke
pengadilan, dengan tuduhan memperkaya keluarga dan kroninya sambil menyeret
Indonesia ke jurang kebangkrutan, juga bisa menghadapi jalan buntu, saking banyaknya
keterlibatan yayasan, koperasi, dan badan usaha milik militer aktif maupun
purnawirawan yang ikut menjadi pemegang saham perusahaan-perusahaan keluarga
Suharto (lihat Aditjondro 1998: 32-36).

Ketiga, adanya hubungan yang organik antara bisnis militer dengan kelompokkelompok
paramiliter dan gerilyawan pro-kemerdekaan di berbagai penjuru Nusantara,
ikut menghambat proses keterbukaan bisnis militer sebagai prasyarat untuk
menanamkan budaya penyelesaian konflik lewat kotak suara, bukan lewat kontak
peluru. Yang sudah banyak disorot oleh media adalah penjualan senjata dan amunisi
buatan PT Pindad pada gerilyawan GAM di Aceh (Forum Keadilan, 12 Maret 2000: 82-
83), serta hubungan mesra antara Pemuda Pancasila dan Artha Graha, kelompok usaha
pimpinan Tomy Winata yang ikut dimiliki oleh Yayasan Kartika Eka Paksi (lihat Tempo,
31 Mei-6 Juni 1999: 39-51).

Tapi apa yang telah disorot oleh media massa di Indonesia itupun barangkali hanyalah
pucuk dari gunung es bisnis militer, serta peranannya dalam membiayai kelompokkelompok
pengobar api yang berfungsi mengabadikan peranan militer sebagai
pemadam api kerusuhan di Indonesia. Yang jelas, seorang bekas ketua salah satu
organisasi paramiliter terkemuka di Indonesia, tercatat sebagai direktur satu perusahaan
swasta, yang selain melayani sebagian kebutuhan senjata polisi dan militer, juga
mendapat keuntungan dari pengadaan logistik TNI dan polri, mulai dari penyediaan
ransum sembako, s/d pengadaan semen untuk rehabilitasi asrama tentara dan polisi di
seluruh Indonesia.

TEKNIK-TEKNIK INVESTIGASI KORUPSI:
Setelah membeberkan berbagai contoh korupsi yang lebih bersifat struktural, lalu apa
yang dapat kita lakukan untuk mengungkapkannya? Dengan kata lain, bagaimana
teknik atau metodologi untuk membongkar bangunan korupsi yang lebih holistik ini,
ketimbang sekedar mencari siapa menyogok siapa, pada hari apa, di mana, dan berapa
jumlah dollar atau rupiah yang terlibat. Ada beberapa langkah yang dapat diambil,
yakni:
(a). menggali selengkap mungkin silsilah keluarga para pemangku jabatan publik, serta
sahabat-sahabat lama semenjak masa muda mereka;
(b). menggali sebanyak mungkin nama perusahaan dan yayasan yang berkaitan dengan
pejabat-pejabat publik melalui iklan duka/sukacita yang dipasang di berbagai media
cetak;
(c). memanfaatkan buku telepon dari berbagai kota di dalam dan di luar negeri untuk
mengidentifikasi jaringan perusahaan dan konglomerat yang sedang diteliti;
(d). mengidentifikasi para ‘broker’, ‘proxy’ dan ‘kasir’ yang digunakan oleh para
kapitalis birokrat itu untuk mengakumulasi kapital serta mengelola bisnis mereka,
sambil melindungi para kapitalis birokrat dari sorotan publik dan hukum;
(e). mengusahakan dan mempelajari akte notaris dan tambahan berita negara (TBN) dari
berbagai yayasan dan perusahaan yang diasosiasikan dengan sang pejabat, untuk dapat
memetakan cabang-cabang gurita atau oligarkinya;
(f). ‘menyuntikkan’ nama-nama anggota keluarga besar para kapitalis birokrat serta
nama para broker, proxy dan kasir mereka, berikut nama perusahaan, yayasan serta
lembaga-lembaga penelitian dan think tanks yang berkaitan dengan mereka, ke data
base perusahaan-perusahaan konsultan bisnis, seperti PT Capricorn Indonesia Consult,
Inc, PT Sentra Data Indonesia (d/h Pusat Data Business Indonesia, PDBI), serta PT
Dataindo Inti Swakarsa, baik yang berupa direktori-direktori bisnis, maupun CD-ROM
serta data base elektronik lainnya;
(g). dengan menggunakan hasil (a) s/d (f) sebagai base line , memperluas penyelidikan
ke mancanegara terhadap aset para pemangku jabatan publik berikut keluarga dan
sahabat mereka;
(h). memanfaatkan whistleblowers dengan berbagai jalan, a.l. dengan mempublikasi
hasil-hasil awal investigasi ini, sehingga ‘orang dalam’ yang lebih tahu jaringan
korupsinya ‘terpancing’ untuk menulis surat pembaca, atau mencari wartawan atau
penulis artikel hasil studi awal itu guna memberikan informasi pelengkap atau koreksi
mereka.
(ad a). Menggali silsilah:
Silsilah keluarga para pemangku jabatan publik, seringkali tidak terlalu sulit diperoleh,
apabila tokoh yang mau diteliti jaringan bisnisnya sudah menulis memoir mereka,
seperti Habibie, AA Baramuli, dan Nurdin Halid, menyewa orang lain untuk menulis
memoir mereka, seperti Soeharto, Suhartinah Suharto, dan Sudwikatmono, atau sangat
murah untuk memberikan wawancara eksklusif di antara keluarga mereka. Memoirmemoir
mereka yang pernah jadi korban politik Soeharto, seperti M. Yasin, Hugeng,
dan Ali Sadikin

Kadang-kadang, ada kesulitan untuk membongkar, siapa-siapa saja yang mereka
gunakan untuk mengatasnamakan aset mereka, buat tokoh-tokoh etnis Jawa yang tidak
memiliki nama keluarga, seperti Harmoko. Dalam hal ini, perlu bantuan ‘orang dalam’
untuk membeberkan nama-nama adik, ipar, suami atau isteri dari adik dan ipar, untuk
mengetahui luasnya jaringan bisnis mereka.

