Friday, December 16, 2005

CATATAN: street life of Pasar Minggu2

Lagi, aku lewat di jalan con block sepanjang sisi stasiun Pasar Minggu. Sudah lama aku tak lewat sana. Kalaupun lewat, aku tak melihat lagi anak bayi itu bersama ibunya disana, terutama sejak lebaran lalu. Syukurlah. Aku berharap seseorang menolongnya. memberi tempat buat mereka.

Tapi kemarin, aku menggigil. Tak sengaja aku alihkan pandangan. ternyata mereka masih disana. Di balik pohon, ketika gerimis turun, tanpa payung. Duduk di rerumputan, dengan angin malam bulan desember yang menusuk tulang.

Aku menggigil. Bukan oleh tetes-tetes air yang turun. Aku berbisik pada suamiku yang kebetulan malam itu menjemputku ke kantor. "Mereka disitu," kataku. Tenggorokanku kelu. Mataku berkaca-kaca. Aku begitu sedih, menyesali ketidakmampuanku yang begitu besar. Aku ternyata tak pernah berbuat apa-apa untuk menolongnya. Kalau aku ingin menolong, bagaimana caranya? memberi mereka makanan dan pakaian ketika aku lewat, itukah sebentuk pertolongan? Aku pikir tidak.

Ada yang lebih penting. Mengentaskan mereka dari jalanan. Membuat mereka tahu merasakan arti home. Tapi bagaimana caranya? Aku benar-benar tidak tahu. "mama kan jurnalis. Mungkin bisa dnegan cara angkat mereka?" ujar suamiku. Aku makin sedih. Semestinya begitu. Tapi maslaahnya, cerita seperti itu akan dianggap berita koran, bukan majalah.

Aku pernah bicara dengan atasanku di kantor mengenai seorang ibu dan bayinya di jalanan Jakarta untuk ditulis atau apalah supaya mendapat pertolongan. Tapi responnya tak antusias.
Apalagi ketika kukatakan, barangkali Ibu si anak gila atau setidaknya kurang ingatan dilihat dari tingkah lakunya.

Lantas apalagi yang bisa kulakukan? Akankah aktivis hak perempuan dan anak menoleh ke arah mereka? Mungkin, jika telah diangkat media. Karena publikasi kadangkala alasannya, bukan kemanusiaan. Apakah menunggu kejadians eperti Supriyanto dipublikasikan media, demi mendapat sorotan, lantas beramai-ramai memberitakan, ramai-ramai mengulurkan tangan?

Aku kelu. Aku tak berbuat apa-apa pada mereka. Sempat terpikir kalau membawa mereka ke panti asuhan. tapi saya berpikir, kemungkinan besar anaknya saja yang diterima. Tanpa ibunya. Padahal aku pikir, berbulan-bulan aku melihat mereka di jalanan berdua, kadang diayun-ayun, dipeluk, kadang digeletakin, tapi mereka selalu berdua. Kadang terlintas, barangkali ibunya mampu bertahan hidup dan melalui masa-masa sulit karena ada anaknya. Apakah sang ibu pernah punya harapan? Barangkali sang anak itulah penopang kekuatannya. Yach, itu semua hanya barangkali dan barangkali.

Adakah yang tahu sebuah panti sosial yang memungkinkan mereka berdua hidup bersama, dalam sebuah tempat yang bisa disebut home? Adakah tempat yang bisa menerima mereka jauh dari ancaman preman-preman yang siap menerkam ibunya, jauh dari asap knalpot yang menggerogoti paru-paru si bayi, jauh dari ketakutan hidup di jalanan? Help them!