Sebaliknya, ada juga tokoh dari luar Jawa, yang sengaja tidak menggunakan nama
lengkapnya, di mana termasuk nama keluarga atau marganya, untuk mempersulit
investigasi oleh para wartawan dan aktivis anti-korupsi. Contohnya adalah Akbar
Tanjung, yang nama lengkapnya, Djandji Akbar Zahirudin Tanjung, baru tersiar luas
setelah ia ‘terpilih’ menjadi Ketua Umum Golkar, dalam masa kepresidenan B.J.
Habibie. Penelitian ke base line data PT Capricorn Indonesia, Inc. telah menunjukkan
sejumlah tokoh bisnis yang namanya berakhir dengan ‘Zahiruddin’, yang ternyata
saudara kandung sang Ketua DPR. Akbar Tanjung sendiri, dapat ditemukan namanya
sebagai komisaris PT Indomilk dan PT Zeta Aneka Kimia, di bawah nama “Akbar
Zahiruddin.” Berarti, tokoh ini punya ‘nama politik’, yakni Akbar Tanjung, serta ‘nama
bisnis’, yakni “Akbar Zahiruddin”.

Di kedua perusahaan itu, dapat juga ditemukan nama saudara-saudara kandung Akbar
yang ikut memiliki saham PT Marison Nusantara. Selain itu, di kedua perusahaan itu
dapat ditemukan nama-nama para pemilik kelompok Salim dan Sinar Mas, yang ikut
memiliki perusahaan susu dan perusahaan pemasaran bahan-bahan kimia itu. Nah,
kalau semua saham Akbar kakak-beradik ikut disensus oleh KPKPN, betulkah bahwa
sang ketua DPR lebih miskin dari Presiden dan Wakil Presiden RI? Yang jelas, saya
belum pernah mendengar bahwa setelah Akbar diangkat menjadi menteri oleh Soeharto
maupun Habibie, lalu ‘terpilih’ sebagai ketua DPR-RI, dia pernah melepaskan jabatan
maupun sahamnya dalam PT Marison Nusantara serta anak-anak perusahaannya.

(ad b). Memanfaatkan iklan:
Iklan duka- dan sukacita, merupakan tambang emas untuk tahap awal investigasi
korupsi yang masih menunggu dibuka. Kadang-kadang, iklan-iklan itu harus dipelajari
bersamaan dengan berita yang berkaitan dengan iklan itu. Misalnya, berita peresmian
markas Kodam Udayana yang baru di Denpasar oleh KASAD Jenderal TNI Wismoyo
Arismunandar, awal Januari 1995 perlu dilihat bersamaan dengan iklan ucapan selamat
kepada instansi itu oleh PT Dewata Indah (Bali Post, 5 Jan. 1995). Mengapa? Sebab
ucapan selamat biasanya datang dari perusahaan yang mendapat keuntungan atau
proyek dari instansi itu.
Iklan-iklan dukacita, selain membantu membeberkan anggota keluarga besar seorang
pemangku jabatan publik, biasanya juga membeberkan nama-nama perusahaan dan
yayasan yang ada hubungan dengan pejabat itu. Lihat saja iklan-iklan dukacita kedua
mertua Siti Hardiyanti Rukmana. Atau belakangan ini, iklan dukacita atas kematian
Ibnu Sutowo.

(ad c). Memanfaatkan buku telepon:
Ketika saya mulai meneliti jaringan perusahaan di Timor Lorosa’e yang bernaung di
bawah PT Batara Indra dan didukung oleh Jenderal (Purn.) Benny Murdani, saya mulai
menggunakan buku telepon dari berbagai kota antara Dili dan Jakarta, dan menemukan
anak-anak perusahaan kelompok Batara Indra itu di Kupang, Mataram, Denpasar, dan
Jakarta. Kemudian, ketika saya menemukan buku telepon Kotamadya Batam, dalam
penelitian saya terhadap perusahaan-perusahaan keluarga BJ Habibie di sana, saya
menemukan anak perusahaan Batara Indra Group di Batam juga.

(ad d). Mengidentifikasi para broker, proxy dan ‘kasir’:
Istilah ‘broker’ -- kadang-kadang secara salah kaprah disebut juga ‘debt collector” –
mulai populer di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketika seorang
adik Gus Dur, Hasyim Wahid (Gus Im) serta suami Megawati Sukarnoputri , Taufiq
Kiemas dan beberapa orang adiknya mulai sering diidentifikasi sebagai orang-orang
yang berusaha melakukan lobbying ke kalangan pejabat, khususnya ke presiden, wakil
presiden, dan pimpinan BPPN, untuk mendapatkan keringanan pembayaran hutang
konglomerat-konglomerat yang asetnya disita oleh BPPN(Aditjondro 2001a).

Dalam menyoroti peranan Taufiq Kiemas dan dua orang adiknya, Nazaruddin dan
Santayana, beberapa media – misalnya tabloid Adil, majalah Tajuk, dan majalah Panji
Masyarakat -- keliru menyangka mereka telah diangkat menjadi komisaris dari
beberapa konglomerat yang mendapat keringanan pembayaran hutang mereka. Namun
penelitian lebih mendalam menunjukkan bahwa tidak demikian halnya. Balas jasa buat
negosiasi peringanan pembayaran hutang, atau lebih tepat, penundaan pembayaran
hutang, lebih sering dilakukan dalam bentuk in natura, misalnya, membiayai perjalanan
keluarga Kiemas ke luar negeri.

Istilah ‘kasir’ juga mulai populer di masa pemerintahan Gus Dur, dengan menonjolnya
peranan Haji Masduh sebagai pengelola keuangan sang presiden, yang seolah-olah
tidak mengenal batas antara dana publik yang diterima Gus Dur dalam posisinya
sebagai Presiden Republik Indonesia, dan dana yang diterimanya dalam posisi sebagai
patron PKB dan Nahdlatul Ulama.

Istilah ‘proxy’ atau ‘orang kepercayaan’, mulai populer di masa pemerintahan Megawati
Sukarnoputri, dengan munculnya segelintir orang yang dipercayai mengelola bisnis
keluarga Megawati dan suaminya, Taufiq Kiemas, khususnya dalam pengelolaan
pompa-pompa bensin Megawati dan adik-adiknya, Taufiq dan adik-adiknya, serta
anak-anak dan cucu Megawati dan Taufiq (lihat Tabloid Adil, 10 Sept. 2001).

Sesungguhnya, penggunaan proxy untuk pengembangan jaringan bisnis bukanlah ‘hak
paten’ Taufiq Kiemas, sebab keluarga Soeharto sudah jauh lebih canggih dalam
penggunaan teknik pengelabuan mata publik itu. Sejak tanggal 7 April 1968, Soeharto
telah menandatangani surat kuasa kepada Jantje Lim Poo Hien (Yani Haryanto),
tetangganya di Jalan Cendana No. 15, Jakarta Pusat, untuk mewakili Soeharto dalam
segala urusan bisnisnya. Jejak itu 24 tahun kemudian ditiru oleh Bambang Trihatmodjo
dan isterinya, ketika mereka berdua menandatangai surat mandat kepada Han
Moeljadi, seorang pengusaha properti asal Indonesia di Los Angeles, untuk mewakili
mereka dalam berbagai urusan bisnis properti mereka di LA (Aditjondro 2002).

Tommy Suharto pun punya proxy orang Indonesia maupun orang Singapura. Untuk
pemilikan lapangan golfnya di Ascot, London, Tommy menggunakan nama dua orang
kepercayaannya di PT Timor Putra Nasional, yakni Sudjaswin E. Lubis dan Sam
Abdurrahman Mulahela. Sedangkan untuk membaliknamakan kawasan wisata burunya
di Pulau Selatan, Aotearoa (Selandia Baru), Tommy menjual properti berharga 10 juta
dollar NZ itu kepada Alan Poh, seorang pialang saham di Singapura, seharga satu
dollar NZ saja. Padahal, Alan Poh itu sendiri tadinya adalah co-shareholder kawasan
wisata buru Lilybank Lodge seluas 2400 hektar itu (Aditjondro 2002).

(ad e). Memanfaatkan Akte Notaris dan Tambahan Berita Negara:
Berbekal pengetahuan tentang susunan dan anggota keluarga besar, perusahaan dan
yayasan yang berkaitan dengan para pejabat publik itu, investigasi lebih lanjut perlu
dilakukan dengan memperoleh dan mempelajari akte notaris dan tambahan berita
negara dari perusahaan-perusahaan dan yayasan-yayasan itu. Kegunaan TBN-TBN ini
telah saya temukan, ketika berusaha mempelajari ‘pertumbuhan’ badan-badan usaha
yang didirikan oleh Mohammad (Bob) Hasan di mancanegara, yang dulunya dianggap
merupakan perusahaan-perusahaan publik milik para anggota APKINDO dan
ASMINDO.

(ad f). Memanfaatkan data base konsultan-konsultan bisnis:
Apabila daftar nama keluarga besar, perusahaan dan yayasan para pejabat disuntikkan
ke dalam data base perusahaan-perusahaan konsultan bisnis seperti PT CISI Raya
Utama, PT Sentra Data Indonesia, dan PT Dataindo Inti Swakarsa, maka hal itu
mempermudah usaha melacak sebagian besar modal operasional para pejabat tersebut.
Penggalian silsilah para pejabat itu juga dilakukan oleh konsultan-konsultan bisnis itu.
Sebab pengetahuan tentang cakupan modal operasional para pejabat itu, merupakan
pedang bermata dua yang sangat laku dijual. Perusahaan-perusahaan besar berani
membelinya dengan harga mahal, sebab ketika para pejabat itu masih berkuasa, maka
berkongsi dengan keluarga mereka merupakan suatu langkah bisnis yang sangat
menguntungkan, demi menembus birokrasi Indonesia yang bekerja sangat lamban.
Sementara di masa reformasi seperti sekarang ini, pengetahuan itu juga berguna, demi
mencegah terperangkap dalam jebakan bisnis politik yang dapat merugikan
perusahaan.

(ad g). Globalisasi investigasi capital flow hasil konglomerasi dan korupsi di dalam
negeri:
Suharto, keluarga dan konco-konconya, tentu saja tidak membiarkan harta jarahan
mereka tinggal di dalam negeri. Demi keamanan maupun demi terus melipatgandakan
harta jarahan itu, selama dua dasawarsa terakhir mereka sangat rajin meng-global-kan
atau meng-luarnegeri-kan harta jarahan mereka, dalam tiga bentuk, yakni (1) properti,
(2) saham di perusahaan-perusahaan yang ‘legitimate’, dan (3) rekening-rekening di
bank-bank yang ‘normal’ maupun di sorga-sorga bebas pajak (tax havens ) yang
sekaligus merupakan tempat pencucian uang haram (money laundering ).
Antara (1) dan (2) biasanya ada keterkaitan, atau kesamaan atau kedekatan tempat,
sebab sambil berlibur ke luar negeri, mereka sekaligus mengawasi orang-orang – baik
dari instansi-instansi ‘terhormat’ maupun orang kepercayaan khusus yang mendapat
surat kuasa (power of attorney ) langsung dari Soeharto atau anaknya – yang
ditugaskan melipatgandakan harta jarahan mereka. Sedangkan bentuk harta jarahan
yang ketiga yang berada di luar negeri, ada yang sekedar merupakan rekening bank
untuk operasi normal dari perusahaan-perusahaan mereka yang ‘normal’ pula, dalam
arti, beroperasi secara terbuka dan dengan demikian, terdaftar di bursa saham dan
tempat pendaftaran perusahaan (company registry offices ) yang normal pula. Tapi ada
juga – dan ini yang paling sukar diketahui, karena seringkali terlindung oleh rahasia
bank yang sangat ketat – rekening-rekening mereka di pusat-pusat pencucian uang
yang merupakan ‘sorga bebas pajak’ tersebut.

Melacak kekayaan rakyat Indonesia yang telah dijarah oleh para pendukung rezim Orde
Baru di mancanegara ini, memerlukan jaringan investigasi korupsi yang mancanegara
pula. Semenjak saya hijrah ke Australia di bulan Februari 1995, inilah yang telah saya
bangun dengan susah payah, sehingga dapat memetakan penyebaran properti,
perusahaan dan rekening bank keluarga dan kroni Suharto di belasan negara di dunia.
Jaringan yang pada umumnya bersifat sangat ad hoc alias semi-permanen itu, terdiri
dari wartawan, aktivis ornop kelas menengah, peneliti serikat buruh, peneliti
profesional yang telah menyumbangkan sebagian waktu, tenaga dan harta mereka
untuk melakukan riset bagi saya secara cuma-cuma, serta sejumlah mahasiswa
Indonesia di luar negeri, yang telah membantu memberikan petunjuk, misalnya, alamat
rumah keluarga Soeharto di mana anggota keluarga itu sering berpesta atau menjamu
tamu mereka.

Melacak properti mereka tidaklah terlalu susah di negara-negara kapitalis maju, di
mana kantor-kantor pencatatan tanah dan bangunan dapat memberikan informasi
pemilikan tanah dan bangunan, berdasarkan entry alamat atau nama pemilik. Begitu
pengalaman saya dan sejumlah kawan peneliti saya di AS, Inggris, Aotearoa (Selandia
Baru), juga Singapura dan Hong Kong.

Dalam melacak properti keluarga Soeharto di London, Inggris, tampak pergeseran pola
pencatatan pemilikan berbagai properti itu selama tiga dasawarsa terakhir. Dalam
dasawarsa 1970-an, masih bisa ditemukan rumah-rumah Probosutedjo dan Sigit
Harjojudanto atas nama mereka sendiri. Dalam dasawarsa 1980-an, rumah Ilsye
Harjojudanto (isteri Sigit) didaftarkan atas nama pengacara mereka.

Kemudian, dalam dasawarsa 1990, lapangan golf di dekat lapangan pacuan kuda
Ascott, identitas pembelinya, Tommy Suharto, terlindung di balik nama dua orang
pimpinan kelompok Timor kepercayaannya, serta empat lapis perusahaan. Lapis
pertama adalah di V’Power di Kepulauan Bahama dan Avant Ilotolo Inter Ltd di Hong
Kong. Lapis kedua adalah Onslow Developments Ltd di Gibraltar, yang sahamnya
dimiliki oleh kedua perusahaan tersebut. Lapis ketiga adalah Lazian Ltd di London,
yang sahamnya seluruhnya dimiliki oleh Onslow Developments Ltd. Akhirnya, lapis
keempat adalah Mill Ride Golf Club yang sahamnya 100% milik Lazian Ltd. Di profil
perusahaan pengelola lapangan golf itu sendiri, Mill Ride Golf Club, sama sekali tidak
tampak identitas Tommy atau orang Indonesia lain, seolah-olah itu ‘murni’ satu
perusahaan milik orang-orang Inggris yang banyak duit dan senang main golf.

Kedua orang Indonesia yang namanya tercantum di rentetan perusahaan pemilik
lapangan golf Ascot itu, adalah Sudjaswin E. Lubis dan Sam Abdurrahman Mulahela.
Mereka tercantum sebagai pemegang saham V’Power, yang digunakan oleh Tommy
Suharto untuk membeli pabrik mobil mewah Lamborghini bersama-sama Setiawan
Djody. Mereka sehari-hari duduk dalam dewan direksi PT Timor Putra Nasional (TPN),
yang sedang jadi rebutan antara berbagai perusahaan milik kapitalis birokrat dan
kapitalis militer.

Jadi, seperti yang sudah saya kemukakan terdahulu, menemukan nama-nama proxy
yang digunakan oleh para koruptor dan kapitalis birokrat untuk menyembunyikan
identitasnya, penting untuk dilakukan, untuk membantu menemukan jaringan
perusahaan yang dibangun dengan uang panas yang biasanya berasal dari pelanggaran
hukum dan penyalahgunaan kekuasaan.

Taktik menyembunyikan identitas pemilik sesungguhnya, dengan menggunakan
beberapa lapis perusahaan, bukanlah barang baru di kalangan koruptor kaliber dunia,
Imelda Marcos dan para kerabatnya melakukan hal yang sama di AS (lihat Manapat
1991: 482-517). Tapi yang agak ‘baru’ dalam kasus Tommy ini, dan juga dalam seperti
yang dijalankan oleh Bob Hasan, jaringan perusahaan yang berlapis-lapis ini meliputi
seluruh jagat raya. Keluarga Marcos dulu tampaknya belum secanggih itu.

Setelah membandingkan TBN perusahaan-perusahaan Bob Hasan di dalam negeri
dengan profil perusahaan-perusahaannya di Hong Kong, tampaklah proses ekspansi
bisnis Bob Hasan sebagai berikut. Mula-mula, Bob Hasan – kemungkinan besar atas
perintah Soeharto sendiri – mendirikan PT Nusa Ampera Bhakti (Nusamba), di mana
80& sahamnya dimiliki oleh tiga yayasan yang diketuai oleh Soeharto, sementara 20%
saham sisanya dibagi rata di antara Bob Hasan dan Sigit Harjojudanto.

Selanjutnya, PT Nusamba mendirikan PT Fendi Indah, di mana sepertiga sahamnya
milik PT Nusamba, sepertiga milik Bob Hasan secara pribadi, dan sepertiga lagi milik
seseorang bernama Achmad Bakrie, yang belum berhasil saya identifikasi. Pengecekan
alamat orang itu yang tercantum di TBN PT Fendi Indah dengan nama-nama di buku
telepon kota Jakarta, khususnya pada tahun pendirian PT Fendi Indah, mudahmudahan
dapat mengungkapkan rahasia identitas orang itu.

Kemudian, dalam tahap ketiga, PT Fendi Indah mendirikan berbagai anak perusahaan
di Singapura, Hong Kong, Seoul, Osaka, dan di beberapa kota di AS, yang belum
berhasil saya peroleh profil perusahaannya. Tapi dari profil salah satu perusahaan yang
diasosiasikan dengan Bob Hasan di Hong Kong, jelaslah bahwa asosiasi pengusaha
kayu lapis (APKINDO) maupun asosiasi pengusaha perabot rotan (ASMINDO) sama
sekali tidak punya saham dalam perusahaan itu. Jadi dengan demikian, secara yuridis
formal sama sekali tidak ada kewajiban perusahaan-perusahaan yang tadinya dikelola
Bob Hasan di luar negeri itu untuk membayar dividen kepada APKINDO dan
ASMINDO. Yang wajib adalah, secara tidak langsung, membayar dividen kepada ketiga
pemegang saham PT Fendi Indah, yakni PT Nusamba, Bob Hasan, dan Achmad Bakrie.
Melacak para pemilik perusahaan di mana diduga ada saham keluarga dan kroni
Suharto, sama juga untuk negara-negara tersebut tadi dan juga untuk Filipina. Hanya
saja, di negara tetangga yang tersebut belakangan itu, ada hambatan birokrasi dalam
bentuk pembatasan jumlah perusahaan yang boleh disimak dan difotokopi dalam sekali
kunjungan. Hambatan tersebut, dapat diatasi dengan datang dalam kelompok, juga
dengan mentraktir birokrat setempat untuk makan dan minum, pada jam-jam merienda
, suatu warisan Spanyol yang diadoptasi dan diadapsikan ke iklim tropis di kantorkantor
pemerintah yang tak berpengatur suhu udara , di tengah-tengah kota Manila
yang nauzubillah panas dan kotor udaranya.

Melacak bentuk harta jarahan yang ketiga ini, paling susah, kecuali, menurut
pengalaman saya, di Negeri Belanda. Segelintir bank Belanda – termasuk anak
perusahaan Bank Indonesia, yakni Indover Bank di Amsterdam, dengan cabang di
Hong Kong – dapat diidentifikasi kaitannya dengan lusinan anak perusahaan milik
keluarga dan kroni Soeharto, sekedar dengan mendatangi kantor pusat dan kantorkantor
cabang Kamar Dagang dan Industri Belanda, di mana orang tidak dibatasi
jumlah perusahaan yang ingin dipelajari dan dipesan fotokopi profil perusahaan dan
laporan tahunannya, dengan membayar fee sesuai dengan ketentuan.

Sejumlah bank di Asia Tenggara dan Asia Timur juga dapat diidentifikasi sebagai
tempat bertenggernya rekening-rekening perusahaan milik keluarga dan kroni
Soeharto, dari laporan tahunan ke kantor pencatatan perusahaan (company registry
offices ) di Singapura dan Hong Kong. Misalnya, bank Jepang yang mengelola rekening
perusahaan pengekspor kayu lapis yang dikelola oleh orang kepercayaan Bob Hasan.

Yang paling sulit dilacak oleh investigator amatir yang tidak memiliki jaringan
perusahaan mancanegara dengan dana jutaan dollar seperti Kroll & Associates, adalah
rekening bank para koruptor di cabang-cabang bank di sorga-sorga bebas pajak. Kendati
demikian, dari data yang sudah saya peroleh, tampaklah bahwa para anggota keluarga
dan kroni Soeharto telah memanfaatkan sorga-sorga bebas pajak di seluruh dunia,
mulai dari yang berada di Laut Karibia, di selat antara Pulau Britania dan Daratan
Eropa, di Gibraltar, di Liberia, dan di Samudera Pasifik. Mereka betul-betul menerapkan
pemeo Inggris: don’t put your eggs in one basket , atau, jangan taruh telur-telurmu
dalam satu keranjang.

(ad h). Memancing informan lewat publikasi informasi awal:
Kadang-kadang, hasil investigasi korupsi belum dapat memberikan gambaran yang
bulat, karena masih banyak lubang yang belum terisi dan tekateki yang belum terjawab.
Tapi pengalaman saya menunjukkan bahwa publikasi informasi awal ini, yang
seringkali dicegah untuk tidak ‘membangunkan macan tidur’, ada juga manfaatnya.
Yakni, memancing munculnya informan atau whistleblowers , yakni ‘orang dalam’
lingkaran keluarga besar atau ‘orang dalam’ lingkungan perusahaan sang kapitalis
birokrat yang ‘terpancing’ untuk menulis surat pembaca, atau mencari penulis artikel
hasil studi awal ituuntuk melengkapi atau mengoreksi informasi awal itu. Jaringan
email yang relatif dapat memelihara kerahasiaan sumber, mengatasi jarak geografis
antara peneliti dan sumber, serta relatif murah, sangat membantu investigasi korupsi
sistemik ini.

PENUTUP
Begitulah sepintas lalu, sharing saya sebagai sesama montir, yang juga berusaha
mengetahui seluk-beluk mobil, supaya selain memperbaiki kerusakan mesin di sana
sini, satu ketika bisa membantu mendesign mobil sendiri. Dalam analogi montir dan
investigator korupsi yang saya singgung di depan, maksud saya adalah bahwa para
investigator korupsi ini, di samping mengekspos kasus demi kasus yang telah mereka
bongkar, juga dapat ikut merancang sistem politik dan ekonomi Indonesia, yang lebih
‘kedap korupsi’.

Usaha-usaha ke arah itu sudah mulai dilakukan oleh kawan-kawan di PSHK, ICW dan
MTI. Hanya saja, menurut hemat saya, pendekatan selama ini masih sangat bersifat
legalistik, dengan membantu proses perancangan berbagai undang-undang pencegahan
korupsi. Misalnya, RUU Perlindungan Saksi (whistleblower protection act ) yang sedang
diperjuangkan oleh gerakan anti-korupsi di Indonesia.

Selain pendekatan yang legalistik itu, pengembangan dan penguatan gerakan anti
korupsi yang beranggotakan mereka yang duduk dalam pemerintahan maupun warga
masyarakat madani sangat perlu, agar berbagai undang-undang itu tidak hanya bagus
di atas kertas, melainkan juga dalam kenyataan. Jangan sampai nasibnya seperti UU No.
2 dan No. 3/1999, yang setelah hiruk pikuk Pemilu dan Sidang Umum MPR berlalu,
langsung dicampakkan ke keranjang sampah.

Sosialisasi pranata-pranata yang mutlak perlu untuk membangun pemerintah bersih,
khususnya untuk membedah kembar siam penguasa politik dan ekonomi ini, juga perlu
kita lakukan, supaya rakyat tidak semata-mata terpolarisasi antara sikap ‘pro’ dan
‘kontra’ oknum’ penguasa tertentu, melainkan ikut membangun sistem politik di mana
ada check and balances untuk meminimalisasi korupsi.
Newcastle, Februari 2002

Bibliografi:
Kerangka teoretis:
(1). Alatas, Syed Hussein (1999). ‘The sociology of corruption.’ Dalam Alatas, Corruption
and the destiny of Asia. Kuala Lumpur: Prentice Hall (M) Sdn. Bhd. dan Simon &
Schuster (Asia) Pte. Ltd., hal. 1-48.
(2). Chambliss, William J. (1973). ‘Vice, corruption, bureaucracy and power.’ Dalam
Chambliss (peny.) Sociological readings in the conflict perspective. Reading: Addison-
Wesley, hal. 353-379.
(3). Djilas, Milovan (1966). The new class: An analysis of the communist system. London:
Unwin Books.
(4). Heywood, Paul (peny.) (1997). Political corruption. Oxford: Blackwell.
Kepustakaan tentang korupsi dan konglomerasi di Indonesia:
Aditjondro, George J. (1998). Dari Soeharto ke Habibie: Guru kencing berdiri, murid
kencing berlari: Kedua puncak korupsi, kolusi dan nepotisme rezim Orde Baru. Jakarta:
MIK & Yayasan Pijar.
-------------- (2000a). ‘Kekuatan-kekuatan raksasa di balik rencana pembangunan PLTA
Lore Lindu.’ Kata Pengantar dalam Arianto Sangaji, PLT Lore Lindu: Orang Lindu
menolak pindah. Palu & Yogyakarta: Yayasan Tanah Merdeka, WALHI Sulawesi
Tengah, dan Pustaka Pelajar, hal. xi-xxxvii.
-------------- (2000b). ‘Holland Randstad: Suharto’s lucrative capital market.” Indonesia
Feiten en Meningen, 20 (6), November, pp. 18-21.
---------------(2001a). ‘Focusing on Bulog, Brunei scams,’ Jakarta Post, 9-10 Januari.
---------------(2001b). ‘Dissolve the current legislature,’ Jakarta Post, 16-17 Maret.
---------------(2002). ‘Suharto is gone, but the regime is still in tact: Presidential graft in the
New Order.’ Dalam Richard Holloway (ed). Stealing from the people. Jakarta: The
Partnership for Governance Reform.
CIC [PT Capricorn Indonesia Consult, Inc.] (1996). Indonesian financial institution
directory 1995-1996. Jakarta: PT Capricorn Indonesia Consult, Inc.
----- (1997a). Profiles of 800 major non-financial companies in Indonesia, 1997/98. Vol. I
& II, Jakarta: PT CISI Raya Utama, anggota CIC Consulting Group.
------ (1997b). Profile and directory of Indonesian plantation 1997/1998. Jakarta: PT
Capricorn Indonesia, Inc.
DIS [PT Dataindo Inti Swadaya] (2001-2002). Business Intelligence Database Indonesia.
Interactive CD-ROM. Jakarta: PT Database Inti Swakarsa.
Husni, Mucharam & Rasidi (1999). Laporan hasil audit atas pertanggungjawaban dana
kampanye Pemilihan Umum Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan periode 5 Maret
1999 sampai dengan 18 Mei 1999. Jakarta: Kantor Akuntan Publik Husni, Mucharam &
Rasidi.
IBRA [Indonesian Banking Restructuring Agency] (n.d.). Press Release Djajanti Group.
Jakarta: BPPN.
ICG [International Crisis Group] (2000). Indonesia: Keeping the military under control.
ICG Asia Report No. 9Jakarta/Brussels: ICG.
IEFR [Institute for Economic and Financial Research] (1997). Indonesian capital market
directory 1997. Jakarta: IEFR.
IFES [International Foundation for Election Systems] (1999). “Money Politics”:
Regulation of political finance in Indonesia: Analysis and recommendations.
Washington, DC: IFES.
------- (2000). Electoral reform in Indonesia: Political finance update. Washington DC:
IFES.
Ismawan, Indra (1999). Money politics: Pengaruh uang dalam Pemilu. Yogyakarta:
Media Pressindo.
Iswandi (2000). Bisnis militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam bidang ekonomi dan
pengaruhnya terhadap pembentukan rezim otoriter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Kusumah, M. W. dkk (2000). Menata politik paska reformasi. Jakarta: KIPP.
Mannan, Sumantri & Rekan (1999). Laporan pertanggungjawaban dana kampanye
Pemilihan Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan periode 19
Mei sampai dengan 30 Juni 1999 dan Laporan Auditor Independen. Jakarta: S. Manan,
Sumantri & Rekan, Akuntan Publik, Konsultan Manajemen, Keuangan & Perpajakan.
Manapat, Ricardo (1991). Some are smarter than others: The history of Marcos’ crony
capitalism. New York: Aletheia Publications.
PWC [PriceWaterhouseCooper] (1999). Bank Bali matter: Report to the Audit Board of
the Republic of Indonesia in relation to a Special Investigation of the circumstances
surrounding the dealings by PT Bank Bali Tbk (and others) in funds obtained from the
Indonesian Government Guarantee Scheme. Jakarta: The Audit Board of the Republic of
Indonesia, 8 September.
Samego, Indria et al (1998). Bila ABRI berbisnis. Bandung: Mizan
Samhuri, Ana dan Andi Setiono (ed). Skandal Bank Bali tumbangkan Habibie?
Yogyakarta: Tarawang Press.
Saydam, Gauzali (1999). Skandal Bank Bali tragedi perpolitikan Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Sulistyo, Hermawan dan A. Kadar (2000). Uang dan kekuasaan dalam Pemilu 1999.
Jakarta: KIPP Indonesia.
UPC [Urban Poor Consortium] (1999). Laporan kasus praktek politik uang oleh Golkar
dan PDR. Jakarta: UPC.

ANTIKORUPSI: Investigation

Copyright: ICW (Indonesia Corruption Watch)- www.antikorupsi.org

Indonesia Corruption Watch
1
Investigasi Korupsi

Apakah yang disebut investigasi?
Trend istilah investigasi lebih lazim dikenal dalam terminologi jurnalistik. Ada beberapa
definisi investigasi yang bisa dipakai seperti:

Robert Greene dari Newsday
Kegiatan investigasi merupakan karya seorang/tim atau beberapa wartawan atas suatu
hal yang penting buat kepentingan masyarakat namun dirahasiakan.

Kegiatan investigasi ini minimal memiliki tiga elemen dasar: bahwa kegiatan itu adalah
ide orisinil dari si investigator, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh
media; bahwa subyek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk
akal mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca surat kabar atau pemirsa
televisi bersangkutan; bahwa ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan
kejahatan ini dari hadapan publik.

Goenawan Mohammad
Kegiatan jurnalistik investigatif merupakan jurnalisme "membongkar kejahatan". Ada
suatu kejahatan yang biasanya terkait dengan tindak korupsi yang ditutup-tutupi.

Namun, belakangan istilah investigasi semakin meluas. Secara umum, dari berbagai
definisi yang ada, investigasi bisa diartikan sebagai:
“Upaya pencarian dan pengumpulan data, informasi dan temuan lainnya untuk
mengetahui kebenaran –atau bahkan kesalahan- sebuah fakta. Melakukan kegiatan
investigatif sebenarnya jauh dari sekedar mengumpulkan ribuan data atau temuan di
lapangan, kemudian menyusun berbagai informasi yang berakhir dengan kesimpulan
atas rangkaian temuan dan susunan kejadian. ”

Memang umumnya hanya kalangan tertentu yang biasa melakukan investigasi. Tetapi,
tidak menutup kemungkinan masyarakat bisa melakukannya. Sehingga kegiatan
investigasi bisa diperluas menjadi kegiatan publik.

Siapa saja yang bisa melakukan investigasi?
Dalam masyarakat kita, pelaku investigasi bisa dipetakan menjadi dua
Investigasi internal : BPK, BPKP, Itjen, Itwil, SPI
Investigasi eksternal (publik) : NGO, Ormas, Parpol, wartawan, dll

2
Mengenal Korupsi
Robert Klitgaard
C = D + M – A
Corruption = Discretionary + Monopoly – Accountability

Legal View
• Melawan hukum/melanggar hukum
• Menyalahgunakan kewenangan/ kesempatan/ sarana yang ada padanya karena
jabatan/ kedudukannya (abuse of power)
• Kerugian keuangan/kekayaan/perekonomian negara
• Memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi

Definisi korupsi menurut Transparancy International
"Perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar
dan tidal legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka".

Kasus apa yang dapat diinvestigasi?
Biasanya, investigasi dilakukan untuk mengungkap fakta yang menyangkut -
merugikan- masyarakat umum (publik) baik secara langsung maupun tidak. Kasus atau
persoalan yang memerlukan tindakkan investigative adalah persoalan yang menyangkut
kepentingan bersama dan cukup masuk akal mempengaruhi kehidupan social mayoritas
masyarakat umum, serta adanya indikasi bahwa pihak-pihak tertentu mencoba untuk
menyembunyikan kejanggalan dari hadapan publik.

Yang perlu diperhatikan disini adalah bagaimana cara memilah kasus. Kasus-kasus yang
layak diinvestigasi adalah kasus yang secara garis besar:
- Menyangkut masyarakat luas, dan ada indikasi kecurangan oleh pihak tertentu
- berkaitan dengan penggunaan dana dalam jumlah besar (contoh: kasus BLBI, PLN,
Bulogate, Suharto, BPPC)
- berkaitan dengan peristiwa politik yang menyangkut kepentingan publik (contoh:
peristiwa tanjung priok, penyerbuan kantor PDI Pusat 1997, kasus Prabowo)
- menimbulkan silang pendapat antar beberapa pihak
- Golongan kuat yang selalu dominan dalam masyarakat (partai, keluarga cendana)
- Kasus-kasus kriminal yang janggal (peristiwa Udin, Marsinah, Pak De)

3
Tahapan Investigasi
First Phase
Ø First lead
Ø Initial investigation
Ø Forming on investigation hypothesis
Ø Literature search & Interviewing experts
Ø Finding a paper trail
Ø Interviewing key informants & sources
Second phase
Ø Organizing & analyzing data
Ø Writing
Ø Internal expose

First Lead/Petunjuk awal

Petunjak Awal: Sumber dari mana saja yang dapat memberikan keterangan tentang
korupsi

Petunjuk awal biasanya dari:
1. Whistleblower: Orang yang mau membocorkan informasi. Biasanya berasal dari
konflik manajemen antara lain: serikat perkerja, aparat pengawasan pemerintah
(BPK, BPKP, Itjen, Itwil, SPI), kontraktor/supplier yang kalah dalam tender, lawan
politik, dll
2. Mempelajari kelemahan sistem dan internal control suatu objek: proyek dengan dana
besar, pengadaan barang dan jasa, workflow, dll
Initial Investigation/Investigasi Awal

Upaya pengecekan petunjuk awal apakah memang telah terjadi korupsi terhadap suatu
objek tertentu atau tidak

Ditujukan terutama untuk menemukan:
• Unsur melawan hukum/melanggar hukum
• Unsur menyalahgunakan kewenangan/ kesempatan/ sarana yang ada padanya
karena jabatan/ kedudukannya (abuse of power)
• Unsur kerugian keuangan/ kekayaan/ perekonomian negara
• Unsur memperkaya diri sendiri

4
Forming on Investigation Hypothesis
Membentuk hipotesis berdasarkan investigasi pendahuluan yang telah dilakukan dalam
bentuk:
• Membuat kasus posisi dan modus operandi yang menjelaskan 5W 1H (apa, siapa,
dimana, bagaimana, bilamana, bagaimana) kasus tersebut terjadi.
• Skema kasus/flowchart: mencakup pihak-pihak yang diduga terlibat untuk
mempermudah pemahaman
• Perencanaan pembuktian untuk membuktikan korupsi
• Kesaksian (sulit, biasanya wawancara anonim)
• Dokumen/surat (andalannya hanya ini)
• Keterangan tersangka (apalagi ini!)
• Barang bukti (sulit juga, mungkin bisa didokumentasikan)
• Keterangan ahli

Literature Search & Interviewing Expert
Wawancara ahli dan pendalaman literatur untuk mempeluas pemahaman dan menguji
hipotesis
• Literatur: biasanya berupa peraturan perundangan:
• Money politics: UU 22/99 dan peraturan pelaksananya
• Tender: Keppres 14/94 atau 18/2000
• Perbankan: UU Perbankan, operasional perbankan, Peraturan BI, SE BI, dll
• Kliping koran biasanya berguna untuk kasus yang berulang polanya

Paper Trail & Key Informants
Kesulitan investigasi publik: mendapatkan alat pembuktian yang memadai (kesaksian,
dokumen, keterangan tersangka, barang bukti). Jadi yang bisa diandalkan hanya
dokumen dan informan
• Paper trail: dokumen apa saja yang behubungan dengan kasus (surat, dokumen
tender, transfer uang, kontrak, dll)
• Key Informants: untuk mendapatkan pemahaman dan kronologi dari tangan pertama
(first hand observers)
Organizing & Analyzing Data
Pengorganisasian data: mengklasifikasi dokumen yang diperoleh
Analisis kasus: melakukan pembandingan, pemeriksaan bukti tertulis, rekonsiliasi,
penghitungan kembali, dll, untuk diperbandingkan dengan informasi dari sumber
Indonesia Corruption Watch

5
Tujuannya untuk menemukan secara rinci unsur-unsur korupsi, modus operandi &
pihak-pihak yang terlibat (5W 1H), kerugian negara
Writing

Penulisan laporan dugaan korupsi sebaiknya mencakup:
• Latar Belakang (data umum)
• Kasus posisi (5W 1H)
• Kronologi (berikut dokumen pendukung)
• Modus operandi (berikut flowchart)
• Pihak yang terlibat
• Penyimpangan/Penyelewengan/Indikasi Korupsi
• Kerugian negara
• Tuntutan
• Tempat, tanggal dan tanda tangan

Case Advocacy
• Press release
• Konferensi pers
• Lobby/tulis surat ke lembaga terkait (penegak hukum)
• Parlemen, Polisi, Kejaksaan, Presiden, Menteri Kepala Daerah, dll
• Diskusi terbuka dengan ahli dan wartawan
• Membuat policy paper
• Melibatkan jaringan
• dll

GATRACOM: The new policies of BI

EKONOMI

Moneter dan Perbankan
BI Umumkan Dua Kebijakan Baru

Jakarta, 30 Juni 2005 14:28

Bank Indonesia hari ini mengumumkan dua kebijakan baru bidang moneter dan perbankan. Pertama, implementasi suku bunga untuk penguatan pelaksanaan kebijakan moneter dalam kerangka Inflation Targeting. Kedua, proses percepatan konsolidasi perbankan.

"Kedua kebijakan tersebut saling bersinergi," kata Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, dalam konferensi pers sore ini di Jakarta. Inflation targeting merupakan upaya BI menjaga inflasi pada tingkat yang kondusif guna mempercepat gerak roda perekonomian. Tanpa adanya sistem perbankan yang sehat, kebijakan moneter ini tidak mungkin efektif."Begitu juga sebaliknya, stabilitas moneter diperlukan untuk menjaga stabilitas sistem perbankan", ujarnya.

BI selama ini telah menerapkan kebijakan pengendalian inflasi. Namun dalam prakteknya, BI masih menggunakan uang primer sebagai sasaran operasional. Padahal dengan kemajuan sektor keuangan, upaya mengendalikan uang primer makin sulit. Maka, Bi merasa perlu mengubah strategi.Mulai bulan Juli ini, BI menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasi moneter.

BI akan menggunakan suku bunga (BI rate) yang akan diumumkan pada setiap Rapat Dewan Gubernur (RDG) Triwulanan.BI juga berjanji bahwa kebijakan moneter akan lebih transparan dan akuntabel. "Akuntabilitas kebijakan moneter dilakukan dengan penyampaian secara tertulis maupun penjelasan langsung atas Laporan Kebijakan Moneter (Monetary Policy Report) secara triwulanan", ujar Burhanuddin.

Sementara itu, proses percepatan konsolidasi perbankan ditujukan untuk penyehatan sektor perbankan dalam jangka panjang. Juga untuk meningkatkan perlindungan kepada masyarakat. Dalam proses ini, BI mensyaratkan seluruh bank harus mencapai jumlah modal minimum (tier 1) sebesar Rp 80 Miliarpada akhir tahun 2007.

Dalam sisa waktu 3 tahun terakhir, hingga 2010, bank harus memenuhi modal sampai dengan Rp 100 miliar.Terkait dengan kebijakan ini, BI juga akan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Jumlah Modal Inti Minimum yang akan berlaku sejak tanggal 1 Juli 2005. JIka secara individual terdapat bank-bank yang belum bisa memenuhi target-target modal tersebut,ditawarkan opsi agar bank-bank tersebut terlibat aktif dalam proses merger dan akuisisi."

Dalam konteks ini, Bank Indonesia memperkenalkan konsep "bank jangkar", yaitu bank dengan Kinerja yang Baik (BKB) dan berpotensi serta memiliki inisiatif untuk melakukan akuisisi terhadap bank lain," ujarnya.Bank dengan Kinerja Baik adalah bank-bank yang selama 3 tahun terakhir memenuhi beberapa kriteria. Diantaranya: modal inti lebih besar dari Rp 100 miliar.

Juga tingkat kesehatan dengan kriteria CAMELS tergolong sehat (sekurang-kurangnya peringkat komposit 2) dengan faktor manajemen tergolong baik. Memiliki rasio kecukupan modal (CAR) minimum 10%, dan tata kelola (governance)-nya berrating baik.Status Bank dengan Kinerja Baik tersebut akan dievaluasi Bank Indonesia secara berkala.

Bank-bank dengan Kinerja Baik tersebut berpotensi menjadi bank jangkar bila memenuhi kriteria. Misalnya: Pertama, Bank punya kapasitas tumbuh dan berkembang, didukung permodalan yang kuat dan stabilserta mampu mengabsorbsi risiko dan mendukung kegiatan usaha. Indikatornya, minimum CAR 12% dan rasio modal inti minimum (tier 1) 6%.

Kedua, bank bisa tumbuh secara berkesinambungan dengan profitabilitas yang baik. Indikatornya adalah rasio Return on Asset (ROA) minimal 1,5%. Ketiga, Bank berperan dalam mendukung fungsi intermediasi perbankan. Indikatornya, pertumbuhan ekspansi kredit tetap memperhatikan prinsipkehati-hatian. Pertumbuhan ekspansi kredit secara riil minimum 22% per tahun atau LDR minimum 50% dan rasio non-performing loan di bawah 5% (net).

Keempat, Bank telah menjadi perusahaan terbuka, atau berrencana menjadi perusahaan terbuka dalam waktu dekat. Kelima, Bank mampu menjadi konsolidator dan tetap masuk kriteria Bank dengan Kinerja Baik. Penilaian atas berbagai kriteria tersebut menjadi wewenang BI sepenuhnya. [HK]